Ilustrasi

Koran Sulindo – Modal asing mulai masuk Indonesia pada 1958, ketika pemerintah bersama dengan DPR mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA nomor 78 tahun 1958). Namun dalam UU itu banyak sekali batasan sektor usaha yang boleh dimasuki; upaya dari pemerintah untuk melindungi kepentingan ekonomi rakyat dan melindungi diri dari ancaman pemodal asing pada sektor-sektor strategis.

UU ini diubah 7 gtahun kemudian dengan UUNo. 16 tahun 1965 yang menghentikan penanaman modal asing. Watak revolusioner yang dibawa oleh Soekarno jelas terlihat disini, keinginan untuk terlepas dari modal asing dan berdikari (berdiri di atasa kaki sendiri) di bidang ekonomi menjadi landasan utamanya.

Namun kebijakan ini dibayar mahal Soekarno dengan berpindahnya tampuk kekuasaan ke tangan Soeharto.

Masa pemerintahan Soeharto sejak 1965-1998 menjadi titik penting dalam perjalanan investasi asing di Indonesia. Aktor-aktor yang berada dibalik kuasa Soeharto kemudian menuntutnya untuk melindungi kepentingan mereka ditanah Indonesia. Keran kembalinya investasi asing mulai dibuka dengan dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1967 yang membolehkannya pemodal asing memiliki saham 5 % dalam sektor strategis dan penting  yang semula pada masa pemerintahan Soekarno.

“Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” – tulis Suar Suroso dalam buku “Bung Karno, Korban Perang Dingin” (2008).

Selang setahun kebijakan ini membuka bebas kepemilikan asing hingga 49%.

Pada 1993 Orde Baru kembali memberikan insentif guna menarik aliran PMA yang lebih besar lagi melalui Paket Deregulasi 1993 yang isinya  memudahkan investor asing menanamkan modal di Indonesia. Selanjutnya pemerintah menerbitkan PP No. 20/1994 yang isinya memuat ketentuan bahwa asing sudah boleh memiliki saham mencapai 95%.

Pada masa reformasi, bukannya belajar dari kesalahan Soeharto, justru liberalisasi sektor investasi dengan lebih radikal. Pada 1999, misalnya, pemerintah mengeluarkan perizinan kepemilikan asing di perbankan hingga 99%.

Modal asing paling merdeka sepenuhnya di Indonesia terjadi pada 2007 yang terwujud dalam UU No. 25 tahun 2007.  Regulasi ini melindungi investor asing dari nasionalisasi dan pengambilalihan, serta memberikan hak kepada investor asing untuk mencari keadilan melalui Pengadilan Arbitrase Internasional dalam kasus sengketa dengan Pemerintah Indonesia.

Pada 2009,  liberalisasi di bidang investasi terutama diberlakukan di sektor pertambangan: pembatasan untuk kepemilikan asing dihilangkan. Kebijakan yang dilakukan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini seperti menunjukan betapa tunduknya SBY kepada kepentingan asing. [DAS]