Koran Sulindo – Sudah bertahun-tahun negara Suriah menjadi palagan, dengan “pemain” dari berbagai negara. Sampai-sampai, banyak lupa apa sebenarnya yang membuat negara itu bergolak dan kemudian membuat banyak negara lain ikut menerjunkan kekuatan militernya ke sana.
Kenyataannya, di sana bukan hanya ada satu jenis perang, tapi beragam. Dalam arti, ada banyak kelompok dengan kepentingan yang berkelindan yang terus-menerus menyemburkan api peperangan.
Awalnya terjadi pada tahun 2011, setelah munculnya apa yang disebut media Barat sebagai gerakan Arab Spring atau Musim Semi Arab.Gerakan itu berupa demonstrasi besar-besaran di banyak negara di Timur Tengah. Tak terkecuali di Suriah. Begitu banyak rakyat Suriah menghimpun diri untuk menggugat pemerintahan yang korup dan kebebasan sipil yang dibelenggu.
Pemerintah Suriah di bawah kepemimpinan Presiden Bashar al-Assad mencoba meredam itu semua dengan tindak represif, penuh kekerasan dan brutal pula. Pemerintah menganggap yang melawan mereka—yang terdiri dari bermacam kelompok—sebagai pemberontak. Perang saudara pun tak terhindarkan ketika beberapa remaja yang menggambar grafiti anti-Assad ditangkap aparat keamanan dan kemudian meninggal di dalam sel penjara.
Meski ada banyak kelompok dengan agenda beragam, mereka yang dituding sebagai pemberontak itu punya satu kesamaan: ingin menumbangkan rezim Assad. Dua dari kelompok yang paling menonjol adalah Free Syrian Army serta Front al Nusra.
Pada awal tahun 2014, di sana kemudian berdiri pula apa yang dinamakan Islamic State (IS). Kelompok ini dalam waktu singkat berhasil menanamkan pengaruhnya yang kuat karena memiliki persenjataan yang relatif banyak. Mereka mengklaim sebagai kelompok sunni yang didukung pasukan militer mumpuni, yang merupakanmantan pasukan elitePresiden Irak Saddam Hussein.
Pasukan mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, terutama setelah mereka berganti nama menjadi Islamic State of Iraq and Syria karena telah menguasai banyak kawasan di Suriah dan Irak. Pasukannya umumnya anak-anak muda yang militan, radikal, serta punya keahlian di bidang militer atau teknologi informatika.
Seiring dengan itu masuklah negara-negara lain ke berbagai zona perang di Suriah. Negara-negara yang terlibat peperangan di sana adalah Arab Saudi, Iran, Turki, Amerika Serikat, Israel, dan Rusia. Negara-negara itu terpolarisasi menjadi dua kubu: kubu Amerika Serikat dan kubu Rusia. Semakin kisruhlah situasi dan kondisi di Suriah. Dalam catatan banyak media, akibat peperangan selama bertahun-tahun itu sudah hampir satu juta jiwa melayang dan sekitar 15 juta warga Suriah mengungsi.
Jadi, apa yang terjadi di Suriah bukan lagi konflik domestik. Juga bukan semata-mata gerakan prodemokrasi melawan melawan kediktatoran atau perang saudara yang terjadi antar-kelompok yang berbeda kepentingan. Seperti pernah diungkap
Huffington Post, apa yang terjadi di Suriah adalah teater perang proksi yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, Iran, Arab Saudi, Qatar, Turki, Uni Eropa, Israel, dan bahkan Hizbullah di Lebanon.
Salah satu penyebab utamanya adalah persoalan ekonomi, terkait persaingan untuk membangun jalur pipa gas antara Qatar dan Iran. Karena, kedua negara itu memliki ladang gas dengan cadangan terbesar di dunia, tepat di tengah Teluk Persia, di Parsi Selatan (Iran) dan Kubah Utara (Qatar).
