Koran Sulindo – Dalam dua tahun terakhir, dan setidaknya dua tahun ke depan akan ada banyak proyek besar di Yogyakarta. Bandara internasional baru, jalur kereta api baru, hingga pembangunan jalan tol. Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyebut, kawasan itu akan diikuti dengan perkembangan kota baru.
“Aerocity ada, aerotropolis ada, jalan tol juga ada, pembangunan jalur kereta PT KAI juga ada. Ya semua itu kan harapan saya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dan itu membuka lapangan kerja,” ujar Sultan di Gedung Bank Indonesia Yogyakarta, Kamis (5/12/2019).
Aerocity yang disebut Sultan adalah rencana pembangunan kawasan bisnis dan wisata di sekitar Bandara Internasional Yogyakarta di lahan seluas 86 hektar. Sedangkan aerotropolis, adalah pengembangan kota baru tidak jauh dari lokasi bandara, yang diperkirakan membutuhkan lahan 1.000 hektar, dan kawasan penyangga 6.000 hektar. Semua diharapkan mampu menggerakkan ekonomi Yogyakarta.
Kepala Perwakilan BI Yogyakarta Hilman Tisnawan mengatakan, hingga akhir 2019 pertumbuhan ekonomi DIY ada pada kisaran 6,3-6,7 persen. Terjadi peningkatan dibanding 2018 yang tercatat 6,2 persen.
“Dalam dua tahun terakhir, ekonomi DIY tumbuh ditopang oleh sektor domestik, utamanya investasi bangunan dan konstruksi proyek strategis nasional, Bandara NYIA memberikan porsi yang cukup besar untuk pembangunan DIY,” kata Hilman dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia (BI) di Yogyakarta, Kamis (5/12/2019).
Bank Indonesia juga memberi catatan, pariwisata melalui konsep Community Base Tourism bermakna besar bagi DIY. Terbukti dari survei, kata Hilman, CBT secara langsung mengurangi angka kemiskinan.
Miskin tapi Bahagia
Proyek besar, pertumbuhan ekonomi, investasi dan kemiskinan adalah kosa kata yang kerap terdengar bersamaan dalam seminar atau diskusi ekonomi di Yogyakarta. Namun, ada data statistik yang kadang dianggap tidak sinkron jika dilihat dalam skala lebih luas.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, angka kemiskinan DIY adalah 11,7, lebih tinggi dari angka nasional 9,41. Yogyakarta berada di urutan 12 angka kemiskinan tertinggi, dan menjadi yang termiskin di Pulau Jawa. Rasio gini atau ketimpangan pendapatan di DIY yang tertinggi di Indonesia, yaitu 0,423. Upah Minimum Provinsi juga memegang rekor sebagai terendah di Indonesia, dengan Rp1.704.608. Angka itu lebih rendah Rp38 ribu dari Jawa Tengah, Rp64 ribu dari Jawa Timur, dan Rp106 ribu dari Jawa Barat.
Rendahnya peringkat Yogyakarta di sektor tenaga kerja dan ekonomi itu, berbanding terbalik dengan kualitas hidup masyarakatnya. Menurut Indeks Kebahagiaan yang dikeluarkan BPS, Yogyakarta duduk di peringkat delapan sebagai provinsi paling bahagia se-Indonesia. Angka harapan hidup DIY bahkan tertinggi, yaitu 74 tahun, di atas rata-rata nasional 71 tahun.
Upah Rendah tapi Menerima
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, Andung Pribadi Santosa mengatakan, tahun depan pengurangan kemiskinan akan menjadi prioritas. Andung menyampaikan itu ketika mengumumkan besaran UMP DIY beberapa waktu lalu.
“Untuk tahun 2021, penetapan upah minimum kabupaten, kota dan provinsi harus berorientasi pada pengentasan atau pengurangan angka kemiskinan,” ujar Andung.
Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) Kirnadi pesimis dengan persoalan upah dan pengentasan kemiskinan. Yogyakarta sejak lama dikenal menjadikan upah rendah sebagai daya tarik investasi.
“Hari ini di Yogyakarta, sebagai dasar untuk menarik investasi itu keunggulannya hanya upah rendah itu saja. Dan ini yang menjadi dasar bagi mereka untuk silahkan masuk ke sini, kami mempunyai kebijakan upah terendah di Indonesia,” ujar Kirnadi.
Angka Rp 1,7 juta ujar Kirnadi dinilai tidak layak. ABY sudah melakukan survei di DIY dan menetapkan Rp 2, 3 juta hingga Rp 2,6 juta sebagai jumlah rasional bagi buruh dan keluarganya agar bisa hidup layak. Kirnadi mengingatkan, buruh di Yogyakarta membeli gas dan beras dengan harga yang sama, dengan buruh di Tangerang. Namun, di Tangerang buruh bisa memperoleh Rp 3,9 juta sebulan. Di sisi lain, kata Kirnadi, baju yang diproduksi buruh DIY dan Tangerang harganya sama ketika diekspor.
