Koran Sulindo – Perjalanan di Indonesia dari Desember 1956 sampai September 1957 telah meyakinkan Oltmans bahwa segala upaya Belanda untuk mempertahankan New Guinea adalah sia-sia dan menyedihkan. Ia memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus dikerjakan. Bagaimana dan kepada siapa hal ini harus disampaikan supaya masalahnya menjadi jelas bagi orang-orang yang bertanggung jawab di Den Haag.
Ketika Oltmans kembali ke Belanda, ia bingung melihat sejumlah besar teman bahkan anggota keluarga, dan rekan wartawan yang memperlakukannya seolah-olah selama di Indonesia ia telah melakukan pengkhianatan. Demikian juga sikap pemerintah dan dinas rahasia yang menganggapnya sebagai orang yang berbahaya. Kesulitan Oltmans untuk mengerti semua itu disebabkan karena ia mengira latar belakang keluarga yang menempatkannya sebagai bagian dari elite masyarakat akan melindunginya dari persekusi yang dideritanya.
Setelah kunjungan di Indonesia, Oltmans terbang ke New York. Tengku D. Hafas, pemimpin redaksi De Niewsgier, majalah berbahasa Belanda yang terbit di Jakarta ketika itu, memintanya untuk meliput Sidang Umum PBB XII, November 1957, yang akan membahas masalah New Guinea. Sementara itu, Vrij Nederland dan Dagblad Zaanstreek Typhoon di Zaandam, adalah majalah di Belanda yang masih bersedia menerima tulisan Oltmans.
Di sidang umum, wakil tetap Belanda, Schürmann, berkata, selama beberapa dekade, pemerintah Belanda memikirkan kewajiban moralnya untuk membantu orang Papua. Ali Sastroamidjojo menjawab, para pejabat di Den Haag seharusnya memikirkan hal ini jauh lebih awal. Selama setengah abad Belanda tidak menyentuh Irian Barat; sekarang tiba-tiba merasa terpanggil untuk melakukan misi suci di sana. Pak Ali melanjutkan, sebagian besar orang Belanda tidak bisa meninggalkan kolonialisme.
Nicolaas Youwe, mantan anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM), 1946, kemudian loncat menjadi pendukung “kemerdekaan” Papua di bawah naungan Belanda, tapi akhirnya pada usia tuanya, balik lagi mendukung Republik, malah mengatakan bahwa perlakuan Belanda yang sama sekali tidak mempedulikan pendidikan penduduk Papua, selama 117 tahun sejak menjajah dari tahun 1828, membuat rakyat praktis hidup di zaman batu.
Oltmans menyatakan setuju dengan pidato Pak Ali di PBB. Ia sendiri menganggap penjajah Belanda sebagai pendendam nomor satu, dibandingkan dengan penjajah bangsa Eropa lainnya, seperti Inggris dan Prancis.
Wttewaal van Stoetwegen, anggota parlemen dari Partai Kristen Demokrat, salah seorang anggota delegasi Belanda ke PBB, berkata kepada Oltmans, “secara psikologis Belanda memang belum menerima penyerahan kedaulatan New Guinea kepada Indonesia. Pemisahan New Guinea dari Indonesia merupakan hadiah untuk menghibur kita sendiri”. Dia tidak mengemukakan pendapatnya secara terbuka karena khawatir akan dikeluarkan dari partainya dan kehilangan kedudukannya di parlemen. Lagi pula ia mengakui kebencian kepada Soekarno sangat dalam di Belanda.
Reaksi anggota parlemen dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi, F.H. van de Wetering, lain lagi. Sambil menunjukkan sebuah foto orang Papua yang memakai koteka, dia bertanya kepada Oltmans, apakah orang-orang ini akan diserahkan kepada Indonesia. Oltmans menjawab, dalam kunjungannya ke Ternate dan Tidore, tak diragukan ciri wajah orang di situ lebih mirip dengan Soekarno dari pada dengan Yang Mulia Ratu, Perdana Menteri Drees dan Menlu Luns.
Seperti sudah diramalkan Ali Sastroamidjojo, Sidang Umum PBB November 1957 sama saja dengan yang diselenggarakan pada Februari 1957. Jalan buntu telah memaksa pemerintah Indonesia, awal Desember 1957,mengumumkan pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda; koran dan majalah dalam bahasa Belanda dilarang terbit dan beredar; KLM tidak boleh terbang di atas wilayah Indonesia atau mendarat; pemberian visa kepada warga negara Belanda dihentikan. Selanjutnya dilancarkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan pengusiran ribuan orang Belanda.
