Zon dan Zen

Ilustrasi/bbc.co.uk

Koran Sulindo – Dalam pertarungan antara Joko Widodo dan mantan orang kuat militer Prabowo Subianto, dua tokoh kunci hampir selalu luput dari perhatian: Fadli Zon dan Kivlan Zen.

Media massa baik lokal maupun internasional, juga media sosial, cenderung berfokus pada para pemimpin Islam dalam demonstrasi raksasa aksi bela Islam menjelang Pilkada DKI Jakarta lalu. Nama Rizieq Syihab berkibar hingga ke luar angkasa.

Tak banyak yang tahu, penggerak lapangan sebenarnya adalah Zon dan Zen.

Zon, kini Wakil Ketua DPR, membantu Prabowo mendirikan Partai Gerindra pada 2007 dan hingga sekarang masih menjabat sebagai wakil ketua partai. Zen adalah pensiunan jenderal yang selalu berada di lingkaran satu Prabowo sejak masih aktif di militer pada 1980-an. Zen adalah salah satu pendiri milisi semi militer Pasukan Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa) pada 1998, yang kemudian bermetamorfosis menjadi Front Pembela Islam (FPI).

Untuk mengetahui apakah Prabowo berada di belakang sebuah demonstrasi atau tidak, hanya perlu memeriksa apakah Zon atau Zen terhubung dengan demonstrasi tersebut.

Sebuah hidangan besar dipersembahkan kepada Prabowo pada April 2016, ketika Jokowi dan konon pemikir di belakangnya, Luhut Panjaitan, mendukung simposium para korban yang selamat dari pembantaian 1965, dan kemudian mengumumkan pemerintah akan membentuk sebuah tim untuk mencari kuburan massal. Bagi beberapa pengamat, Jokowi dan Luhut menunjukkan kepemimpinan moral, membantu bangsa mencari kebenaran tentang masa lalu, membangun rekonsiliasi, dan memastikan ekses masa lalu tidak akan terulang.

Bagi Prabowo, Jokowi dan Luhut membuka diri untuk diserang kelompok Islam garis keras dan konservatif lainnya.

Jokowi segera menarik langkahnya ketika Kivlan Zen bersama kelompok Islam mengkritik “rekonsiliasi” itu. Bersama mereka bergabung pula mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, yang sebenarnya tak pernah dekat dengan kelompok Islam, dan beberapa tokoh militer terkemuka lainnya.

Zen memenangkan pertempuran itu, dan Jokowi dengan berat hati memindahkan Luhut untuk mengurusi kemaritiman, dan menunjuk pensiunan Jenderal, Wiranto, yang segera mengaborsi gagasan rekonsiliasi itu.

Mobilisasi lebih lanjut kelompok Islam terjadi pada November 2016, ditujukan pada sekutu Jokowi yang lain: saat itu Gubernur DKI Jakarta Basuki Purnama (Ahok).

Unjuk rasa pertama FPI sebenarnya sudah dilakukan pertengahan Oktober, namun sepi massa dan pemberitaan. Unjuk rasa kedua, dilaksanakan sudah lebih 5 minggu setelah pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang dituduh menghujat Islam, baru terdengar dan diberitakan media massa setelah Fadli Zon mengumumkan akan bergabung dalam demonstrasi tersebut.

Zen juga dikatakan menjadi salah satu pelaksana lapangan.

Unjuk rasa yang jauh lebih besar dalam jumlah massa pengikut terjadi pada 2 Desember 2016, terkenal dengan nama “Aksi Bela Islam 212”, namun menjadi antiklimaks setelah Kivlan Zen ditangkap polisi pagi hari sebelum aksi itu dilaksanakan dengan tuduhan makar, dan Presiden Jokowi merebut panggung di Monas pada siang harinya.

Pada April 2017, sebagian besar berkat kerumunan besar yang dimobilisasi oleh Zon dan Zen itu, Ahok kalah telak dalam pemilihan Gubernur Jakarta di tangan Anies Baswedan.

Sebelumnya, kaum Islam berada di depan dan di tengah mencoba menurunkan Ahok, tapi mereka tidak bisa tanpa dukungan politik dan, terutama, finansial Prabowo. Sekutu utama Prabowo, taipan media Hary Tanoe, menjadi pendukung utama kelompok Islam utama dalam barisan itu, FPI, melalui dukungan dana dan pemberitaan positif di stasiun-stasiun TV miliknya. Pujian pemimpin FPI untuk Hary Tanoe, seorang Tionghoa dan beragama Kristen seperti Ahok, tidak terasa lucu waktu itu.

Pada awal 2017, saat pemilihan gubernur mendekat, Prabowo memberikan dukungan langsung kepada kelompok Islam, mengkritik Ahok karena “memfitnah kelompok lain.” Dan saat hasil pilkada telah keluar dan mereka menang, Prabowo mengucapkan terima kasih kepada pemimpin FPI karena “menyelamatkan demokrasi Indonesia.”

Sebelum November 2016, FPI hanya sedikit mendapat dukungan dari masyarakat. Adalah aliansi dengan Prabowo yang menyebabkan FPI mampu memobilisasi ratusan ribu orang.

Sejak September 2017, Fadli Zon dan Kivlan Zen muncul kembali dengan menghidupkan kembali bahaya komunisme sebagai isu politik. Kivlan Zen bergabung dengan kelompok Islam saat mereka menyerang Kantor Bantuan Hukum Indonesia (LBH) Jakarta pada 18 September. Saat itu di tempat tersebut sedang diadakan reuni para penyintas 1965.

Ketika kelompok Islam itu berunjuk rasa di luar gedung DPR pada 29 September lalu, dengan teriakan bahwa Jokowi menekan kelompok Islam dan membiarkan komunisme bangkit lagi, Fadli Zon menemui para pengunjukrasa; memberi legitimasi bagi klaim para pengunjukrasa tentang kebangkitan komunisme itu.

Unjuk rasa pada Jokowi pada September 2017 sekali lagi dilakukan kelompok Islam itu. Prabowo membantah mendukung kelompok Islam tersebut. Namun Zen ada di sana saat mereka menyerang kantor LBH pada 18 September. Polisi mengatakan kesulitan untuk menangkap penyerang karena ada Zen di sana.

Fadli Zon tidak hanya secara terbuka bersimpati dengan para pengunjuk rasa Islam itu, beberapa hari sebelumnya ia bahkan mengipasi ketakutan akan bahaya komunisme dan mendukung pemutaran film “Pengkhiatan G30SPKI”, film propaganda anti-komunis yang diproduksi di zaman kekuasaan Soeharto.

Belum lama ini pemerintah Amerika Serikat membuka dokumen-dokumen rahasia keterlibatan AS dalam pembantaian orang-orang komunis pada 1965, dan Jokowi ditekan untuk berdamai dengan para penyintas 1965. Jika saja Jokowi melakukan hal itu, Zon dan Zen sudah siap di sana, bergerak lagi memobilisasi kelompok Islam dan konservatif lainnya. [DAS; Disadur dari tulisan Terry Russell, Zon, Zen, and the Art of Mass Mobilization in Indonesia” di situs The Diplomat]