Koran Sulindo – Kabar akan ada investor dari Tiongkok yang akan membangun bioskop mengundang reaksi beberapa pihak, khususnya para pengusaha bioskop dan poduser film. Juga para jurnalis yang ingin tahu kebenaran kabar tersebut.
Dua tahun lalu kabar yang persis juga menyeruak, hanya beda negara asal meski sama-sama ras kuning. Korea Selatan melalui usaha hypermart bermerek Lotte akan membangun ruang bioskop di setiap gerai Lotte. Namun, hingga menuliskan kabar ini tidak ada realisasi mengenai bioskop Made in Korea Selatan itu.
Reaksi pro kontra adanya investor asing yang masuk ke dalam bisnis perfilman pun mengemuka dengan berbagai dalih dan argumen. Sebagian pengusaha bioskop dan produser film mengkhawatirkan dengan kehadiran pihak asing yang ‘ikut main’ di bisnis perfilman akan menepikan film-film anak bangsa.
“Mereka itu punya grand desain tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga dari aspek budaya. Mereka atur sedemikian rupa hari dan jam tayang di bioskop-bioskop mereka dengan film-film dari negeri mereka pada hari dan jam yang banyak pengunjungnya. Sementara film kita, hanya diberi layar sedikit, waktu tayangnya juga pada hari dan jam yang sepi penonton,” ungkap Ody Mulya Hidayat, produser eksekutif Max Pictures, yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia, APFI.
Kekhawatiran itu diamini oleh Djony Syafruddin. Sebagai pengusaha bioskop, Djony melihat belum saatnya para pemegang otoritas bidang ekonomi di republik ini membuka keran kebijakan tersebut. Namun, Djony tidaklah bersikukuh tidak boleh seratus persen.”Dibatasi wilayah operasionalnya hanya di ibukota provinsi saja, jangan sampai ke kabupaten. Bahaya lo. Karena film tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, infiltrasi budaya melalui film lebih bahaya,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI) itu.
Terkait teknis waktu penayangan film di bioskop-bioskop Indonesia relevansinya dengan pengunjung bioskop, Djony menjelaskan film Indonesia selama ini mendapat jatah dua atau tiga film setiap setiap pekan, dan awal penayangan hari Kamis.
”Penonton terbanyak setiap akhir pekan Jumat malam dan Sabtu malam. Hari Minggu biasanya ramai pada siang dan sore hari. Bila waktu-waktu ini dipergunakan oleh investor asing untuk tayang film-film mereka, kemudian film nasional diberi jatah waktu tayang Senin hingga Kamis, bukan hanya produser yang menjerit tapi pengusaha bioskop akan gulung tikar,” tutur pengusaha bioskop yang berkiprah sejak tahun 1970-an ini.
Argumen yang dikemukakan Ody dan Djony tidak sepenuhnya dibenarkan oleh sebagian kalangan di industri perfilman. Firman Bintang, sebagai produser film dari BIC Production sekaligus Ketua Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), menerangkan dengan kehadiran investor asing di bidang perfilman akan menambah jumlah layar bioskop dan memungkinkan produksi film Indonesia, sekitar 120 judul film diproduksi setiap tahun, akan mendapatkan layar.
“Selama ini kami sebagai produser setengah mengemis agar film kami ditayangkan di bioskop-bioskop yang sudah mereka monopoli. Dengan adanya pihak lain, siapapun itu, berinvestasi di bidang bioskop akan kami sambut baik. Sebab, dengan begitu akan semakin banyak film nasional bisa tayang dan kami punya pilihan di bioskop mana film kami akan kami tayangkan,” papar Firman Bintang. Mereka yang dimaksud Firman menguasai atau monopoil adalah jaringan bioskop Cineplex 21 dan XXI.
