Ilustrasi/akhirmh.blogspot.co.id

Koran Sulindo – Pendidikan di Keresidenan Tapanuli di awal abad ke 20 tergolong cukup maju, dibanding wilayah lainnya di Sumatra. Sejak 1908, lembaga pendidikan dibawah pengelolaan pemerintah Hindia-Belanda (sekolah negeri) telah berdiri cukup banyak.

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah pemerintah (orang Batak menyebutnyaSikola Gubernemen) di seluruh Keresiden Tapanuli di wilayah yang dianggap perkotaan, belum sampai ke desa-desa. Selain itu, juga didirikan sekolah berbahasa Melayu kelas rendah (kampong scholen) tanpa kurikulum bahasa Belanda, serta sekolah Melayu kelas tinggi yang mempelajari bahasa Belanda.

Pada 1911, didirikan HIS untuk anak-anak pejabat pribumi di Sigompulon, Tarutung.HIS Sigompulon didirikan tahun 1910 oleh Batakmission, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Tanah Batak yang makin menggebu terhadap sekolah dasar berbahasa Belanda. HIS Sigompulon sebagian muridnya adalah anak rakyat biasa, walaupun pemerintah pada mulanya bermaksud mengkhususkan sekolah ini bagi anak-anak raja. HIS Sigompulon dilengkapi dengan asrama (internaat) dengan maksud agar pembinaan disiplin dan watak kristiani dapat dijalankan, dan agar murid-muridnya benar-benar terlatih menggunakan bahasa Belanda. (Aritonang 1988, 215-218).

Sejak berdiri hingga tahun 1936, alumni HIS Sigompolon ditaksir berjumlah sekitar 1.500 orang. Beberapa tahun kemudian, didirikan pula HIS di Narumonda, Sibolga, dan Padang Sidempuan. Selanjutnya, di awal tahun 1920-an, diresmikan HIS Kotanopan, tempat Moelia menjadi kepala sekolah. (Simanjuntak: 1986).

Untuk menampung lulusan HIS yang sudah cukup banyak, pemerintah kolonial mendirikan sekolah MULO(Meer Uitgebred  Lagere  Onderwijs) di Tarutung, tahun 1927. Kemudian didirikan HIK (Holland Inlandse Kweekschool), HBS (Hoogere Burgers School), dan AMS (Algemene Middelbare School).

MULO Tarutung merupakan semacam sekolah untuk kalangan Batak-Kristen di Tapanuli dan Simalungun. Alumni MULO Tarutung ini kemudian cukup banyak yang menjadi tokoh nasional, seperti T.B. Simatupang, Sitor Situmorang, J.H. Hutasoit (ahli peternakan). “Waktu itu (di akhir tahun 1920-an sampai 1930-an) MULO Tarutung termasuk yang terbaik di seluruh Hindia-Belanda,” kenang T.B. Simatupang, dalam memoarnya Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos.

Kalangan zending Kristen juga mendirikan sekolah-sekolah dasar di desa-desa, dengan subsidi dari pemerintah kolonial. Menurut perhitungan Joustra, sampai tahun 1909, empat puluh dua tahun sejak sekolah zending pertama didirikan di Parausorat, sudah ada 365 sekolah di wilayah Toba dengan jumlah murid 18.000 orang. Sekitar 6.700 di antaranya anak-anak yang belum di Kristenkan.

Pada tahun yang sama, di Samosir ada 12 sekolah zending (dengan 599 orang murid), di Tapanuli Selatan ada 43 sekolah zending (dengan 2500 orang murid, yang sebagian besar muridnya beragama Islam), di Simalungun 23 sekolah zending, dan di Tanah Karo sekitar 18 sekolah zending. Pada tahun 1931, jumlah sekolah yang didirikan zending di seluruh wilayah Tapanuli, Toba, Samosir, Simalungun, dan Tanah Karo, sudah berjumlah 462, dengan jumlah murid 31.741 orang.

Bahkan, di masa itu hasrat masyarakat Tanah Batak untuk menyekolahkan anak-anaknya sangat besar, tidak hanya anak-anak lelaki juga anak-anak perempuan. Tapi, sekolah-sekolah yang disediakan Batakmission—ditambah dengan yang disediakan pemerintah dan swasta lain—tidaklah cukup untuk menampung hasrat wanita Batak untuk bersekolah dan mengejar kemajuan. Maka, sejak tahun 1910, banyak dari mereka (kaum perempuan Batak) bersekolah di rantau. Tujuan utamanya, antara lain, adalah Normaalschool voor Inlandsche Hulponderwijzeressen (Sekolah Guru Puteri) Padang Panjang dan Bukit Tinggi, yang telah berdiri sejak awal abad 20  (Aritonang, 1988: 349).

Sejak pertengahan 1920-an mulai bermunculan Meisjesschool  (sekolah puteri)  di Tanah Batak. Yang termasuk paling menonjol adalah Meisjesschool  Balige, yang diberi nama “Prinses Juliana Meisjesschool”.  Meisjesschool  Balige diresmikan tahun 1925. Dengan masa belajar enam tahun, sekolah ini lebih menekankan pembinaan intelektualitas, sehingga mengajarkan lebih banyak pengetahuan teoritis, termasuk bahasa Belanda dan Melayu, dengan maksud agar tamatannya menjadi pegawai atau guru. Sekolah ini memang dimaksudkan untuk mengimbangi sekolah sejenis yang didirikan pemerintah, agar puteri-puteri Batak jangan terlalu banyak mengalir ke luar Tanah Batak. (Aritonang 1988, 346).

Dalam hal pendidikan ini, wilayah Tapanuli termasuk yang beruntung, memiliki jumlah sekolah—mencakup sekolah pemerintah, swasta (zending dan misi)— yang cukup banyak. Pada tahun 1901 jumlah sekolah yang didirikan RMG/Batakmission saja berjumlah 217 sekolah, dan pada tahun 1910 meningkat menjadi 497 sekolah. (Aritonang 1988, 281). Padahal di seluruh Sumatra—kecuali Tapanuli– waktu itu hanya ada 98 sekolah.

Walaupun dari segi jumlahnya hanya sebagian kecil rakyat Indonesia—termasuk di Keresidenan Tapanuli– yang menerima pendidikan, namun peranannya kelak sangat menentukan dalam pergerakan nasional, yang kemudian mempelopori kemerdekaan Indonesia. [Satyadarma]