Iran tak bisa mengekstrak gas secepat dilakukan Qatar karena terkena sanksi internasional. Namun, pada tahun 2015 lalu, Iran, Irak, dan Suriah berhasil menyepakati perjanjian pembangunan jalur pipa gas dari Teluk Persia ke Laut Tengah untuk mencapai Eropa. Sebelumnya, Suriah sudah menjalin kesepakatan pasokan energi jangka panjang dengan Rusia.
Padahal, Qatar jauh sebelum itu—yangharus mengangkut gas ke Eropa dengan memutar lewat Selat Hormuz, Laut Merah, Terusan Suez, sebelum mencapai Laut Tengah—sudah juga memilik rencana membangun jalur pipa gas melalui Arab Saudi, Yordania, Suriah, Turki, dan kemudian ke daratan Eropa.
Rencana Qatar itu dianggap membahayakan Rusia. Karena, Eropa selama ini bergantung pada pasokan gas dari Rusia. Dan, pasokan gas dari Qatar bisa membuat harga gas lebih murah daripada yang selama ini dijual Rusia.
Amerika Serikat ikut nimbrung, dengan alasan memerangi ISIS. Israel juga, karena merasa terancam dengan terbentuknya aliansi Iran-Irak-Suriah, yang berlanjut ke Lebanon melalui Hizbullah. Bila poros syiah tersebut semakin menguat, itu artinya Iran akan lebih leluasa memberikan bantuan ke Hizbullah, yang sampai sekarang tak berhenti memerangi Israel.
Yang juga merasa terancam dengan Iran adalah Arab Saudi. Apalagi, Iran berhasil memperkuat rezim-rezim syiah di Irak dan Yaman, yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Itu sebabnya, selain di Suriah dan Palestina, Yaman juga menjadi ajang peperangan.
Apa yang terjadi di Suriah bukan tidak mungkin terjadi pula di Indonesia. Apalagi, konflik di Laut Cina Selatan masih berlangsung dan Amerika Serikat juga ikut ambil bagian. Korea Utara dan Amerika Serikat plus Jepang juga sedang siap-siap berperang.
Tambahan pula, Indonesia masih sangat bergantung dengan utang luar negeri—dan utangnya kini sangat besar. Padahal, dalam persepektif ekspansi kapitalisme global, utang sangat efektif untuk dijadikan alat utama penetrasi atau intervensi suatu negara ke negara lain. Pemberi utang akan punya keleluasaan untuk mengatur dan mengarahkan negara pengutang seperti Indonesia sesuai keinginan mereka.
Bung Karno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, di bawah judul “Kapitalisme Bangsa Sendiri”, mengatakan kapitalisme-lah yang melahirkan imperialisme modern (neo-imperialisme). “Itulah kapitalisme!-jang prakteknja kita bisa lihat di seluruh dunia. Itulah kapitalisme, jang ternjata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan,balapan-tarif,peperangan,kematian,-pendek kata menjebabkan rusaknja susunan dunia jang sekarang ini. Itulah kapitalisme jang melahirkan modern-imperialisme, jang membikin kita dan hampir seluruh bangsa-berwarna mendjadi rakjat jang tjilaka,” tulis Bung Karno.
Istilah neo-imperialisme selalu disandingkan dengan neo-kolonialisme oleh Bung Karno, yang kemudian dia singkat sebagai nekolim. Karena, memang pada hakikatnya, keduanya selalu berjalan seiring dan bisa berdampak sangat mengerikan bagi suatu negara yang diserang mereka. Dan, Bung Karno juga tak bosan-bosannya menyerukan bangsa Indonesia agar selalu waspada terhadap nekolim.
Bahkan, menjelang akhir kekuasaannya, 27 Oktober 1965, Bung Karno kembali menyerukan bahaya nekolim. Secara tersirat, Bung Karno juga mengatakan, Gerakan 30 September 1965 didalangi oleh kaum nekolim, terutama ditunggangi oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).
