Masyarakat Sumba. (Foto: Kayis Fathin/Shutterstock)

Di balik bentang alam Sumba Barat yang kaya akan budaya dan kepercayaan, terdapat sebuah ritual tahunan yang tak hanya sakral tetapi juga sarat makna dan sosial. Ritual itu bernama Wulla Poddu, sebuah tradisi warisan leluhur yang masih dijalankan oleh masyarakat Sumba Barat, terutama mereka yang memegang teguh kepercayaan Marapu, sistem kepercayaan tradisional yang menghubungkan manusia dengan leluhur dan alam semesta.

Namun, di balik namanya yang terdengar getir, Wulla Poddu menyimpan lapisan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar pantangan dan ritual lahiriah. Ia adalah napas kehidupan spiritual masyarakat Sumba yang telah bertahan lintas generasi.

Dari tiap larangan yang dijalani hingga tiap bait syair leluhur yang dilantunkan, tersimpan pesan-pesan kebijaksanaan yang mengajarkan manusia untuk menundukkan ego, menakar ulang makna syukur, dan meniti kembali jalan hidup yang selaras dengan alam serta warisan nenek moyang.

Sebelum memasuki rangkaian ritualnya, penting untuk memahami terlebih dahulu makna sakral yang melekat erat dalam bulan yang disebut sebagai Wulla Poddu ini.

Secara etimologis, “wulla” berarti bulan dan “poddu” berarti pahit. Maka dari itu, Wulla Poddu diartikan sebagai “Bulan Pahit” atau “bulan suci”, yakni masa perenungan yang penuh pantangan, penyucian diri, dan penghormatan kepada leluhur. Meski disebut pahit, bulan ini sejatinya menjadi saat yang paling manis dalam hubungan spiritual antara manusia, alam, dan para leluhur.

Wulla Poddu bukan sekadar tradisi yang diwariskan turun-temurun, melainkan ritual suci yang menyentuh lapisan terdalam kehidupan spiritual masyarakat Sumba Barat. Dalam masa yang dikenal sebagai Bulan Pahit ini, seluruh komunitas diajak untuk memasuki ruang perenungan yang sunyi, menjauhkan diri dari keramaian duniawi, dan memusatkan hati pada pemurnian diri.

Mereka merenungi kesalahan masa lalu, memperbaiki hubungan yang mungkin retak baik dengan sesama manusia, alam sekitar, maupun dengan leluhur yang diyakini senantiasa hadir menjaga keseimbangan hidup.

Bulan ini juga menjadi waktu untuk mengungkapkan rasa syukur yang mendalam atas hasil panen yang telah diperoleh. Di tengah ladang-ladang yang pernah kering lalu menghijau kembali, masyarakat melayangkan doa kepada Marapu, memohon berkah dan perlindungan untuk musim tanam yang akan datang.

Ada keyakinan kuat bahwa alam semesta harus dijaga keseimbangannya, karena manusia bukan penguasa tunggal atas bumi, melainkan bagian dari jalinan kehidupan yang menyatu dengan alam dan para leluhur. Wulla Poddu, dalam segala kesederhanaan dan kesakralannya, menjadi jembatan yang menghubungkan seluruh unsur kehidupan itu dalam satu harmoni yang utuh.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Wulla Poddu umumnya dilangsungkan antara bulan Oktober hingga Desember, meski waktu pelaksanaannya ditentukan bukan oleh kalender masehi, melainkan oleh Samedhi Rato Marapu, yakni para pemuka adat yang menetapkan waktunya berdasarkan pengamatan terhadap tanda-tanda alam dan intuisi spiritual.

Ritual ini tersebar di hampir seluruh kampung adat di Sumba Barat. Di wilayah Lamboya, kegiatan berpusat di kampung Sodan dan Kadengar; di Wanokaka, perayaan terfokus di Kadoku; sementara di Loli, kampung Tambera, Tarung, Bondo Maroto, dan Gollu menjadi titik utama pelaksanaan. Tiap kampung menjalankan Wulla Poddu dengan nuansa khasnya masing-masing, namun tetap pada semangat yang sama.

Rangkaian Ritual yang Sarat Simbol dan Nilai

Wulla Poddu terdiri dari sejumlah tahapan dan kegiatan yang dijalani secara kolektif oleh seluruh komunitas. Menurut beberapa sumber, di antara tahapan tersebut adalah:

1. Samedhi Rato Marapu: Penentuan bulan suci melalui meditasi dan pengamatan tanda-tanda alam oleh para rato.

2. Pantangan dan Larangan: Selama bulan suci ini, masyarakat dilarang menikah, membangun rumah, membuat keributan, atau melakukan pekerjaan tertentu yang dianggap bisa mengganggu kesakralan waktu.

3. Berburu Babi Hutan: Bukan sekadar perburuan, hasil tangkapan menjadi pertanda ramalan musim tanam. Babi jantan melambangkan panen melimpah, sedangkan babi betina bunting memberi isyarat tantangan dalam panen mendatang.

4. Syair Leluhur dan Cerita Asal-usul: Dikisahkan secara lisan, syair dan cerita leluhur menjadi sarana pendidikan budaya yang kaya nilai-nilai moral dan spiritual.

5. Sunatan dan Pengasingan Remaja: Remaja yang memasuki usia dewasa menjalani sunatan dan diasingkan ke alam liar sebagai proses pendewasaan dan pembentukan karakter.

6. Pembersihan Kampung: Membersihkan tempat tinggal, tempat ibadah, dan lingkungan sekitar menjadi simbol pembersihan jiwa dan komunitas.

7. Persembahan kepada Marapu: Hewan kurban, hasil panen, dan simbol-simbol adat dipersembahkan untuk menunjukkan rasa hormat dan memohon perlindungan kepada para leluhur.

Nilai-Nilai Sosial dan Budaya yang Diperkuat

Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Wulla Poddu adalah ajang pemersatu masyarakat. Seluruh kegiatan dilangsungkan secara bergotong royong, memperkuat solidaritas, dan membangun rasa memiliki terhadap tradisi leluhur.

Dalam Wulla Poddu, generasi muda diajak untuk belajar langsung dari para tetua, mendengarkan cerita-cerita masa lampau, serta menyaksikan nilai-nilai kehidupan dijalankan dalam praktik nyata. Ini menjadi salah satu bentuk nyata pelestarian warisan budaya yang tak tergantikan oleh zaman.

Wulla Poddu adalah bukti hidup bahwa kebudayaan bukan sekadar warisan, tetapi sebuah sistem nilai yang terus menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di tengah modernisasi yang terus melaju, Wulla Poddu berdiri sebagai pilar kearifan lokal yang tetap kokoh, mengajarkan pentingnya refleksi, rasa syukur, dan harmoni antara manusia, alam, dan leluhur.

Tradisi ini bukan hanya milik Sumba Barat, tetapi warisan dunia yang patut dikenali, dihargai, dan dijaga bersama. [UN]