Tsar Nicholas II dan keluarganya dieksekusi oleh kaum Bolshevik di Yekaterinburg, Rusia pada 17 Juli 1918, mengakhiri dinasti Romanov yang telah berusia tiga abad.
Menurut History, Tsar Nicholas II dimahkotai pada tahun 1896 tidak terlatih atau tidak memiliki keinginan untuk memerintah.
Ini tidak membantu otokrasi yang ingin dia pertahankan di tengah rakyat yang mendambakan perubahan.
Hasil buruk Perang Rusia-Jepang memicu Revolusi Rusia tahun 1905, yang baru berakhir setelah Nicholas menyetujui majelis perwakilan—Duma—dan menjanjikan reformasi konstitusional.
Tsar segera mencabut konsesi-konsesi ini dan berulang kali membubarkan Duma ketika mereka menentangnya, berkontribusi pada meningkatnya dukungan publik terhadap kaum Bolshevik dan kelompok-kelompok revolusioner lainnya.
Pada tahun 1914, Nicholas memimpin negaranya ke dalam perang mahal lainnya—Perang Dunia 1—yang tidak siap dimenangkan oleh Rusia.
Ketidakpuasan meningkat ketika pangan menjadi langka, tentara menjadi lelah berperang, dan kekalahan telak di tangan Jerman menunjukkan ketidakefektifan Rusia di bawah Nicholas.
Pada bulan Maret 1917, revolusi meletus di jalanan Petrograd (sekarang St. Petersburg) dan Nicholas terpaksa turun takhta di akhir bulan itu.
Pada bulan November itu, kaum Bolshevik sosialis radikal, yang dipimpin oleh Vladimir Lenin, merebut kekuasaan di Rusia dari pemerintahan sementara, mengajukan perdamaian dengan Blok Sentral, dan mulai mendirikan negara komunis pertama di dunia.
Perang saudara meletus di Rusia pada Juni 1918, dan di bulan Juli, pasukan Rusia “Putih” yang anti-Bolshevik maju ke Yekaterinburg, tempat Nicholas dan keluarganya berada, dalam sebuah kampanye melawan pasukan Bolshevik.
Pemerintah setempat diperintahkan untuk mencegah penyelamatan keluarga Romanov, dan setelah pertemuan rahasia Soviet Yekaterinburg, hukuman mati dijatuhkan kepada keluarga kekaisaran.
Larut malam tanggal 16 Juli, Nicholas, Alexandra, kelima anak mereka, dan empat pelayan diperintahkan untuk segera berpakaian dan turun ke ruang bawah tanah rumah tempat mereka ditahan.
Di sana, keluarga tersebut dan para pelayan berdiri dalam dua baris untuk difoto, yang kabarnya diambil untuk meredakan rumor bahwa mereka telah melarikan diri.
Tiba-tiba, belasan pria bersenjata menyerbu masuk ke ruangan dan menembaki keluarga kekaisaran.
Mereka yang masih bernapas ketika asap menghilang ditikam hingga tewas.
Jenazah Nicholas, Alexandra, dan tiga anak mereka digali di hutan dekat Yekaterinburg pada tahun 1991 dan teridentifikasi positif dua tahun kemudian menggunakan DNA sidik jari.
Putra Mahkota Alexei dan seorang putri Romanov tidak ditemukan, memicu legenda yang terus beredar bahwa Anastasia, putri bungsu Romanov, selamat dari eksekusi keluarganya.
Dari beberapa “Anastasia” yang muncul di Eropa dalam dekade setelah Revolusi Rusia, Anna Anderson, adalah yang paling meyakinkan.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di ResearchGate mengungkapkan bahwa Anderson, yang menderita gangguan kejiwaan, mengklaim dirinya sebagai Anastasia, putri bungsu Tsar.
Dia mengaku selamat dari pembantaian tersebut karena dia dikeluarkan dari ruang bawah tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri oleh salah satu penjaga.
Dia meninggal pada tahun 1984 di Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat, dan mengklaim garis keturunan kerajaannya hingga akhir hayatnya.
Pada tahun 1994, para ilmuwan menggunakan DNA untuk membuktikan bahwa Anna Anderson bukanlah putri tsar, melainkan seorang wanita Polandia bernama Franziska Schanzkowska. [BP]