“Paling berbahaya itu, kita ditunggangi tanpa kita merasa dan mengetahui bahwa kita ditunggangi. Baca kitab-kitab jang membeberkan segala rahasia nekolim, baca The Invisible Government, bacaCIA tulisan Andrew Tulley, baca The Ambassador tulisan Maurice West. O, disitu kelihatan betul kelihaian mereka itu. Dan kita sebagai pemimpin rakyat, Saudara-Saudara, kita harus hati-hati dan waspada sekali. Sekarang Bandrio ini, misalnja, o,God, o,God, o,God, dia sekarang sudahlah dikatakan ini-dikatakan itu oleh nekolim. Saya bisa kata ini oleh karena saya bergaul, bertemu, dengan ambassador-ambassador di Jakarta ini. Tidak sedikit ambassador datang kepada saya, ‘Apakah benar Presiden, is it true that you are going to dismiss Subandrio (Bahwa Tuan akan melepas Subandrio)?’ Malahan ada yang berkata, Roeslan,‘That you are going to dismiss and make Roeslan Abdulgani Foreign Minister?’ Apa sebab? Oleh karena nekolim memang sering mendapat tentangan dari dia, boleh dikatakan jarang ada menteri luar negeri didunia ini, lo, yang begitu gigih menentang nekolim sebagai kitapunya Menteri Luar Negeri Subandrio. Nah, sudah barang tentu, nekolim wenst hem er uit, nekolim mengatakan segala sesuatu yang tidak baik tentang Subandrio,” kata Bung Karno di Guesthouse Istana, Jakarta, di hadapan wakil-wakil partai politik, 27 Oktober 1965.
Bahkan, dalam sebuah kesempatan sebelumnya, Bung Karno juga menyerukan kepada rakyat Indonesia yang mengaku nasionalis untuk bersikap sosio-nasionalis dan mengedepankan humanisme diatas segala aspek. Tujuannya: memerangi sistem kapitalisme, baik yang datang dari luar maupun yang dijajakan oleh orang-orang Indonesia sendiri.
Sekarang ini, apa yang diungkapkan Bung Karno itu jelaslah semakin relevan. Karena itu, sudah seharusnya Presiden Joko Widodo mempelajari lagi dan mencermati baik-baik pemikiran-pemikiran Bung Karno, terutama soal bahaya nekolim, dan kemudian dijadikan panduan untuk menentukan arah kebijakan pemerintahannya. Apalagi, harus diakui, sejak Pemilihan Presiden 2014 dan kemudian Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, bangsa ini diambang perpecahan, setidaknya memiliki kecenderungan terpecah menjadi dua kelompok besar: “kita” dan “mereka”. Tidakkah mempersatukan kedua kelompok itu menjadi “kami orang Indonesia” merupakan upaya yang sangat-sangat penting dan harus diprioritaskan agar Indonesia tidak menjadi seperti Suriah? [Purwadi Sadim]


![Apakah Rasa Takut Israel Membenarkan Perangnya dengan Iran? Pada dini hari tanggal 13 Juni, Israel melancarkan serangan "preemptif" terhadap Iran. Ledakan mengguncang berbagai bagian negara itu. Di antara targetnya adalah situs nuklir di Natanz dan Fordo, pangkalan militer, laboratorium penelitian, dan tempat tinggal militer senior. Pada akhir operasi, Israel telah menewaskan sedikitnya 974 orang sementara serangan rudal Iran sebagai balasan telah menewaskan 28 orang di Israel. Israel menggambarkan tindakannya sebagai pertahanan diri antisipasi, dengan mengklaim Iran hanya tinggal beberapa minggu lagi untuk memproduksi senjata nuklir yang berfungsi. Namun penilaian intelijen, termasuk oleh sekutu Israel, Amerika Serikat, dan laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak menunjukkan bukti Teheran sedang mengejar senjata nuklir. Pada saat yang sama, diplomat Iran sedang berunding dengan mitra AS untuk kemungkinan kesepakatan nuklir baru. Namun, di luar analisis militer dan geopolitik, muncul pertanyaan etika serius: apakah secara moral dapat dibenarkan untuk melancarkan serangan yang menghancurkan tersebut bukan berdasarkan apa