Suluh Indonesia – Belakangan ini Indonesia kerap mengalami krisis toleransi. Perbedaan yang justru menimbulkan perpecahan kerap kali muncul. Padahal, perbedaan itu sendirilah yang seharusnya membuat Indonesia menjadi indah karena lebih “berwarna”.
Sebagai warga negara yang baik, sudah barang tentu kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan dengan menganut paham toleransi. Jangan sampai Indonesia terpecah-belah akibat isu-isu negatif. Bila boleh menukil pribahasa, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”
Seperti yang baru-baru ini terjadi, sekelompok orang dengan menggunakan batu dan bambu merusak bangunan masjid milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang terletak di Desa Balai Gana, Kecamatan Tempunuk, Kabupaten Sintang.
Peristiwa penyerangan dan perusakan tempat ibadah dan gedung milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) itu terjadi pada Jumat (3/9) siang.
Peristiwa yang terjadi itu tentunya tidak bisa dibenarkan dalam hal apa pun. Para pelaku perusakan tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah itu harus diberikan tindakan.
Tindakan main hakim sendiri, apalagi dengan cara-cara kekerasan yang merusak rumah ibadah dan harta benda milik orang lain, adalah ancaman nyata bagi kerukunan umat beragama.
Nah, yang menjadi pertanyaan mendasar yakni siapa yang menyuruh dan apa motif di balik peristiwa itu? Karena berdasarkan keterangan dari pihak aparat kepolisian, massa yang main hakim sendiri itu menginginkan bangunan milik JAI agar di bongkar.
Pembongkaran bangunan milik JAI itu tidak diterima keberadaannya oleh warga di sana, entah dengan alasan apa! Yang pasti, sebelum peristiwa itu ternyata, pihak pemerintah setempat sendiri sebelumnya telah memberikan surat agar sementara waktu jemaat JAI menghentikan kegiatan di gedung dan masjid.
Mungkin karena kurang puas atas putusan pemerintah itu, lantas massa melakukan aksi main hakim sendiri dengan melakukan perusakan bangunan masjid dan membakar bangunan lain di sekitarnya. Apakah itu tindakan murni atau justru ada yang menunggangi agar memicu arus besar?
Bila menilik sejarah kelam tentang pengeboman gereja-gereja di Tanah Air, maka aksi itu tentunya tidak bergerak sendiri. Ada pihak yang berusaha menghancurkan nilai-nilai kebersamaan antarumat beragama.
Memang kasus mengenai pembakaran masjid di Sintang bukan hal besar, tetapi bila ditelaah ini bisa menjadi riak-riak kecil yang kemudian bisa membesar. Karena pastinya umat beragama bisa saling menyerang, terperangkap oleh pembakaran ini.
Seperti kasus pengemboman di berbagai daerah yang tak lain adalah bertujuan agar keberagaman di Indonesia bisa pecah. Bila pun perlu tercerai berai. Dari kontruksi kasus, tampak jelas pola yang dibuat adalah untuk saling hasut.
Karena kita tahu, sejak dulu sentimen agama merupakan makanan yang mudah diolah, untuk menciptakan kekacauan secara nasional dan bisa mengakibatkan dampak besar, krisis toleransi.
Kita seharunya melek sejarah kelam, seperti peristiwa Poso, Ambon dan Maluku yang konfliknya juga sampai saat ini belum mereda. Setiap pemuka agama seharusnya bisa memberikan pesan bahwa keberagaman adalah Indonesia. [WIS]
Baca juga: