Ilustrasi: Suasana pameran/YUK

Koran Sulindo – Sosok Kebo Iwa mungkin asing bagi kita. Namun tidak demikian halnya dengan warga Bali. Di Pulau Dewata, nama Kebo Iwa telah menjadi mitos dan melegenda. Ia tak kalah hebatnya dengan Mahapatih Kerajaan Majapahit Gadjah Mada.

Ya, Kebo Iwa adalah seorang patih sekaligus panglima perang di Kerajaan Bedaulu, Bali, saat diperintah Sri Astasura Ratna Bumi Banten, awal abad 14. Kebo Iwa juga dikenal sebagai Undagi handal yang menguasai ilmu arsitektur tradisional Bali.

Alkisah, Mahapatih Kebo Iwa ini harus berhadapan dengan Mahapatih Gadjah Mada saat Mahapatih Kerajaan Majapahit ini berniat menyatukan seluruh Nusantara di bawah Majapahit – dikenal dengan Sumpah Palapa. Dalam peperangan, antara balatentara Kerajaan Bedaulu dan prajurit Majapahit imbang. Akhirnya hanya dengan lewat dialog, di mana Gadjah Mada mengutarakan alasannya ingin menyatukan Nusantara, Kebo Iwa pun sepaham dan dengan sukarela mendukung.

Dan untuk menyempurnakan penyatuan itu Kebo Iwa – yang punya jiwa kesatria memilih mati. Ia pun memberitahu kepada Gadjah Mada ihwal titik lemahnya, yakni bisa mati dengan cara diguyur dengan bubuk kapur putih (gamping). Maka setelah ditaburi gamping, Kebo Iwa meninggal dan mengalami moksa yang merupakan pertanda ketulusannya mendukung penyatuan Nusantara.

Sosok Kebo Iwa inilah yang lantas dan diinterpretasikan dalam karya seni rupa oleh dua perupa asal Bali, yakni Arya Sucitra dan Agus Putu Suyadnya dengan tema ‘KeboIwalogi’. Karya kedua perupa ini kini tengah dipamerkan di Bentara Budaya Yogya sejak 21 – 28 Februari 2017.

Dalam perbincangannya dengan wartawan Koran Sulindo, Arya Sucitra yang kini menjadi dosen di ISI Yogya, mengaku ketertarikannya mengangkat sosok Kebo Iwa ini karena memiliki kedalaman filosofis dan nilai budaya yang kuat sebagai putra Bali. Dari Kebo Iwa, dirinya belajar menghargai budaya sendiri (budaya Bali). Pun juga Arya melihat Kebo Iwa memiliku jiwa kesatria, patriotik terhadap kerajaan (bangsa), berjiwa besar, toleransi dan menghormati perjuangan terbentuknya Nusantara melalui sumpah palapa Gadjah Mada.

“Melalui Kebo Iwa aku membangun kesadaran sejarah budaya dan bangsa Indonesia. Nusantara terbentuk karena perjuangan dan kerelaan berbagai bangsa (etnik) untuk menjadi satu bangsa yang kuat dan berwibawa,” tegasnya.

Guardian Series "Mendengar Kabar Burung", karya Agus Putu Suyadnya/YUK
Guardian Series “Mendengar Kabar Burung”, karya Agus Putu Suyadnya/YUK

Dari perbincangan dengan Arya Sucitra ini maka bisa dipahami bila dalam karya-karyanya banyak menonjolkan warna putih yang dikontraskan dengan warna hitam. Ini terlihat, misalnya, pada karya ‘Menuju Tanah Jawa’ (tahun 2017, akrilik di atas kanvas, 100 x 200 cm) dan juga ‘Partner Spirit of Nusantara’ (tahun 2017, akrilik di atas kanvas, 100 x 200 cm).

Warna putih yang terkesan menonjol di antara warna hitam ini menunjukkan betapa tulus dan sucinya Kebo Iwa untuk berkorban demi cita-cita Gadjah Mada yang lebih besar yakni menyatukan Nusantara sehingga bangsa ini menjadi kuat saat menghadapi infiltrasi asing – ingat, antara kerajaan di Bali dengan kerajaan Majapahit masih punya hubungan keluarga. Leluhur kerajaan Bali berasal dari kerajaan Majapahit. Maka, tak salah jika di sini bisa dimaknai, Kebo Iwa mampu mengalahkan nafsu angkara murka dan ingin mengangkangi kekuasaan yang dilambangkan dengan warna hitam.

“Karya-karya Arya Sucitra menghadirkan elemen warna putih yang dominan sebagai bagian interpretasinya terhadap kebenaran, pencerahan dari unsur batu kapur yang menjadikan Kebo Iwa moksa,” kata Pande Made Kutanegara, antropolog dari UGM yang juga seorang pengamat seni.

Bila Arya Sucitra lebih menampilkan nuansa spiritual dan memandang Kebo Iwa dipandang sebagai hero dalam konteks Nusantara, menurut

Pande Made Kutanegara, maka Agus Putu mengimpresikan Kebo Iwa sebagai palang pintu (guardian) terbentuknya Nusantara. “Karya Agus Putu – lulusan ISI Yogya tahun 2010 – menunjukkan betapa sebenarnya sifat-sifat hero, dan juga pengorbanan sangat diperlukan dalam membangun dan merawat Nusantara ini,” tuturnya.

Secara keseluruhan, menurut Pande Made Kutanegara, karya kedua perupa ini menunjukkan luas dan dalamnya pengembaraan mereka, keluar dari lapisan-lapisan budaya lokal (Bali) dan menyerap budaya lokal baru (Jawa) yang juga sedang mengalami proses transformasi yang sangat cepat. “Selain itu budaya modern, global dan kekinian juga tampak turut memperkaya kemampuan mereka dalam mengeksplorasi budaya asal, yakni Bali,” ujar Pande Made Kutanegara. [YUK]