Motivasi Oltmans
Apa yang mendorong Oltmans untuk berpihak kepada Indonesia dalam konflik Irian Barat? Para pejabat tinggi pemerintah Belanda dan media massa yang berdominasi ketika itu mereka-reka sebab “pengkhianatan” Oltmans. Ada yang bilang, “Oltmans, korban sihir Soekarno”; “Oltmans ‘jatuh’ karena tak berpengalaman”. Pemerintah Soekarno dituduh telah membiayai semua perjalanan dan ongkos hidup Oltmans dalam menjalankan kegiatan jurnalistik dan lobi-lobinya.
Dalam percakapan dengan Bung Karno, berikut kata-kata Oltmans: “Saya tidak ingin Anda mengira bahwa saya menyetujui penyerahan segera Irian Barat kepada Indonesia adalah untuk mencoba mengambil hati Anda. Saya menganggap penyerahan itu adil, karena Irian Barat memang selalu menjadi bagian dari Hindia Belanda yang kemudian menjadi Indonesia. Maka, ini adalah upaya mementingkan diri sendiri, seperti yang kami cantumkan dengan jelas dalam surat kepada Staten Generaal. Demi negara dan ratu saya sendiri”.
Oltmans melihat komunitas Belanda yang ketika itu berjumlah hampir seratus ribu orang dan korporasi Belanda yang masih beroperasi di Indonesia berada di garis terdepan yang akan menerima dampak langsung dari tindakan balasan Indonesia terhadap kebijakan pemerintahnya yang ngotot mempertahankan Papua.
Ia menganggap penyerahan New Guinea kepada Indonesia sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan modal Belanda dan menghindari pengusiran warga Belanda yang mata pencahariannya ada di tanah bekas jajahan negaranya. Jadi persis seperti yang dia akui sendiri “demi negara dan ratu saya sendiri”.
Namun apa yang ingin dia hindari, akhirnya terjadi pada awal Desember 1957. Subandrio dan Ali Sastroamidjoyo, 10 hari sebelum aksi Indonesia itu, memberi tahu Oltmans bahwa tekanan di dalam negeri sudah begitu kuat sehingga pemerintah harus berbuat sesuatu guna menghindari tindakan yang jauh lebih drastis.
Siapa yang memberi tekanan begitu keras kepada pemerintah untuk mengambil tindakan tegas melawan imperialisme Belanda? Berjuta-juta anggota ormas dan partai politik kiri revolusioner, termasuk PKI. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) merupakan kekuatan buruh terbesar di Indonesia ketika itu yang memimpin nasionalisasi korporasi-korporasi Belanda.
Oltmans melihat sikap kepala batu pemerintah Belanda dalam menganeksasi dan menduduki New Guinea ada hubungannya dengan sifat pendendam dan angkuh orang Belanda yang merasa dirinya unggul sebagai orang Eropa dan membenci mereka yang lebih rendah, apalagi yang disebut ‘pribumi’. Mereka terus mencari jalan untuk menghindari keharusan mengakui kekalahannya di hadapan rakyat ‘pribumi’ yang dipimpin Soekarno.
Kebencian terhadap Bung Karno tercermin dalam apa yang ditulis Jansen van Galen di De Journalist: “Saya masih ingat masa-masa itu. Kami, anak sekolah menyanyikan lagu En wat doen we met Soekarno als-ie komt? We maken er kachelhoutjes van”. [Kalau Soekarno datang, apa yang akan kita lakukan? Kita akan jadikan dia kayu bakar bagi tungku pemanas] Komentar Oltmans: Jansen van Galen telah dicuci otaknya sejak ia masih kanak-kanak: hidup Wilhelmina dan gantung Soekarno!
Memang tak dapat dibantah kebencian kaum kolonialis Belanda dan imperialis dunia yang dikepalai AS terhadap Soekarno. Soekarno juga dibenci oleh kaum reaksioner anti-komunis dalam negeri, antek kaum neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Tak ketinggalan kaum separatis Papua yang mengobarkan kebencian kepada Soekarno dan orang Jawa dalam usahanya untuk tidak mengakui proses pembangunan bangsa Indonesia yang bergandengan tangan dengan perlawanan terhadap kaum penjajah Belanda. Mereka berpikir perjuangan kemerdekaan Indonesia hanyalah urusan segelintir orang Jawa.
