Koran Sulindo – Situs itu terlihat aneh di zaman internet yang cepat dan nostop 24 jam sehari, 7 hari seminggu ini-ini hari. Ia kadang hidup dan lancar jaya, ditinggal sejenak, koneksi ke www.indonesie45-50.nl itu tiba-tiba terputus sendiri. Sekitar 10 bulan lalu, situs ini malah mati total. Walaupun mayoritas artikel di sana berbahasa Belanda, namun situs itu setia mencoba mengungkap sejarah kelam apa yang di sini disebut agresi militer (Belanda menyebutnya “aksi ketertiban umum”). Indonesia pada tahun-tahun antara 1945 hingga 1950 memang banjir darah di berbagai wilayah, hanya beberapa purnama setelah memproklamasikan kemerdekaannya.
Untunglah kini ada penggantinya, www.ind45-50.org, yang walau masih terbatas isinya tapi memberi konteks apa yang sebenarnya terjadi tahun-tahun itu. Situs barengan tiga institusi itu [Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), Dutch Institute for Military History (NIMH), dan Institute for War, Holocaust and Genocide Studies (NIOD)] menuntut penyelidikan ulang episode sejarah kelam dan berdarah dengan Indonesia yang tak terungkap dan nampak ditutup-tutupi.
Pembuka kotak pandora itu adalah ahli sejarah Swiss-Belanda Rémy Limpach, yang dalam disertasinya, mengatakan kekerasan ekstrem oleh tentara Belanda terhadap orang Indonesia dapat dilihat di mana-mana dan menjadi bagian struktural ketentaraan Belanda. Disertasi yang membahas kekejaman tentara Belanda 1945-1949 itu diterbitkan pada September 2016.
Cuplikan disertasi itu sebelumnya dimuat halaman utama harian sore NRC Handelsblad pada edisi 14 Agustus 2015,“Tentara Belanda telah secara struktural dan dalam skala besar-besaran menerapkan kekerasan ekstrem terhadap orang Indonesia pada periode 1945-1950 setelah proklamasi kemerdekaan, 70 tahun silam Senin mendatang. Sesudah itu para pelakunya bebas berlenggang kangkung, karena pihak otoritas menutup-nutupi pelanggaran hukum itu.”
Joss Wibisono, dalam tulisannya di situs Historia (Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia), mengatakan buku itu diikuti karya Prof. Gert Oostindie, direktur KITLV, yang mendukung kesimpulan Limpach itu di dalam bukunya yang ia tulis baru-baru, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah; September 2016).
Penerbitan buku itu memancing perdebatan publik di Belanda –yang sebelumnya masih menghindari kata ‘perang’. Berkat buku ini, sekarang istilah‘aksi polisional’ pelan-pelan diganti dengan ‘perang dekolonisasi’. Buku ini merupakan bagian dari perdebatan yang dalam beberapa dasawarsa terakhir menjadi semakin kritis, tak hanya dalam hal legitimasi aksi politik dan militer Belanda, tetapi juga tentang praktik aksi itu, dan khususnya dalam masalah kejahatan perang.
Anne-Lot Hoek (dalam Inside Indonesia 125: Jul-Sep 2016) mengatakan, ketika aktivis Belanda-Indonesia Jeffry Pondaag dan pengacara Liesbeth Zegveld menggugat negeri Belanda atas pembantaian pada 1947 itu pintu terus terbuka. Kemudian mereka membuat gugatan lagi atas eksekusi massal di bawah komando Kapten Westerling di Sulawesi Selatan pada 1946, dan atas perkosaan oleh tentara-tentara Belanda terhadap seorang wanita di desa Peniwen, Jawa pada 1949.
Pada 2012, gabungan tiga lembaga penelitian di Belanda mengajukan permohonan dana pemerintah untuk melakukan penelitian yang menyeluruh atas kekerasan tentara Belanda semasa Perang Kemerdekaan Indonesia itu. Permohonan itu ditolak.
Pada 2 Desember 2016 permohonan itu diterima pemerintah dan bahkan didukung parlemen negeri Tulip itu. Dana yang disediakan raksasa, sekitar 4,1 juta euro, untuk penelitian yang mayoritas adalah mengulak-ulik arsip itu.
Apakah penelitian ini ingin mencari bukti-bukti atau sekadar menemukan justifikasi sikap Belanda terhadap Indonesia di masa lalu? Alasan untuk tak peduli lagi seperti selama 70 tahun terakhir dilakukan pemerintah Belanda?
Peneliti dari Belanda pendiri yayasan Histori Bersama, Marjolein van Pagee, seperti dikutip detik.com, curiga penelitian ini diizinkan serta didanai pemerintah Belanda di tengah kasus di pengadilan Den Haag antara pemerintah dan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Dalam kasus itu pemerintah Belanda dituntut ganti rugi atas penjajahan di Indonesia.
Untuk mengingatkan, darah rakyat Indonesia di Rawagede, di Sulawesi Selatan, dan banyak daerah lain yang belum tercatat dalam arsip dan sejarah itu berwarna merah, Meneer. [Didit Sidarta]