yang telah dilakukan suatu negara, tetapi berdasarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa mendatang? Preseden apa yang ditetapkan oleh hal ini bagi seluruh dunia? Dan siapa yang dapat memutuskan kapan rasa takut cukup untuk membenarkan perang? Pertaruhan Moral yang Berbahaya Hossein Dabbagh, seorang asisten profesor filsafat di Northeastern University London, mengemukakan pandangannya untuk Al Jazeera. Para ahli etika dan pengacara internasional menarik garis kritis antara perang preemptif dan preventif. Preemptif menanggapi ancaman yang akan segera terjadi—serangan langsung. Perang preventif menyerang kemungkinan ancaman di masa mendatang. Hanya yang pertama memenuhi kriteria moral yang berakar pada karya-karya filosofis para pemikir seperti Augustine dan Aquinas, dan ditegaskan kembali oleh para ahli teori modern seperti Michael Walzer—menggemakan apa yang disebut rumus Caroline, yang mengizinkan kekuatan preemptif hanya ketika ancaman itu "seketika, sangat kuat, dan tidak memberikan pilihan, dan tidak ada waktu untuk pertimbangan". Namun, serangan Israel gagal dalam ujian ini. Kemampuan nuklir Iran baru akan rampung dalam beberapa minggu. Diplomasi belum sepenuhnya dilakukan. Dan kehancuran yang mungkin terjadi—termasuk dampak radioaktif dari ruang sentrifus—jauh melampaui kebutuhan militer. Hukum tersebut mencerminkan batasan moral. Pasal 2(4) Piagam PBB melarang penggunaan kekerasan, dengan satu-satunya pengecualian dalam Pasal 51, yang mengizinkan pembelaan diri setelah serangan bersenjata. Seruan Israel untuk pembelaan diri antisipasi bergantung pada kebiasaan hukum yang diperdebatkan, bukan hukum perjanjian yang diterima. Para ahli PBB menyebut serangan Israel sebagai "tindakan agresi terang-terangan" yang melanggar norma jus cogens. Pengecualian yang mahal seperti itu berisiko merusak tatanan hukum internasional. Jika satu negara dapat secara kredibel mengklaim tindakan pencegahan, negara lain juga akan melakukannya—mulai dari China yang bereaksi terhadap patroli di dekat Taiwan, hingga Pakistan yang bereaksi terhadap sikap India—yang mana akan merusak stabilitas global. Para pembela Israel menanggapi bahwa ancaman eksistensial membenarkan tindakan drastis. Para pemimpin Iran memiliki sejarah retorika yang bermusuhan terhadap Israel dan secara konsisten mendukung kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah dan Hamas. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini berpendapat bahwa ketika keberadaan suatu negara terancam, hukum internasional kesulitan untuk memberikan jawaban yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Bekas luka historis itu nyata. Namun para filsuf memperingatkan bahwa kata-kata, betapapun penuh kebencian, tidak sama dengan tindakan. Retorika berdiri terpisah dari tindakan. Jika ucapan saja membenarkan perang, negara mana pun dapat melancarkan perang preemptif berdasarkan retorika kebencian. Kita berisiko memasuki "keadaan alamiah" global, di mana setiap momen yang menegangkan menjadi penyebab perang Teknologi Menulis Ulang Aturan Teknologi memperketat tekanan pada kehati-hatian moral. Drone dan pesawat F-35 yang digunakan dalam Rising Lion bekerja sama untuk melumpuhkan pertahanan Iran dalam hitungan menit. Negara-negara dulunya dapat mengandalkan waktu untuk berdebat, membujuk, dan mendokumentasikan. Rudal hipersonik dan drone bertenaga AI telah mengikis jendela itu—menghadirkan pilihan yang sulit: bertindak cepat atau kehilangan kesempatan. Sistem ini tidak hanya mempersingkat waktu pengambilan keputusan—tetapi juga menghilangkan