Yerusalem, Kenapa tak Ada yang Meniru Saladin ?

Ilustrasi : Yerusalem

Koran Sulindo – Dikepung dengan rapat, pilihan bagi Balian dari Ibelin benar-benar sangat terbatas. Apalagi ketika tanggal 26 September 1187 itu, pengepungnya mulai memindahkan trebuchet dan menara serangnya dari Gerbang Daud ke Bukit Zaitun.

Bukit itu adalah tempat tanpa gerbang utama yang membuat serangan balik menjadi mustahil dilakukan.

Sebelumnya, berkali-kali mengirim serangan besar para pengepung itu selalu bisa dipukul mundur dengan korban berat.

Dari Bukit Zaitun itulah arah perang berubah, Ibelin percaya Yerusalem tak bakal mungkin bisa dipertahankan dengan kekuatan senjata. Pada akhirnya kota akan menyerah juga.

Sebagai komandan perang Yerusalem, Balian adalah orang baru. Ia menemukan situasi sangat mengerikan karena kota penuh pengungsi yang melarikan diri. Keadaan menjadi sangat gawat karena pasukan utama Yerusalem sudah dikalahkan pada Pertempuran Hattin. Musuhnya, tanpa memberi kesempatan terus melanjutkan serangan ke Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa, Beirut hingga Ascalon.

Kalkulasi itulah yang akhirnya membuat Balian berkuda seorang diri menuju medan pertempuran di penghujung September 1187 itu. Ia siap menegosiasikan penyerahan kota kepada para pengepungnya, Sultan Salahudin bin Ayub (Shalahuddin Al-Ayyub), Barat lebih mengenal sebagai Saladin saja.

Kepada Balian, Saladin menegaskan sumpahnya untuk menduduki Al-Kadisiya atau Yerusalem dalam versi latin. Dia hanya mau menerima penyerahan kota tanpa syarat. Balian balik mengancam, para pembela kota akan menghancurkan Yerusalem dan semua tempat sucinya, membantai keluarga mereka sendiri dan 5.000 budak muslim lantas maju perang habis-habisan menghadapi tentara Saladin.

Sejarah mencatat, tanpa tetesan darah Yerusalem menyerah pada Saladin pada 2 Oktober 1187.

Penaklukan Saladin atas Yerusalem itu berbanding terbalik saat kota itu direbut Tentara Salib tahun 1099 masehi atau 88 tahun sebelumnya. Kala itu ketika Tentara Salib pimpinan Godfrey dari Bouillon dan Tancred dari Hauteville membanjiri kota dengan darah. Tak memerdulikan keyakinannya penduduk kota itu dibantai dan dirampok.

Tak hanya di Yerusalem, hampir di semua kota yang direbut banjir darah menjadi pemandangan biasa.

Ahli sejarah Inggris, Jhon Stuart Mill menyebut pembantaian juga terjadi di Kota Antioch. Pembantaian tak mengenal batas apapun, umur, keyakinan atau status sosial.

“Usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak, dan kelemahan kaum perempuan tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan masjid dipandang sebagai pembangkit nafsu angkara melakukan kekejaman,” kata Mill.

Tak hanya di Antioch, mereka juga bergerak ke kota-kota lain di Syria dengan jejak darah yang sama, membunuh penduduknya, membakar perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan  termasuk ‘Kutub Khanah’ atau Perpustakaan Tripoli yang masyhur itu. “Jalanan penuh aliran darah, hingga keganasan itu benar-benar kehabisan tenaga,” kata Mill.

Pemandangan itulah yang tak pernah terlihat selama penaklukan Yerusalem oleh Saladin. Karen Amstrong dalam buku Perang Suci menulis, Salahudin dan pasukannya tak membunuh satupun orang Kristen, juga tak ada harta yang dianggap sebagai rampasan perang. “Tebusan disengaja sangat rendah dan Salahuddin menangis karena keadaan mengenaskan akibat keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia pun membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an,” tulis Amstrong.

Karen juga menilai Saladin sebagai panglima perang yang jujur serta menjauhi niat balas dendam. “Salahudin menepati janjinya, dan menaklukkan kota itu menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi,”  kata Amstrong.

Sikap Saladin itu membuat umat Nasrani yang tinggal di Yerusalem kagum. Kepada Saladin, seorang penganut Kristen yang sudah uzur bertanya, “Kenapa tuan tidak berniat menuntut balas terhadap musuh-musuhmu?”

Kepada orang tua itu Salahudin menjelaskan bahwa Islam bukanlah agama pendendam. Islam juga sangat mencegah orang-orang melakukan perkara di luar peri kemanusiaan. “Islam menyuruh umatnya menepati janji, memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf dan melupakan kekejaman musuh ketika berkuasa walaupun ketika musuh berkuasa, umat Islam ditindas,” jawab Saladin.

Setelah penyerahan kota, Saladin memerintahkan penutupan Gereja Suci selama tiga hari dan mempertimbangkan apa yang akan dilakukan pada gereja itu. Beberapa penasihatnya meminta Saladin menghancurkan gereja itu untuk mengakhiri semua kepentingan Kristen di Yerusalem.

Saladin menolak penghancuran gereja itu dan mengatakan ia memang tak pernah bermaksud mencegah orang-orang Kristen berziarah ke Yerusalem. Atas perintahnya juga, gereja segera dibuka dan orang-orang Kristen diizinkan memasuki gereja. Saladin juga mengizinkan umat Kristen Koptik untuk tetap tinggal dan beribadah seperti keyakinan mereka. Di bawah kekuasaan sebelumnya golongan ini dilarang memasuki Yerusalem karena dianggap sesat.

Memperkuat klaim Muslim di kota itu, tentara Saladin segera membersihkan Masjid Al-Aqsa. Semua perabot-perabot Kristen dipindahkan dari masjid. Sedangkan tempat-tempat kaum Koptik yang sebelumnya diambil alih Tentara Salib dikembalikan ke imam Koptik.

Menurut penulis Lane-Poole kebaikan hati Salahuddin itulah yang sanggup mencegah dan meredam amarah umat Islam dari niat balas dendam. Ia melukiskan Salahuddin menunjukkan ketinggian akhlaknya ketika orang Kristian menyerah kalah. “Tenteranya sangat bertanggungjawab, menjaga peraturan di setiap jalan, mencegah segala bentuk kekerasan sehingga tidak ada kedengaran orang Kristian dianiaya.”

Dr Jonathan Phillips seorang pengajar di University of London yang juga merupakan penulis beberapa buku tentang Perang Salib menyebut, Salahudin adalah pahlawan utama bagi umat Islam.

Pandangan serupa juga disampaikan penulis Barat lainnya, Philip K Hitti. Dia menyebut sifat penyayang dan belas kasihan Salahuddin jauh berbeda dibanding kekejaman tentara Perang Salib.

“Di Eropa, Salahudin Al Ayubi atau Saladin telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria,” kata penulis History of Arab itu. [TGU]