75% Permukiman di Lombok Utara Hancur, tapi Belum Bencana Nasional

Kantor Badan Pusat Statistik Lombok Utara setelah gempa. Foto: @bps_statistics

Koran Sulindo –  Hampir 75% permukiman di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, hancur dan rusak akibat gempa. “Dari hasil analisis citra satelit, terlihat kerusakan bangunan masif terjadi di Kabupaten Lombok Utara. Pendataan masih dilakukan,” ungkap Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Jumat (10/8).

Lombok Utara paling parah, lanjutnya, karena paling dekat dengan pusat gempa dan menerima guncangan gempa dengan kekuatan VII Skala Modified Mercalli Intensity (MMI). Pada skala itu, rumah dengan konstruksi yang kurang memenuhi standard tahan gempa tak akan mampu menahan guncangan keras sehingga roboh.

Data sementara kerusakan akibat gempa mencapai 67.875 unit rumah; 468 sekolah; 6 jembatan; 3 rumah sakit; 10 puskesmas; 15 masjid; 50 unit musola, dan; 20 unit perkantoran. Tercatat lebih dari 270.168 jiwa mengungsi di ribuan titik. “Kerugian dan kerusakan akibat gempa di Nusa Tenggara Barat dan Bali diperkirakan lebih dari Rp 2 triliun,” kata Sutopo sebagaimana dikutip Antara.

Kerugian dan kerusakan tersebut meliputi sektor permukiman, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial budaya, dan lintas sektor. “BNPB masih melakukan hitung cepat untuk menghitung kerugian ekonomi,” katanya.

Sungguhpun begitu, BNPB tidak akan menetapkan musibah ini sebagai bencana nasional. Pasalnya, status bencana nasional akan dirilis jika pemerintah yang daerahnya tertimpa musibah telah lumpuh total. Pada gempa di Lombok, itu tidak terjadi. “Bencana nasional itu jika korban banyak, daerahnya luas, dan aparat pemerintah daerha juga lumpuh total. Pemerintah daerah juga menjadi korban dan lumpuh total sehingga fungsi-fungsi kepemerintahan tidak berjalan,” ungkap Sutopo

Korban di Lombok memang banyak dan luas, lanjutnya, tapi perangkat pemerintah daerah setempat, seperti bupati, walikota, dan gubernur beserta jajarannya , masih ada dan berfungsi. Bantuan dari pemerintah pusat juga terus mengalir untuk mengatasi masalah APBD terbatas.

Menurut Sutopo, pemerintah pusat terus mendampingi penanganan dampak gempa hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi nanti. “Bahkan sering dana dari pemerintah pusat lebih dari 95 persen untuk penanganan gempa,” tuturnya.

Dijelaskan Sutopo, status bencana tidak berpengaruh pada penanganan gempa. Walau bencana terjadi di daerah, pemerintah pusat mendampingi semuanya mulai dari personil, pendanaan, peralatan, logistik, tertib administrasi, dan manajerial. Namun, memang, kehadiran pemerintah daerah dibutuhkan agar tangguh. “Jadi tidak usah berpolemik gempa Lombok menjadi bencana daerah atau bencana nasional,” ujarnya.

Lebih lanjut Sutopo juga mengungkapkan, ada hambatan dalam menyalurkan bantuan ke para pengungsi di bukit-bukit dan desa-desa terpencil di Lombok Utara. Itu sebabnya bantuan kemudian didistribusikan menggunakan helikopter.  “Ada tiga heli dari BNPB dan Basarnas digunakan untuk dropping bantuan. Bantuan dari darat juga dilakukan,” katanya.

Saat ini, tambahnya, bantuan yang sangat dibutuhkan oleh pengungsi adalah kebutuhan dasar, seperti air bersih, sanitasi, tempat mandi-cuci-kakus, susu anak, pembalut, sandang, makanan siap saji, air mineral, dan trauma healing. [RAF]