batas tradisional antara masa perang dan masa damai. Ketika pengawasan drone dan sistem otonom tertanam dalam geopolitik sehari-hari, perang berisiko menjadi kondisi default, dan perdamaian menjadi pengecualian. Kita mulai hidup bukan di dunia yang penuh krisis sementara, tetapi dalam apa yang disebut filsuf Giorgio Agamben sebagai keadaan pengecualian permanen—suatu kondisi di mana keadaan darurat membenarkan penangguhan norma, bukan hanya sesekali tetapi terus-menerus. Dalam dunia seperti itu, gagasan bahwa negara harus secara terbuka membenarkan tindakan kekerasan mulai terkikis. Keunggulan taktis, yang disebut sebagai "keunggulan relatif", memanfaatkan kerangka waktu yang terkompresi ini—tetapi memperoleh kemajuan dengan mengorbankannya. Di era di mana intelijen rahasia memicu reaksi yang hampir seketika, pengawasan etika pun surut. Doktrin langkah pertama di masa depan akan lebih mengutamakan kecepatan daripada hukum, dan kejutan daripada proporsi. Jika kita kehilangan perbedaan antara perdamaian dan perang, kita berisiko kehilangan prinsip bahwa kekerasan harus selalu dibenarkan—bukan diasumsikan. Jalan Kembali ke Pengendalian Diri Tanpa perbaikan arah segera, dunia menghadapi risiko norma baru: perang sebelum akal sehat, ketakutan sebelum fakta. Piagam PBB bergantung pada kepercayaan bersama bahwa kekuatan tetaplah pengecualian. Setiap serangan yang disiarkan di televisi mengikis kepercayaan itu, yang mengarah pada perlombaan senjata dan serangan refleksif. Untuk mencegah rentetan konflik yang didorong oleh rasa takut ini, beberapa langkah penting dilakukan. Harus ada verifikasi yang transparan: Klaim tentang "ancaman yang akan segera terjadi" harus dinilai oleh entitas yang tidak memihak—pemantau IAEA, komisi penyelidikan independen—bukan dikubur dalam berkas rahasia. Diplomasi harus diutamakan: Pembicaraan, jalur belakang, sabotase, sanksi—semua harus dibuktikan habis sebelum serangan. Bukan sebagai pilihan, bukan secara retroaktif. Harus ada penilaian publik terhadap risiko sipil: Pakar lingkungan dan kesehatan harus mempertimbangkannya sebelum perencana militer menarik pelatuk. Media, akademisi, dan publik harus bersikeras bahwa ambang batas ini dipenuhi—dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Perang preemptif, dalam kasus yang jarang terjadi, dapat dibenarkan secara moral—misalnya, rudal yang disiapkan di landasan peluncuran, armada yang melintasi garis merah. Namun, standar itu memang dirancang tinggi. Serangan Israel terhadap Iran bukanlah preventif, serangan itu diluncurkan bukan untuk melawan serangan yang sedang berlangsung, tetapi untuk melawan kemungkinan yang ditakutkan. Melembagakan ketakutan itu sebagai dasar perang adalah undangan untuk konflik yang terus-menerus. Jika kita mengabaikan kehati-hatian atas nama rasa takut, kita mengabaikan batasan moral dan hukum bersama yang menyatukan umat manusia. Tradisi perang yang adil menuntut kita untuk tidak pernah memandang mereka yang mungkin menyakiti kita sebagai ancaman belaka—tetapi sebagai manusia, yang masing-masing layak untuk dipertimbangkan dengan saksama. Perang Iran-Israel lebih dari sekadar drama militer. Perang ini adalah ujian: apakah dunia masih akan mempertahankan batasan antara pembelaan diri yang dibenarkan dan agresi yang tak terkendali? Jika jawabannya tidak, maka ketakutan tidak hanya akan membunuh tentara. Ketakutan akan membunuh harapan rapuh bahwa pengendalian diri dapat membuat kita tetap hidup. [BP]](https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2025/07/Asap-mengepul-di-Teheran-180x135.jpeg)

