Ilustrasi: presidenri.go.id

Koran Sulindo – Kebutuhan minyak kita sudah mencapai 1,6 juta barel per hari.  Sementara produksi kita tidak naik-naik sekitar 800 ribu barel per hari. Itupun sekitar 800 ribu barel per hari minyak yang diproduksi tidak semuanya dihasilkan oleh pemerintah karena sebagian besar untuk cost recovery.

Hal ini diutarakan Dr. Ir. Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), kepada wartawan di Pusat Studi Energi UGM menjelang penyelenggaraan Diskusi Nasional Kebijakan Energi yang akan berlangsung 25 – 26 April 2017, di Balai Senat UGM. “Dari sebanyak itu, pemerintah Indonesia hanya memiliki 55-60 persen dari 800 ribu per barel tiap hari atau 400 ribu barel per hari,” ujarnya.

Akibatnya, menurut Tumiran, hampir 1 juta barel tiap hari Indonesia mengimpor minyak. Impor tersebut dalam bentuk minyak, BBM, dan crude oil. Bila harga minyak 100 dollar per barel, lanjutnya, maka per hari pemerintah harus mengeluarkan 100 juta dolar.

“Setahun bisa menjadi 36 milyar dolar. Jika 1 dolar dipatok 14 ribu rupiah maka pemerintah Indonesia mengeluarkan uangnya sebesar Rp. 500 triliun. Kita mau dapat uang devisa dari mana jika sebesar itu,” katanya.

Mengacu pada data tersebut, menurut Tumiran,  pemakaian energi berbasis fosil masih mendominasi. Padahal ketersediaannya semakin lama semakin terbatas. Karena itu perlu upaya untuk mengurangi atau membatasi penggunaan energi berbasis fosil ini.

Menurut Turmiran, banyak hal bisa dilakukan untuk mengurangi penggunaan energi berbasis fosil ini, di antaranya efisiensi dan konservasi dengan penggunaan mobil atau motor hemat energi. Dengan begitu, sektor transportasi ke depan tidak semuanya bergantung pada minyak tapi dengan kendaraan-kendaraan listrik, sepeda motor listrik, kemudian mobil double injection pakai gas dan BBM.

Sementara itu Kepala Pusat Studi Energi UGM, Dr. Deendarlianto, mengatakan sebenarnya berbagai peraturan terkait kebijakan energi nasional sudah ada. Misalnya yang tertuang pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang merupakan turunan dari PP No 79 tahun 2014 mengenai Kebijakan Energi Nasional. Yang terbaru Peraturan Presiden No 22 tahun 2017 mengenai RUEN, dan salah satunya seperti yang juga diamanatkan PP 79 tahun 2014 bahwa daerah harus menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang harus mengacu kepada RUEN.

“Artinya, semua target pengembangan energi ke depan dan segala sesuatu arah kebijakan energi telah dimiliki Indonesia,” kata Deendarlianto.

Sayangnya, menurut Deendarlianto, Indonesia memiliki 34 provinsi dengan potensi energi yang berbeda. Belum lagi dengan kapasitas SDM berbeda dan kondisi geografis yang juga berbeda. Hal ini tentu menjadi tantangan dari setiap daerah di Indonesia. “Karena itu, PSE UGM merasa terpanggil bagaimana membicarakan dan membahas persoalan ini agar antara RUEN dan RUED terjadi sinergi dan keselarasan,” ujarnya.

Hal-hal inilah, kata Deendarlianto, akan dibahas dalam Diskusi Nasional Kebijakan Energi pada 25 – 26 April 2017, di Balai Senat UGM. [YUK]