Yap Thiam Hien: Singa Pengadilan

Yap Thiam Hien

KIPRAH Yap Thiam Hien dalam menegakkan keadilan dan memperjuangkan hak asasi manusia di masanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Walaupun sejatinya ia minoritas dalam tiga unsur yaitu, Cina, Kristen dan Jujur.

Yap memang dikenal keras, tegas dan jujur. Ia menjadi  sorotan publik ketika membela Soebandrio dalam Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Pasalnya, Soebandrio bukan hanya dituding terlibat G30S namun ia juga merupakan musuh politik Yap.

Pengacara kelahiran Kutaraja, Banda Aceh, 25 Mei 1913 itu banyak menangani kasus pidana maupun perdata. Ia sering kali berada pada posisi yang serba tak nyaman ketika membela kliennya.

Tapi Yap tak banyak ambil pusing. Ia terus bertekad mengambil jalannya untuk membela kaum lemah demi marwah hukum. Yap memiliki prinsip dalam menangani kasus hukum, yaitu mencari kebenaran, bukan kemenangan. Tak jarang, Yap sering menggratiskan biaya perkara atau pro bono kepada kliennya, khususnya masyarakat lemah dan miskin

Keluarga

Yap Thiam Hien, biasa dipanggil “John” oleh teman-teman akrabnya, adalah anak sulung dari tiga bersaudara, ayahnya Yap Sin Eng dan ibunya Hwan Tjing Nio. Keluarganya masih keturunan Cabang Atas, yaitu golongan baba bangsawan di Hindia Belanda.

Kakek buyut nya, Yap A Sin, menjabat sebagai Luitenant der Chinezen di Kutaraja, adalah kelahiran Guangdong di Tiongkok yang hijrah ke Bangka, lalu menetap di Aceh. Ketika monopoli opium di Hindia Belanda dihapuskan, kehidupan keluarga Yap dan banyak tokoh masyarakat Tionghoa saat itu menurun tajam. Ditambah lagi oleh kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa yang ternyata tidak memberikan hasil. Pada tahun 1920 kedudukan keluarga Yap digantikan oleh keluarga Han, yang datang dari Jawa Timur.

Thiam Hien dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han (Jap Joen Khoy) ini sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.

Pada usia 9 tahun, ibu Thiam Hien meninggal dunia. Ia dan kedua orang adiknya kemudian dibesarkan oleh Sato Nakashima, seorang perempuan Jepang yang merupakan gundik kakeknya.

Sato ternyata memainkan peranan besar dalam kehidupan Thiam Hien, memberikan kemesraan keluarga yang biasanya tidak ditemukan dalam keluarga Tionghoa serta rasa etis yang kuat yang kelak menjiwai kehidupan Thiam Hien pada masa dewasa.

Yap Sin Eng, ayah Thiam Hien, ternyata adalah figur yang lemah. Namun Sin Eng ikut membentuk kehidupan anak-anaknya, karena ia memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini memungkinkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai tokoh masyarakat.

Karir

Pada 1920, keluarga Yap pindah ke Batavia. Thiam Hien melanjutkan sekolah ke Algemene Middelbare School (AMS), setingkat sekolah menengah atas di Yogyakarta. Di sekolah itu, Thiam Hien menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Latin.

Setelah lulus AMS pada 1933, ia mendaftar ujian guru di Dutch Chinese Normal School (HCK) di Batavia. Hampir empat tahun ia mengajar mulai di Batavia, Cirebon, hingga Rembang.

Pada 1938, Yap Thiam Hien sempat bekerja di perusahaan telepon. Pada 1943, ia melanjutkan studi ke Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Ia melanjutkan studi hukum ke Universitas Leiden, Belanda, pada 1946.

Pada 1949, Yap mendapat sertifikat pengacara dari Kementerian Hukum. Sejak menjadi pengacara, ia bergabung dengan John Karuin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar.

Baru pada 1950, Yap membuka kantor advokat sendiri di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Suatu saat, ia membela perkara tukang kecap keliling di Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang ditangkap dan dipukuli tanpa alasan jelas. Selain itu Yap juga membela beberapa pedagang Pasar Senen yang digusur pemilik gedung. Dalam persidangan, Yap bersuara lantang menyerang pengacara pemilik gedung. “Bagaimana bisa Anda membantu orang kaya menentang orang miskin?” teriak Yap.

Nama Yap mulai melambung ketika menjadi pengacara mantan Perdana Menteri Subandrio, yang dituduh terlibat peristiwa G30S. Kendati sangat anti komunis, Yap tetap membela Subandrio atas dasar keyakinan yang dibelanya tak bersalah.

Bukan hanya Subandrio, Yap juga menangani perkara Abdul Latif, Asep Suryawan, serta Oei Tjoe Tat. Ia juga menuntut agar Orde Baru membebaskan semua tahanan politik di Pulau Buru.

Pada 28 Oktober 1969, Yap Thiam Hien bersama PK Ojong, Lukman Wiriadinata, Hasyim Mahdan, Ali Moertopo, dan Dharsono membentuk Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang masih eksis hingga saat ini.

Yap Thiam Hien sang singa pengadilan itu meninggal dunia saat hendak pulang dari menghadiri acara konferensi internasional di Brussel, Belgia, pada 25 April 1989.

Namanya diabadikan dalam penghargaan Yap Thiam Hien Award, yaitu penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang atau lembaga yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. [S21]