Koran Sulindo – Pada 20 April 2017 mendatang, Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence dijadwalkan berkunjung ke Indonesia. Kedatangannya ke Indonesia untuk pertama kali akan terutama akan membahas isu kerja sama di bidang ekonomi. Namun, seorang pejabat Gedung Putih mengatakan, Pence tidak akan melakukan pembahasan terkait sengketa perusahaan tambang raksasa milik Amerika Serikat PT Freeport dan pemerintah Indonesia.

Pence hanya akan membahas isu-isu ekonomi secara luas, termasuk lingkungan bisnis negaranya di Indonesia secara umum.  “Kami hanya akan membahas mengenai lingkungan bisnis di Indonesia dalam pengertian umum dan mungkin tak akan terkait dengan sengketa PT Freeport yang terjadi di sana,” tutur pejabat itu, Jumat (14/4).

Sebelumnya, pada 4 April 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menilai Indonesia sebagai salah satu negara yang berbuat curang terhadap Amerika Serikat. Akibatnya, negara itu mengalami defisi neraca perdagangan sampai US$

50 miliar. Selain Indonesia, yang dituduh berbuat curang adalah Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Swiss, Taiwan, dan Kanada. Maka, Trump pada 31 Maret 2017 pun mengeluarkan perintah eksekutif yang memerintahkan jajarannya untuk menyelidiki negara-negara yang bertanggung jawab atas defisit tersebut.:

Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah Amerika Serikat seharusnya instrospeksi diri pada strategi dagang mereka mengingat defisit perdagangan negara itu dengan Indonesia selama ini diakibatkan oleh barang yang diimpor ke Amerika Serikat memang lebih murah dibandingkan dengan harga barang-barang yang sama di Amerika Serikat. “Amerika harus introspeksi, kenapa kita kurang mengimpor barang dari Amerika, karena mereka mahal,” tutur Jusf Kalla, 4 April 2017 lalu.

Sejauh ini, Indonesia mengekspor banyak produk garmen dan alas kaki ke Amerika Serikat, sementara Indonesia mengimpor pesawat Boeing dan mesin lainnya yang pengadaannya tidak bisa disanggupi dari dalam negeri. “Amerika sendiri yang menyodorkan perdagangan bebas selama ini, sebagai unsur negara yang kapitalis memang harus perdagangan bebas. Sekarang malah menyesalkan. Padahal, fair trade ini ada yang menjamin, seperti WTO,” tutur Jusuf Kalla.

Dalam kesempatan berbeda, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara berpandangan, Trump menerbitkan perintah eksekutif tersebut pada 31 Maret 2017 karena akan datangnya Presiden Cina Xi Jinping ke Amerika Serikat. Menurut Mirza, ada tiga kriteria suatu negara dianggap merugikan Amerika Serikat secara perdagangan dan dari kriteria tersebut bisa dibuktikan Indonesia bukan termasuk negara curang seperti yang dituduhkan Trump. Kriteria pertama: negara tersebut mencatatkan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat lebih dari US$ 20 miliar. Padahal, surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat hanya sekitar US$ 13 miliar. “Kedua: negara yang merugikan perdagangan Amerika Serikat memiliki neraca transaksi berjalan surplus, terkait ekspor impor barang dan jasa; sementara Indonesia masih mencatatkan defisit transaksi berjalan 1,8 persen sampai 2 persen dari PDB, jadi tidak termasuk [negara curang],” ungkap Mirza, 5 April 2017 lalu.

Kriteria ketiga: negara yang dianggap merugikan Amerika Serikat melakukan intervensi mata uangnya satu arah secara terus-menerus selama satu tahun, yang bersarnya sampai dengan dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Artinya, negara itu membuat kursnya sengaja melemah sehingga membuat ekspornya lebih murah untuk masuk ke Amerika Serikat. Inilah yang disasar Trump, yakni negara-negara yang sengaja membuat mata uangnya melemah,” katanya.

Indonesia, lanjutnya, lewat Bank Indonesia langsung bergerak melakukan intervensi ke pasar untuk pengendalian kurs rupiah ketika terjadi gejolak. “Kami masuk ke pasar pengendalian kurs dan yang terjadi malah mencegah rupiah terlalu lemah. Kami berupaya kurs rupiah stabil,” tutur Mirza.

Jadi, kata Mirza lagi, Indonesia seharusnya tidak masuk sebagai kategori negara curang seperti yang ditudingkan Trump. “Pemerintah terus mencermati perkembangan di Amerika Serikat karena dari perintah eksekutif itu tiga bulan lagi akan keluar laporan mengenai negara-negara yang dianggap Amerika Serikat melakukan unfair subsidies. Bank Indonesia juga terus memantau karena ini terkait kurs juga,” ungkapnya. [RAF]