Koran Sulindo – Ahok kalah. Sangat mengejutkan dan di luar nalar saya. Seorang gubernur yang anti-korupsi—yang juga berhasil mengubah sungai-sungai di Jakarta dari comberan menjadi bebas sampah dan bahkan airnya ada yang sudah terlihat lebih jernih; bisa membuat air laut di barat dan utara Jakarta yang awalnya tampak hitam menjadi agak hijau; berhasil membuat Jakarta ketika disiram hujan lebat dan panjang hanya dipenuhi genangan air, yang akan surut dalam waktu kurang-lebih enam jam—kok bisa kalah oleh pendatang baru yang tidak punya pengalaman birokrasi?
Setelah hilang keterkejutan saya dan bisa memakai nalar kembali untuk mengevaluasi sebab-sebab kekalahan itu, saya secara gamblang dapat mengatakan bahwa Ahok dikalahkan oleh dirinya sendiri. Dimulai dari antamannya ke DPRD DKI Jakarta yang ditambah dengan kata-kata kasarnya hingga keengganannya untuk menjadi calon gubernur dari partai politik karena yakin jutaan pendukung non-partisan (independen)-nya lebih dari cukup untuk membawa dirinya ke kursi gubernur.
Yang paling nyata dan siginifikan: dukungan media-media, termasuk media sosial di Internet, yang membikin pembenaran luar biasa ke Ahok, akhirnya menimbulkan perasaan overconfident, terlalu percaya diri. Rasa percaya diri yang berlebihan ini sangat berbeda tipis dengan arogansi, kesombongan. Dalam bahasa seorang penulis yang juga film-maker independen, Habeeb Akande, “Arrogance is thinking you are above someone else. Confidence is knowing no one is above you.”
Dan, sifat sombong merupakan sifat yang paling harus dihindari oleh politisi, bahkan oleh seluruh manusia. Alquran banyak sekali memperingatkan manusia agar tidak bersifat sombong. Dalam surah An Nahl ayat 23, misalnya, dengan jelas dikatakan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad S.A.W. juga mengatakan bahwa seseorang tidak akan masuk surga yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.
Itulah yang menjatuhkan Ahok. Pada hakikatnya, dia dikalahkan oleh dirinya sendiri. Apalagi, kemudian, posisi Ahok semakin dipersulit oleh pendukung-pendukung independen-nya, buzzer–buzzer-nya di media sosial Internet, yang gemar sekali menggunakan kata-kata sarkas, umpatan-umpatan, yang jika dilihat secara dangkal seakan ditujukan kepada umat agama tertentu.
Aneh rasanya, tingkat kepuasan publik yang mencapai 80%, elektabilitas yang pernah mencapai hampir 60%, tiba-tiba bisa turun drastis seperti sekarang. Sayang sekali.
Seharusnya, waktu putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok bisa mendapat lebih dari 50% suara. Namun, keteledoran pengacaranya, yang juga kemudian disamber Ahok, yang mengomentari tentang sosok kiai sepuh yang sangat dihormati masyarakat, membuat Ahok “dibantai” lawan-lawan politiknya. Lagi-lagi ini sebenarnya bukan salah Ahok sepenuhnya.
Namun, sejak itu, setelah putaran pertama, susul-menyusul blunder-blunder lain dilakukan Ahok. Padahal, partai politik utama pendukungnya berkali-kali sudah mengingatkan Ahok agar “memplester” mulutnya, menahan diri agar tidak banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan di muka publik.
Barangkali ini sudah kehendak Tuhan, seperti juga dikatakan Ahok: “kekuasaan Tuhan yang kasih, Tuhan yang ambil.” Kalau saja Ahok sendiri sudah dapat memahami kata-kata yang diucapkan itu jauh-jauh hari, Jakarta mungkin akan tetap punya gubernur hebat.
Satu hal yang saya yakini: Ahok tidak menista agama Islam. Sayangnya, sebagai seorang Nasrani yang tidak punya cukup pengetahuan tentang agama Islam, dia membicarakan soal-soal agama Islam, yang bisa saja tidak pas.
Sedih… Sedih sekali. Kita kehilangan gubernur yang hebat. Tapi, ini adalah demokrasi. Apa pun, kita harus menerima pasangan Anies-Sandi.
Sebagai orang yang mengenal Anies Baswedan, saya berharap dia setidaknya bisa meneruskan apa yang sudah ada, kalau bisa malah lebih baik lagi. Saya berharap, perbaikan saluran-saluran air, kali-kali, sungai-sungai, gorong-gorong, taman-taman, jalan-jalan layang, dan berbagai infrastruktur lain yang telah dimulai dibangun semasa Jakarta dipimpin Ahok tetap dilanjutkan. Dan, yang tak kalah pentingnya, keberadaan Pasukan Oranye dan Biru sebaiknya tetap dipertahankan.
Kita semua berharap banyak untuk Jakarta yang indah dan nyaman. Tanggung jawab yang sangat besar ada di pundak Anies sekarang. []