Ilustrasi pertumbuhan perekonomian Indonesia
Ilustrasi pertumbuhan perekonomian Indonesia [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2018 yang mencapai 5,4 persen dianggap tidak punya dasar. Akan tetapi, pemerintah telah menetapkannya pada posisi demikian ketika Presiden Joko Widodo membacakan nota keuangan pada 16 Agustus lalu di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.

Dikatakan Jokowi, penetapan proyeksi itu lantaran sepanjang 2014 hingga 2016, perekonomian Indonesia rata-rata tumbuh 5,0 persen. Bahkan pada semester I tahun ini, perekonomian disebut tumbuh menjadi 5,01 persen. Pertumbuhan itu disebut karena perbaikan kinerja ekspor dan peningkatan investasi.

Di samping itu, pertumbuhan juga didukung perbaikan infrastruktur dan logistik pasokan barang kebutuhan masyarakat. Juga kerja sama yang solid antara pemerintah dengan Bank Indonesia sehingga tingkat inflasi dapat dikendalikan di kisaran 3,35 persen pada 2015 dan 3,02 persen pada 2016. “Itu sebabnya, daya beli masyarakat dapat dipertahankan. Inflasi masih dapat dikendalikan hingga 2017 termasuk menjelang Lebaran pada kisaran 2,6 persen,” kata Jokowi.

Indikator-indikator ekonomi makro itulah yang menjadi dasar perhitungan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Karena itu, fokus RAPBN 2018 adalah efisiensi dan meningkatkan kualitas belanja prioritas, mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan serta memperluas kesempatan kerja. Dari sektor penerimaan, pemerintah akan mereformasi pajak dan pendapatan negara bukan pajak serta menjaga momentum ekonomi dan kepercayaan rakyat.

Pemerintah, kata Jokowi, optimistis mencapai target pertumbuhan perekonomian diproyeksikan pada 2018. Pasalnya, dari sisi kesejahteraan masyarakat, jumlah penduduk miskin terhitung turun dari 28,59 juta orang pada Maret 2015 menjadi 27,77 juta orang pada Maret 2017. Angka kemiskinan ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin melalui berbagai inovasi program pengentasan kemiskinan dan perlindungan sosial.

Tingkat kesenjangan juga disebut mengalami penurunan. Buktinya, kata Jokowi, indeks rasio Gini dari 0,408 pada Maret 2015 menjadi 0,393 pada Maret 2017. Tingkat pengangguran juga diklaim mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar 5,81 persen pada Februari 2015 menjadi 5,33 persen pada Februari 2017.

Jokowi mengatakan, pemerintah berjanji akan memperbaiki proses penganggaran secara menyeluruh dari berbagai perspektif. Di sektor penerimaan dari Juli 2016 hingga Maret 2017, misalnya, menentapkan program pengampunan pajak sebagai cara meningkatkan pendapatan negara. Itu juga disebut sebagai langkah untuk memperluas basis data perpajakan sekaligus mempersiapkan Indonesia memasuki era keterbukaan informasi global dengan pemberlakuan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis (Automatic Exchange of Information).

Dasar proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 ini juga karena perkembangan pertumbuhan ekonomi global yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. IMF, misalnya, mencatat pertumbuhan ekonomi dunia sejak 2015 mengalami perbaikan. Di 2015 pertumbuhan ekonomi dunia, menurut IMF, mencapai 3,4 persen, lalu 2016 mencapai 3,1 persen, sementara 2017 mencapai 3,5 persen dan 2018 diproyeksikan mencapai 3,6 persen.

Sementara menurut Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi global sejak 2015 hingga 2016 mencapai rata-rata di atas tiga persen, walau tak menyentuh angka empat persen. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi dunia, menurut Bank Dunia, hampir sama dengan IMF di atas tiga persen tapi di bawah empat persen. Sementara proyeksi 2018 diperkirakan sekitar 3,7 persen.

Akan tetapi, apa yang dibacakan Jokowi itu tidak semanis kenyataannya. Bahkan  ketika target tidak tercapai, pemerintah acap berdalih ekonomi global sedang mengalami perlambatan. Dengan kata lain, pemerintah tidak pernah jujur atas kebijakan yang diputuskannya terutama soal krisis ekonomi dunia yang semakin mendalam.

Tidak sekadar berdalih, pemerintah akan tetapi menetapkan kebijakan yang seringkali melukai rakyat. Setelah kebijakan pengampunan pajak yang diklaim berhasil itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati justru menyasar rakyat umum sebagai cara menggenjot pendapatan pajak. Ia mengaku ada selisih atau kekurangan (shortfall) penerimaan pajak pada APBN Perubahan 2017 yang diperkirakan mencapai Rp 50 triliun.

Oleh karena itu, Sri menargetkan setidaknya ada tambahan penerimaan sekitar Rp 20 triliun untuk mengurangi kekurangan tersebut. Kali ini Sri Mulyani menyasar penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dianggap terlampau tinggi dan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai 10 persen untuk tanaman tebu yang diolah menjadi gula. “Semakin tinggi PTKP, maka basis pajak makin sedikit. Apalagi Indonesia sudah menaikkan dua kali PTKP,” kata Sri Mulyani pada akhir Juli lalu.

Batas gaji tidak kena pajak adalah Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Batasan ini naik dari semula Rp 3 juta per bulan atau Rp 36 juta setahun. Menurut Sri Mulyani, PTKP Indonesia boleh disebut paling tinggi jika dibandingkan negara-negara Asean. Padahal, pendapatan per kapita Indonesia lebih rendah dibanding Malaysia, Thailand, bahkan dengan Singapura.

Mengkritik Sri Mulyani
Ekonom senior Rizal Ramli mengkritik kebijakan Sri Mulyani tersebut. Ia bahkan menyebut Sri Mulyani sedang “kalap”. Di negara lain ketika ekonomi melambat pajak dilonggarkan. Setelah membaik baru digenjot. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian di zaman Gus Dur itu menilai langkah Sri Mulyani hanya untuk mencapai target setoran utang agar mendapat pujian dari kreditor.

“Ini kebijakan makro ekonomi super konservatif dari SMI. Jangan karena hanya ingin menyenangkan kreditor,” tulis Rizal dalam akun media sosialnya pada pertengahan Juli lalu.

Rizal mengatakan, kebijakan pemerintah yang dibuat Sri Mulyani dengan memotong anggaran di sana-sini serta menaikkan tarif dan mengejar pajak justru akan berdampak negatif kepada daya beli masyarakat. Itu membuat ekonomi melambat, daya beli menurun sehingga penjualan retail merosot.

Rencana terbaru Kementerian Keuangan adalah mengkaji ulang skema iuran dana pensiun pegawai negeri sipil (PNS). Iuran pensiun PNS selama ini ditetapkan 4,75 persen dari gaji pokok. Iuran ini dianggap sudah terlalu kecil apalagi gaji bersih PNS meliputi gaji pokok dan pendapatan-pendapatan lainnya. “Itu belum diperhitungkan sebagai iuran,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani pada pertengahan Agustus 2017.

Soal data-data pertumbuhan ekonomi dunia yang menjadi dasar proyeksi pertumbuhan 2018 juga bukan sesuatu yang baru. Secara singkat, krisis keuangan global yang melanda dunia pada 2008 merupakan lanjutan dari krisis 1998. Krisis pada 2008 disebut paling buruk setelah berakhirnya Perang Dunia II. Depresi ekonomi dunia di ambang pintu menuju jurang krisis yang kian dalam. Berbagai krisis, seperti krisis energi, finansial, pangan dan krisis ekosistem lingkungan berpadu, yang semakin menjelaskan wajah dunia di bawah perintah kekuasaan kapitalis monopoli dunia.

Catatan IMF pada April 2008 pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 3,7 persen atau mengalami koreksi rata-rata satu persen akibat hantaman berbagai badai krisis. Gejala yang paling jelas adalah apa yang menimpa perekonomian Amerika Serikat sebagai negeri induk kapitalis pada 2007 yakni krisis kredit properti. The Wall Street Journal pada April 2008 memberitakan penentu kebijakan The Fed menilai harga-harga yang berjatuhan di dalam negeri dan kekalutan pasar keuangan dapat mengarah kepada kecenderungan menurun yang jauh lebih hebat dan berlarut-larut daripada yang diperkirakan.

Gelombang krisis itu menciptakan pengangguran sekitar 27 juta jiwa di AS, dan terus bertambah sekitar 250 ribu jiwa per tahun. Para ekonom neoliberal bahkan tak mampu menjelaskan apa yang terjadi saat itu. Karena itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia versi IMF dan Bank Dunia pada 2018 yang diperkirakan mencapai 3,7 persen justru menegaskan pertumbuhan ekonomi global sejak 2008 berjalan di tempat. Lantas mengapa itu dijadikan sebagai dasar poyeksi pertumbuhan ekonomi kita pada 2018? [Kristian Ginting]