Pelaku pembakaran gedung Reichstag adalah seorang komunis Belanda yang hampir sepenuhnya buta. (Sumber: Sulindo/Benedict Pietersz)
Pelaku pembakaran gedung Reichstag adalah seorang komunis Belanda yang hampir sepenuhnya buta. (Sumber: Sulindo/Benedict Pietersz)

Pada tanggal 27 Februari 1933, gedung parlemen Jerman (Reichstag) terbakar. Pelaku pembakaran itu adalah seorang pekerja konstruksi sekaligus komunis muda Belanda, Marinus Van der Lubbe.

Mobil pemadam kebakaran membutuhkan waktu berjam-jam untuk memadamkan api. Pembakaran itu telah menghancurkan ruang debat dan kubah emas Reichstag, serta menyebabkan kerugian lebih dari satu juta dolar.

Insiden itu terjadi sebulan setelah Adolf Hitler menyerukan pemilihan umum baru untuk memperkuat posisinya di parlemen Jerman. Partai Nazi kala itu hanya berhasil meraih 33 persen suara dan tidak dapat mencapai mayoritas penuh. Nazi juga merupakan satu partai dalam pemerintahan koalisi tiga partai, di bawah Presiden Hindenburg.

Hitler berniat mendapatkan dukungan mayoritas di Reichstag. Ini akan memungkinkan Nazi untuk memerintah tanpa perlawanan dan tanpa hambatan dari pemerintahan koalisi.

Pembakaran gedung Reichstag menimbulkan kepanikan besar. Partai Nazi memanfaatkan suasana panik itu untuk mengklaim bahwa kaum komunis sedang merencanakan pemberontakan nasonal untuk menggulingkan Republik Weimar, dan undang-undang darurat diperlukan untuk mencegah hal ini.

Beberapa jam kemudian, pada tanggal 28 Februari, Hindenburg menerapkan Pasal 48 dan kabinet menyusun “Dekrit Presiden Reich untuk Perlindungan Rakyat dan Negara.” Dekrit ini menangguhkan hak berkumpul, kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan perlindungan konstitusional lainnya, termasuk semua pembatasan terhadap penyelidikan polisi.

Dekrit tersebut mengizinkan rezim untuk menangkap dan memenjarakan lawan politik tanpa tuduhan khusus, membubarkan organisasi politik, dan menyita properti pribadi. Malam itu sekitar 4.000 orang ditangkap, dipenjarakan dan disiksa oleh Sturmabteilung (SA), organisasi paramiliter Nazi.

Dekrit itu juga memberikan Nazi kewenangan untuk mengesampingkan undang-undang negara bagian dan lokal serta menggulingkan pemerintahan negara bagian dan lokal.

Meskipun kaum komunis pada kenyataannya tidak mengembangkan rencana apa pun untuk melakukan pemberontakan, dampak propaganda dan teror Nazi meyakinkan banyak orang Jerman bahwa tindakan tegas Hitler telah menyelamatkan bangsa dari Bolshevisme.

Di tahun itu, pengadilan pidana yang sensasional dimulai. Para terdakwa termasuk Marinus, Ernst Torgler (pemimpin Partai Komunis di Reichstag) dan tiga komunis Bulgaria. Marinus membakar Reichstag dengan harapan rezim tersebut akan memperkenalkan serangkaian undang-undang yang membuat oposisi komunis dan sosial demokrat hampir mustahil.

Pelaku Pembakaran

Merangkum dari Libcom, Marinus van der Lubbe lahir di Leiden dalam kondisi miskin pada 13 Januari 1909. Ibunya menceraikan suami pertamanya dan menikah dengan seorang pedagang kaki lima.

Setelah menamatkan sekolah dasar, Marinus menjadi seorang pekerja konstruksi. Saat asyik bermain dengan rekan-rekannya, semen masuk ke mata kirinya. Ini menyebabkan infeksi kronis pada selaput lendirnya dan merusak kornea matanya. Akibatnya, dia hanya memiliki 30 persen penglihatan.

Pada usia 15 tahun, Marinus berkenalan dengan seorang komunis muda bernama Simon Harteveld. Tak lama kemudian, dia menjadi anggota aktif partai pemuda komunis.

Pada tahun 1927, Marinus menyewa kamar di Leiden. Setengah tahun kemudian, kecelakaan kedua terjadi di tempat kerjanya dan mata kanannya juga rusak parah. Dia hanya bisa mengenali seseorang dalam jarak satu meter.

Marinus biasanya menghabiskan waktunya dengan berdebat dan mempelajari teori komunis Karl Marx. Piet van Albada, putra seorang dokter, mengajarinya bahasa Jerman agar dia bisa membaca buku Marx.

Pada tahun 1929, kaum komunis di Leiden terbagi pendapatnya tentang situasi baru di Uni Soviet, di mana Stalin berkuasa. Akibatnya, ketua klub partai komunis setempat mengubah pendapat politiknya. Karena tidak ada alternatif yang lebih baik, Marinus menjadi ketua barunya dan berhasil menjadi penyelenggara acara.

Namun ketika dia menyebarkan korannya sendiri tanpa izin dari partai komunis setempat, dia dikeluarkan dan melepaskan jabatannya sebagai ketua.

Pada musim dingin tahun 1932, Marinus berbincang-bincang dengan Piet van Albada. Marinus berkata dia tidak mengerti mengapa orang bunuh diri, dan dia lebih suka membunuh Hitler dulu. Piet menjawab bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan meledakkan Reichstag akan lebih efektif.

Rupanya, ini menginspirasi Marinus. Ketika dia membaca pada tanggal 30 Januari 1933 bahwa Hitler menjadi Kanselir, dia mengikuti situasi di Jerman lebih jauh lagi. Kemudian pada tanggal 27 Februari, jam sembilan malam, dia menerobos masuk ke Reichstag.

Marinus tidak menyadari bahwa kehadirannya sudah diketahui oleh seorang pelajar muda, yang kemudian melapor ke polisi. Namun dia tetap berusaha membakar Reichstag. Awalnya dia hanya berhasil membuat api kecil, tetapi pada pukul 9.30 malam, atap kaca runtuh. Oksigen masuk dan api membesar. Pada pukul 10 malam, api telah mencapai puncak gedung Reichstag.

Sementara itu, Hermann Göring mendengar tentang kebakaran tersebut. Baru setelah Goebbels memeriksa kebenarannya, dia dan Hitler pergi ke Reichstag. Hitler menatap Reichstag yang terbakar dengan kemarahan mendalam.

Pada 10 Januari 1934, hanya tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-25, Marinus dipenggal dengan guillotine di halaman penjara di Leipzig. Jenazahnya dikubur secara anonim di Südfriedhof di Leipzig, dua kali lebih dalam dari biasanya. Di atas makamnya, sebuah batu besar berwarna coklat tanpa tulisan diletakkan. [BP]