Mengenai adanya film-film asal negeri para inevestor itu akan menjadi mayoritas tayang dengan hari dan jam tertentu, Firman menafikan itu dengan mengatakan bahwa penonton film Indonesia cukup cerdas.”Kembali ke kualitas filmnya. Buktinya apakah semua film produksi Hollywood itu laris di sini? Enggak juga. Dengan banyaknya bioskop kemungkinan berlomba untuk membuat film berkualitas terbuka, penonton mendapatkan film-film yang bagus. Pada gilirannya akan memajukan perfilman nasional dan ekonomi secara nasional,” jelas Firman lagi.
Bisa Investasi 100%
Kedua pandangan dan argumen itu mendapat tanggapan dari pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Pepres) No.44 Tahun 2016 yang merevisi aturan Daftar Negatif Investasi (DNI) bagi industri pertunjukan film, termasuk bioskop dan distribusi film. Investor asing akan bisa berinvestasi selebar-lebarnya di sektor film, hingga 100%. Peraturan baru tersebut menggantikan peraturan lama, yaitu Perpres No. 39 Tahun 2014.
Peraturan itu memuat delapan sub bidang usaha perfilman yang tidak meng haruskan menggunakan 100% modal dalam negeri, antara lain pembuatan film, pertunjukan film, studio rekaman (kaset, VCD, DVD,dan lain-lain), pengedaran, pembuatan sarana promosi, sarana pengambilan gambar, sarana penyuntingan, dan sarana pemberian teks film.
Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan layar bioskop semakin bertambah dan ini akan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan tontonan film. Dan itu merupakan trend positif bagi usaha di bidang perfilman.
Fauzan Zidni, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indoneisa (Aprofi), memberikan data.Tahun 2016, market share film lokal juga naik menjadi 33 %, berbeda dengan market share film lokal di tahun 2015 yang hanya 20 %. Padahal, di tahun 2008 dan 2009, market share film lokal mencapai 56 % dan 44 %.
Karena itu Fauzan menyambut baik dicabutnya DNI perfilman oleh pemerintah untuk membuka pasar dan memberi kesempatan agar investasi asing bisa masuk ke subsektor perfilman Indonesia. Agar mereka bisa berinvestasi dari segi produksi, melakukan distribusi, dan eksibisi. “Dengan tren positif yang ada, saat ini menjadi saat yang paling menarik bagi pelaku industri film. Saya berharap, dengan masuknya investasi asing di eksibitor, akan ada angka pertumbuhan layar yang signifikan, sehingga angka penonton dan market share film nasional juga meningkat. Line-up film-film nasional yang akan tayang di 2017 juga cukup menjanjikan,” tegas Fauzan.
Dengan dibukanya keran kebijakan investasi di bidang perfilman dengan’palu’ Perpres, lambat namun pasti petumbuhan bioskop kini secara siginifikan. Menurut data yang dimiliki GPBSI tumbuh sekitar 10 % dari tahun tahun lalu.
Jumlah gedung dan layar bioskop tersebar di seluruhi Indonesia tercatat hingga bulan Juni 2017, ada 1.310 layar menempati 288 gedung. Mayoritas pegelolaan usaha bioskop ini masih dipegang kelompok Cineplex 21 atau XXI. Mereka mengendalikan sekitar 800 layar menempati 121 gedung. Sisanya terbagi kelompok usaha bioskop Cinemaxx, CGV-Blitz, Platinum, dan bioskop perseorangan atau lebih dikenal bioskop independen.
Bila dilihat dari jumlah layar bioskop yang ‘hanya’ 1.300 an layar dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, ini mengindikasikan pasar film masih sangat kecil, dibandingkan dengan Jepang yang berpenduduk sekitar 160.000.000 jiwa yang memiliki lebih dari 3.000 layar.
Memandang Indonesia dari bisnis perfilman, antara produser film,pemilik bioskop, dan penonton saling terkait dan saling membutuhkan kehadiran sebanyak mungkin bioskop.Gangguan itu akan dirasakan oleh sebagian dari mereka yang selama ini menikmati dari pengelolaan tanpa yang mengusik tanpa pesaing.
Sesungguhnya bioskop punya siapa? Tentunya kita semua… [Didang P.Sasmita]