Saya jadi ingat kata-kata Mao Zedong. Diserang musuh adalah hal yang baik, karena itu membuktikan kita telah menarik garis pemisah yang jelas antara kita dan musuh. Bung Karno sangat dibenci, bahkan dijatuhkan pemerintahannya oleh persekongkolan kaum Nekolim dengan militer kanan dan kaum reaksioner dalam negeri, karena ingin membangun sosialisme ala Indonesia dengan pertama-tama bersandar pada kekuatan dan sumber daya sendiri.
Sementara itu, tak berhenti usaha pemerintah Belanda untuk membungkam dan menghan- curkan karier Oltmans. Di samping menulis sebagai wartawan freelance, Oltmans berusaha menambah penghasilan dengan cara memberi kuliah dan konferensi. Januari 1958, ia mendapat kontrak dari pengelola terbesar dan terbaik dalam bidang itu, W. Colston Leigh Inc. di New York.
Ketika Oltmans tidak berada di New York, utusan Belanda di Washington, Baron van Voorst tot Voorst, mengunjungi kantor W. Colston Leigh Inc. di New York. Dia bertanya mengapa mereka memberi kontrak kepada Oltmans, padahal Belanda punya ahli tentang Indonesia dan Papua yang jauh lebih baik dari pada Oltmans. Bill Leigh menyilakannya untuk mengirim ahlinya ke kantornya. Yang datang adalah Dubes Belanda untuk AS. Ia memutar film tentang Papua. Film itu ditolak karena dianggap sebagai propaganda yang tak berguna. Dubes menawarkan dirinya untuk memberi kuliah atau konferensi. Namun bisnis antara mereka tak berjalan. Sebaliknya program kuliah Oltmans meningkat.
Siapa yang Harus Disalahkan?
Di banyak tulisan dan diskusi webinar tentang Papua, para pendukung separatisme pada umumnya meletakkan pemerintah Soekarno di bangku “tertuduh”. Kita temukan pernyataan solidaritas ILPS-Asia Pacific dalam rangka memperingati deklarasi “kemerdekaan” Papua 1 Juli, 1971, yang mengemukakan “Empat puluh sembilan tahun yang lalu, West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya setelah Indonesia mensubversi proses dekolonisasi, dan menganeksasi Papua Barat. Perjanjian New York pada 1963 yang dimediasi oleh AS mengalihkan Papua Barat dari kontrol Belanda ke Indonesia”.
Rupanya kawan-kawan ini, saking getolnya membela “self-determination” palsu suku bangsa Papua warisan Letnan Jenderal Van Mook, sampai lupa melakukan investigasi guna mengenal latar belakang dan fakta-fakta sejarah perjuangan rakyat Nusantara dalam membangun bangsa Indonesia dan mengusir kaum kolonial Belanda.
Sebaliknya Gerry van Klinken, antropolog dan Indonesianis dari Belanda, mendasarkan pendapatnya pada investigasi dan penelitian. Ia mengajukan beberapa poin yang patut dipertimbangkan kalau ingin mengetahui seluk beluk masalah West Papua.
Pertama, Van Klinken melihat Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 tidak berdasarkan pada suku bangsa. Nasionalisme yang berkembang selama proses perjuangan melawan penjajah Belanda dibangun dengan kesadaran non-etnik. Ini tercermin dalam keanggotaan PKI, PNI, bahkan organisasi-organisasi politik yang kemudian didirikan di Papua, yang berasal dari berbagai grup etnik. Misalnya, KIM yang didirikan tahun 1946 di Hollandia, dipimpin Dr. Gerungan dari Menado dan beranggotakan orang Papua dari suku bangsa yang berlainan.
Prinsip dan mentalitas non-etnik bangsa Indonesia ini bertentangan dengan politik identitas berdasarkan pada ras yang diajukan penguasa kolonial Belanda sebagai satu-satunya argumentasi untuk memisahkan West Papua dari Indonesia. Celakanya, ini diwarisi oleh para pendukung separatisme Papua sekarang.
