WAYANG Potehi merupakan kesenian tradisional asal China, yang telah merambah ke Nusantara jauh beratus tahun yang lalu. Potehi kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kesenian yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Perpaduan unsur budaya asal daratan China dengan budaya lokal memberi warna tersendiri bagi etnis Tionghoa di Nusantara termasuk yang ada di Kota Santri-julukan Kabupaten Jombang dan Kota Surabaya salah satunya yakni etnis Tionghoa yang banyak membawa kesenian wayang potehi.
Wayang potehi adalah seni pertunjukan panggung boneka yang biasanya dimainkan oleh satu tim yang terdiri atas 5 orang, yaitu satu orang dalang, satu orang asisten dan tiga orang pemain musik.
Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan sang wayang.
Biasanya jelang perayaan Imlek atau Tahun Baru China, masyarakat Tionghoa di segala penjuru Indonesia akan merayakannya dengan berbagai pertunjukkan. Selain pertunjukkan barongsai, tentu banyak warga yang mengadakan pertunukan Wayang Potehi.
Percampuran budaya
Di Indonesia, kesenian Wayang Potehi ini sangat lekat dengan budaya masyarakat Tionghoa. Dalam perkembangannya, dalang Wayang Potehi yang biasa disebut Seho tidak hanya memainkannya dengan menggunakan Bahasa Hokkian saja. Ada pula Wayang Potehi yang dimainkan dengan Bahasa Melayu yang dicampur dengan istilah-istilah dalam Bahasa Hokkian.
Nama Potehi berasal dari bahasa Hokkian yang terdiri dari kata “pou” yang memiliki arti kain, “te” berarti kantong, dan “hi” artinya wayang. Dengan demikian, Wayang Potehi adalah wayang yang berbentuk layaknya boneka tangan dan berbahan kain. Potehi berakar pada sebuah seni pertunjukkan boneka di Zhengzhou, Provinsi Fujian di zaman Dinasti Han pada tahun 206-220 Masehi.
Kemudian pada masa Dinasti Jin di tahun 265-420 Masehi, Potehi digunakan para tahanan yang menanti hukuman di penjara untuk menghibur diri. Potehi berkembang pesat di China pada masa pemerintahan Kaisar Ming Huang antara tahun 713-756 masehi.
Menurut catatan sejarah, kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara sekitar abad ke-16, dan kini telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia.
Wayang Potehi bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga sebagai bagian dari ritual di klenteng atau vihara. Pada perayaan Imlek tahun 2022, Klenteng Hok Tiek Hian yang merupakan klenteng tertua di Surabaya menggelar pertunjukkan Wayang Potehi sebagai penghormatan untuk para dewa di klenteng. Pertunjukkan Wayang Potehi ini menjadi sarana untuk menyampaikan rasa terima kasih, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur.
Maka tidak mengherankan apabila kesenian ini kemudian berkembang di sekitar klenteng atau vihara, terutama yang terletak di sekitar pantai utara Jawa.
Sempat Dilarang Orba
Wayang Potehi sempat eksis di di beberapa wilayah Jawa, utamanya di pesisir utara. pada tahun 1950-an walau pertunjukkan ini bukanlah kesenian asli di wilayah tersebut. Namun keluarnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina dengan cepat membuat kesenian Wayang Potehi seakan menghilang.
Pada masa Orde Baru Wayang Potehi dimainkan secara sembunyi-sembunyi oleh komunitas kecil di sekitar vihara. Namun perubahan terjadi lagi setelah Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, kondisi membaik. Wayang Potehi kembali boleh dimainkan secara terbuka, beberapa penggiatnya mulai sering tampil ke hadapan publik tanpa hambatan politis.
Komunitas Wayang Potehi
Setelah Wayang Potehi dapat tampil dengan bebas, hambatan yang muncul justru dari dalam komunitas penggiatnya, beberapa dalang dan musisinya sudah menua, sementara kader penerus belum muncul.
Kemudian dilakukan pelatihan-pelatihan di beberapa sanggar/komunitas dengan mendatangkan beberapa ahli/guru lintas kota.
Saat ini beberapa sanggar sudah mulai tampak hasil kaderisasi pelakon Wayang Potehi.