Di kalangan buruh, militansi menuntut upah lebih layak juga berbeda. Bagi buruh di kawasan industri Banten atau Jawa Barat, bekerja di pabrik adalah sumber utama kehidupannya. Jika merasa upahnya kurang, mereka akan berupaya sekeras mungkin meminta kenaikan, bahkan dengan demo. Di Yogyakarta, kata Kirnadi, buruh yang upahnya rendah mengatasi kondisi dengan bekerja sampingan atau hidup dengan orang tua.
“Kondisi ini harus segera diakhiri jika buruh ingin hidup layak di Yogyakarta,” tambah Kirnadi.
Konsep Sithik Eding
Fakta upah terendah tetapi termasuk paling bahagia dan panjang umur di Indonesia, bisa dijelaskan dari sisi budaya. Heddy Shri Ahimsa Putra, antropolog dari Universitas Gadjah Mada melihat, cara pandang masyarakat terhadap materi mempengaruhi hal itu. Orang Jawa dikenal mengutamakan kebersamaan, keharmonisan, yang menurunkan nilai penting materi.
“Konsep yang sangat penting pada orang Jawa, yang bisa membuat persoalan kemiskinan itu tidak harus ditakutkan. Orang Jawa Itu mengenal istilah sithik eding, sama-sama meski sedikit. Saya ingat dulu waktu kecil itu kalau kita punya sedikit, kemudian orang tua bilang, sithik eding, dibagi tapi sama-sama sedikit,” kata Heddy.
Sithik bermakna sedikit, dan eding kurang lebih bermakna berbagi atau sama-sama. Dalam konsep ini, berbagi lebih dipentingkan daripada jumlahnya yang sedikit tadi. Berbagi itu memberi kenyamanan hidup, dan mengajarkan bahwa materi bukan nomor satu.
Konsep sithik eding, kata Heddy berbeda dengan shared poverty yang dipaparkan antropolog Amerika Serikat, Clifford James Geertz. Shared poverty menimbulkan makna negatif, sedangkan sithik eding membawa konotasi positif, dengan menghadirkan kebahagiaan dari berbagai yang sedikit.
“Sharing-nya itu membuat orang tahan banting,” tambah Heddy.
Dalam ukuran statistik, lanjut Heddy, fenomena sosial semacam itu tidak bisa ditangkap oleh lembaga seperti BPS. Karena itu, akan sulit mencari penjelasan dari mereka, mengapa di satu sisi Yogyakarta berupah rendah, rasio gini tinggi dan miskin, tetapi di sisi lain bahagia dan berumur panjang.
Sikap nrimo atau cenderung menerima apa yang diberikan juga berpengaruh. Di pedesaan, bekerja sebagai buruh di pabrik dianggap punya status sosial lebih dibanding petani. Karena itu, kata Heddy, buruh di Yogyakarta cenderung bisa menerima upah rendah. Jika dia mengalami kekurangan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidup, solusinya bukan demo. Buruh akan mengandalkan hubungan sosial untuk memecahkan masalahnya.
Karena dilatih dengan konsep hidup semacam itu, ketika berusia tua, orang Jawa cenderung menjalani hidup lebih tentram. Heddy mengaku bisa melihat sendiri bagaimana orang-orang tua di desa tempat dia tinggal, hidup dalam ritme sederhana. Itulah kunci panjang umur.
“Kalau kita jalan-jalan dekat Keraton itu, orang-orang tua yang kelihatannya nggak kerja apa-apa, tapi sudah senang sekali bisa saling mengobrol. Yang paling penting jangan konflik sama tetangga, rukun sosial itu sangat penting,” tambah Heddy.
Bahagia Boleh, Sejahtera Penting
Tetapi, bahagia saja tentu tidak cukup, masyarakat juga harus sejahtera.
“Kebahagiaan itu subyektif dan tanwujud. Kesejahteraan itu obyektif dan maujud misalnya kemampuan ekonomi,” kata Nur Ahmad Affandi.
Nur Ahmad adalah Wakil Ketua CSR Center DIY, sebuah lembaga pengelola dana tanggung jawab sosial perusahaan bentukan gubernur. Salah satu tugasnya adalah mengurangi angka kemiskinan melalui pengelolaan dana sosial pelaku usaha.
Menurut Nur Ahmad, metode pengukuran kesejahteraan yang digunakan BPS berlaku universal untuk semua daerah. Karena itu, siapapun harus bisa menerima penilaian lembaga tersebut. Dia menduga, mungkin ada kesalahan dalam penanganan kesejahteraan masyarakat di Yogyakarta, terkait dengan modus, metode, dan program, sehingga tidak efektif. Mengenai upah yang rendah, Nur Ahmad menilai angka itu terpengaruh harga kebutuhan hidup yang relatif lebih murah dari daerah lain.
“Kebahagiaan hidup dan usia harapan hidup tinggi, mungkin karena memang hampir semua kebutuhan hidup, lahir dan batin, relatif terpenuhi, karena biaya hidup yang murah, sifat gotong royong dan kepedulian sosial yang tinggi, sehingga relatif kecil orang hidup susah, walau mungkin pendapatannya rendah,” kata Nur Ahmad. [Nurhadi Sucahyo, tulisan ini disalin dari voaindonesia.com]