Kedua, Pepera tahun 1969 selalu digunakan oleh pendukung separatisme untuk menuduh Indonesia mensubversi proses dekolonisasi dan menganeksasi West Papua. Van Klinken tidak menjadikan Pepera 1969 sebagai akar konflik West Papua. Ia mengajak kita untuk melihat fakta yang terjadi 20 tahun sebelumnya, yaitu Konferensi Meja Bundar 1949, di mana Belanda memisahkan West Papua dari Indonesia. ILPS Asia Pacifik perlu mencatat ajakan Van Klinken ini. Bukan Indonesia yang menganeksasi West Papua, tapi Belanda yang mengeluarkan West Papua dari Indonesia. Inilah yang dianggap Van Klinken sebagai kesalahan serius Belanda yang melahirkan konflik dan penderitaan penduduk West Papua.
Petugas ILPS menganggap Pepera palsu. Palsu atau tidak, yang jelas PBB hadir di situ. Kemudian hasilnya diterima dan disetujui oleh dua pertiga negara anggota dalam Sidang Umum PBB. Artinya PBB merestui kepalsuan yang dituduhkan ILPS. Tapi, dalam membela self-determination Papua, petugas ILPS bertolak dari pasal-pasal deklarasi PBB. Saya lihat di sini sebuah sikap yang tidak konsisten. Di satu pihak, tidak mengakui bahkan menuduh palsu Pepera yang dilakukan di bawah pengawasan PBB, tapi di lain pihak menggunakan pasal-pasal PBB untuk membela self-determination palsu Papua.
Bagi pemerintah Soekarno, Pepera sama sekali tidak diperlukan, karena, pertama, Papua adalah bagian sah Indonesia sejak 17 Agustus 1945. Belanda, di bawah tekanan AS, yang gelisah melihat pengaruh komunis dan kiri semakin besar di Indonesia, akhirnya mengembalikan West Papua kepada Indonesia, 1 Mei 1963. Perhatikan ILPS Asia-Pacific: kata ‘mengalihkan’ Papua Barat dari kontrol Belanda ke Indonesia menghilangkan fakta sejarah Belanda yang telah memisahkan Papua Barat dari Indonesia! Sekaligus saya ingatkan, di perundingan yang melahirkan Persetujuan New York, 1962, Nicolaas Youwe, Ketua Dewan Papua bikinan Belanda tahun 1961, ikut sebagai penasihat delegasi Belanda. Dia bahkan bertemu dengan Presiden Kennedy! Kenapa masih berkoar-koar Papua tidak diwakili? Soalnya, harus tahu diri akan kedudukannya sebagai boneka Belanda! Kedua, Indonesia sudah keluar dari PBB, Januari 1965, karena menganggapnya sebagai alat kaum imperialis dan kaum Nekolim. Seandainya tidak terjadi kudeta Soeharto dan pembantaian jutaan komunis dan kaum kiri pengikut Soekarno, Pepera tidak akan terjadi dan modal Freeport juga akan ditolak oleh gerakan rakyat revolusioner.
Bahkan Nicolaas Youwe mengakui, setelah PBB menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia, 1 Mei 1963, Pepera sudah tak ada artinya lagi, karena secara de facto dan de jure, Irian Barat sudah kembali menjadi bagian sah Indonesia.
Menggunakan Pepera dan Persetujuan New York 1962 untuk melontarkan berbagai macam tuduhan dan membunuh Soekarno serta kaum kiri dan komunis untuk kedua kalinya, hanyalah pelampiasan frustrasi karena tidak dapat menemukan argumentasi dan fakta sejarah yang membenarkan separatisme Papua.
Ketiga, Van Klinken mengingatkan, nasionalisme dan dekolonisasi di Indonesia jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Afrika. Nasionalisme non-etnik merupakan sebuah kenyataan sepanjang perjuangan kemerdekaan anti-penjajahan di seluruh kepulauan Nusantara, meski tingkat intensitasnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena perkembangan ekonomi yang tak merata yang mengakibatkan tingkat kesadaran politik yang berbeda-beda. Sumpah Pemuda tahun 1928 “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa” mencerminkan dan membuktikan adanya nasionalisme non-etnik yang dikemukakan Van Klinken. Kenyataan ini membuat Van Klinken berargumentasi bahwa dekolonisasi berdasarkan pada batas-batas wilayah sejak Hindia Belanda merupakan masalah pokok dan Uti Possidetis Juris adalah dasar hukum internasional dari tuntutan Indonesia. Prinsip inilah yang sama sekali diabaikan oleh para pendukung separatisme Papua.