Di Depok Jawa Barat ada Rumah Cinwa, Rumah Cinta Wayang, yang aktif memperkenalkan keberadaan Wayang Potehi kepada generasi muda. Di sini juga ada proses belajar dan berlatih untuk menjadi dalang atau pemusik Wayang Potehi.
Di Jombang ada nama Widodo Santoso, dalang Wayang Potehi yang menghidupkan kembali kesenian ini.Widodo lahir di Sukorejo, Kota Blitar 23 Oktober 1972. Tempat tinggal masa kecil dan remajanya dulu dekat dengan kelenteng. Sehingga ia kerap menonton pertunjukan wayang potehi. Terlebih lagi pada masa itu, wayang potehi digandrungi masyarakat.
Buruh tani warga Desa/Kecamatan Gudo, Jombang ini kerap diajak pentas ke luar Jombang sejak dirinya bisa menjadi dalang wayang potehi. Ia bergabung dengan paguyuban wayang potehi Fu He An sejak 2002. Kelompok kesenian yang dipimpin Toni Harsono itu bermarkas di Museum Potehi Gudo, Klenteng Hong San Kiong Gudo, Jombang.
“Saya sudah menguasai 20 cerita. Dari dulu sampai sekarang yang paling suka membawakan cerita pahlawan penegak kebenaran pembela dinasti Tang, cerita Sam Kok, dan cerita perjalanan ke barat Sun Go Kong,” ungkap Widodo.
Menurut Widodo, saat ini hampir tidak ada warga etnis tionghoa yang menjadi pemain wayang potehi. Menurutnya, dalang maupun pemain instrumen musik tradisional China mayoritas orang Jawa.
“Setelah saya menjadi dalang, sekarang saya pelajari warga keturunan sudah habis. Potehi dimainkan orang-orang Jawa,” jelasnya.
Pimpinan Paguyuban Wayang Potehi Fu He An, Toni Harsono membenarkan saat ini justru orang Jawa yang masih konsisten melestarikan kesenian tradisional tionghoa itu.
Kesenian ini masuk ke Kabupaten Jombang diperkirakan sejak tahun 1920 berpusat di Klenteng Hong San Kiong Gudo. Pada masa itu, banyak pendatang dari Tiongkok yang ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Beberapa dari mereka bahkan menetap di Indonesia dan memperkenalkan budaya ini .
Pertunjukan Wayang Potehi juga bisa dinikmati oleh setiap orang yang datang di Klenteng Hong Tiek Hian, pada hari-hari besar warga Tionghoa seperti saat Imlek, Klenteng Hong Tiek Hian ramai dikunjungi warga penganut Khong Hu Chu untuk beribadah dan sarana pertunjukkan yang menarik perhatian bagi warga sekitar klenteng.
Cerita Wayang potehi
Cerita yang dimainkan pada wayang potehi biasanya tentang legenda, kepahlawanan dari Tiongkok. Wayang yang dimainkan berbeda-beda tergantung ceritanya, untuk alatnya ada tambur, musik gesek, simbah, dan lain-lain. Beberapa lakon yang biasa dibawakan antara lain Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Sie Jin Kwie.
Lakon-lakon itu merupakan kisah legenda dan mitos klasik dari daratan Tiongkok dan biasanya dimainkan di kelenteng.
Dari awalnya hanya cerita klasik Tiongkok kemudian Potehi berkembang dengan lakon-lakon baru yang lebih bervariasi. Saat ini jika main di luar kelenteng Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti Sun Go Kong (Kera Sakti)), Sam Pek Eng Tay, Si Jin Kui, atau Pendekar Gunung Liang Siang.
Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak jawa. Seperti misalnya tokoh Si Jin Kui yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau jika Anda penggemar berat ketoprak, mestinya tidak asing dengan tokoh Prabu Lisan Puro yang diambil dari tokoh Li Si Bin, kaisar kedua Dinasti Tong (618-907).
Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gembreng/lo, kecer/simbal, suling/phin-a, rebab/hian-a, tambur, terompet, dan piak-kou. Alat terakhir ini berbentuk silinder sepanjang 5 sentimeter, mirip kentongan kecil. [KS-03]