Masalah Kesatuan Indonesia
Petugas ILPS mencap mayoritas orang Melayu sebagai sauvinis kalau bersatu dengan kaum borjuasi dalam membela kesatuan Indonesia yang merupakan dasar untuk penindasan nasional. Untuk melemparkan tuduhan yang serius itu, pastilah kawan ini sudah mempelajari sejarah perjuangan rakyat Indonesia. Pastilah dia tahu sejarah terbentuknya negara kesatuan yang sebenarnya merupakan jawaban kepada usaha pecah belah Belanda melalui pembentukan negara dan daerah otonomi di bawah naungan Ratu Belanda. Dia pasti tahu tentang Konferensi Malino, Pangkal Pinang dan Denpasar, dan negara-negara boneka pro-Belanda seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, Negara Madura.
Tentu kawan ini juga tahu tentang pemberontakan mantan KNIL yang membentuk Republik Maluku Selatan (RMS) yang didukung sepenuhnya oleh Belanda. Sedangkan Nicolaas Youwe menegaskan bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibentuk bersamaan dengan pecahnya Gerakan 30 September 1965, oleh para serdadu dan opsir Belanda untuk memusuhi Indonesia dan mengganggu keamanan di Papua.
Karena titik tolak untuk mendukung “self-determination” adalah pasal-pasal deklarasi PBB, tanpa mempedulikan latar belakang sejarah, analisa kelas dan ideologi serta watak kelas organisasi-organisasi politik yang memimpin gerakan, maka tak anehlah melihat ULMWP, KNPB, OPM mendapat dukungan ILPS. Kecenderungan memecah belah dari kebijakan ILPS juga tercermin ketika petugasnya menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan. Ia mengimbau supaya di Kalimantan pun ada gerakan self-determination! Wow, ini senapas dengan Victor Yeimo dari KNPB yang mengajukan solusi mengatasi Covid-19 dan Omnibus Law dengan membubarkan NKRI. Rupanya mereka akan senang sekali kalau melihat Indonesia pecah berkeping-keping ditelan konflik horizontal saling bunuh antar-suku bangsa. Kelihatannya mereka berteladan kepada NATO yang memecah belah Yugoslavia dan mengharapkan terjadi di Indonesia apa yang sedang terjadi di Irak dan Libya.
Menganggap penindasan dan penghisapan di West Papua berkarakter kolonial berarti tidak mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agusuts 1945. Dan itu sama dengan sikap kolonial Belanda yang sampai hari ini tidak mengakuinya. Orang Papua bukan satu-satunya suku bangsa yang menderita penindasan, penghisapan, kesengsaraan, persekusi dan diskriminasi. Kaum separatis Papua menutup mata pada penderitaan ratusan suku bangsa di Indonesia yang tanah dan hutannya dirampas dan digunduli, rumah dan mata pencahariannya hilang ditelan air waduk raksasa atau diratakan bulldozer untuk megainfrastruktur dan masih banyak lagi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan aparat negara. Bagi kaum separatis dan pendukungnya hanya “Papua’s lives matter”. Mereka tak peduli dengan ratusan nyawa TKI dari desa-desa NTT, Jawa dan daerah lain yang hanya jasadnya kembali ke keluarganya. Penderitaan petani, buruh dan masyarakat adat di berbagai daerah Indonesia lainnya tidak mendapat sorotan internasional karena di situ tidak ada gerakan separatis.
Baca juga : Willem Oltmans dan Pembebasan Irian Barat (Bagian 1)
Menentang separatisme tidak berarti kita bersatu dengan rezim Orde Baru tanpa Soeharto dan mendukung penindasan dan penghisapan di Papua. Kita menolak “self-determination” palsu Papua karena ia berdasarkan pada ras dan pemutarbalikan fakta sejarah. Kita tolak separatisme Papua karena ia mengalihkan perhatian rakyat Papua dari masalah tanah yang merupakan kontradiksi pokoknya. Dan reforma agraria sejati adalah tuntutan seluruh rakyat Indonesia! [Tatiana Lukman]