Mempertahankan dan mewariskan nilai-nilai kebangsaan kepada generasi milenial dan generasi berikutnya sangat penting dilakukan. Merupakan upaya agar bangsa Indonesia di masa depan dapat mengatasi bermacam ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Mewariskan nilai-nilai (1) Pancasila, (2) UUD 1945, (3) NKRI, dan (4) Bhinneka Tunggal Ika kepada generasi penerus dengan harapan agar nilai-nilai empat konsensus dasar kebangsaan tersebut dapat tercermin di dalam pemikiran, sikap dan perilaku setiap warga negara Indonesia.
Definisi Generasi Milenial
Pada buku The Lucky Few: Between the Greatest Generation and The baby Boom (2008), Elwood Carlson menjelaskan bahwa “Generasi milenial adalah mereka yang lahir pada rentang waktu 1983 sampai 2001.”
Karl Mannheim (1923) pada Generation Theory menyatakan bahwa generasi milenial adalah generasi yang lahir pada 1980 sampai 2000. Tapscott (1998) menyatakan generasi milenial sebagai Digital Generation yang lahir tahun 1976-2000.
Bisa dikatakan bahwa generasi milenial adalah generasi yang sekarang ini berusia produktif (17-30 tahun) di era digitalisasi. Hampir semua sistem dalam kehidupan milenial berbasis digital, seperti tersedianya layanan jasa online, teleconference, pembayaran secara online, dan lainnya.
Pentingnya Nilai-nilai Kebangsaan
Thomas Chamorro-Premuzic dalam tulisannya “Are millennials as bad as we think?” di surat kabar The Guardian mengatakan generasi milenial adalah kaum yang kompleks. Kaum milenial memiliki sifat paradoksikal dalam karakter mereka-sebuah ketegangan antara kebalikan yang harus didamaikan. Ketegangan ini menghadirkan tantangan, tidak hanya bagi generasi millenial, tetapi juga bagi mereka yang mencoba memahami dan mengelolanya.
Premuzic membagi beberapa poin yang menggambarkan generasi milenial. Dimana kondisi yang digambarkan juga menjadi kekhawatiran kita bersama jika nilai-nilai dasar kebangsaan tidak dimiliki oleh kaum milenial, yaitu;
Pertama, kaum ambisius tapi malas. Menurut Premuzic kaum muda ini sangat mudah diberi janji-janji yang tidak realistis. Kaum realistis meskipun mau bertaruh mengorbankan idealismenya. Ketika menamatkan kuliah, mereka diberikan harapan tinggi yang menganggap bahwa pencapaian kesuksesan hanya direalisasikan pada setiap janji-janji itu. Kaum milenial berpikir bahwa kesuksesan adalah memiliki kepercayaan diri yang tinggi; bukan disiplin, pengetahuan diri atau kerendahan hati. Ini membuat harapan soal bakat mereka (yang dipersepsikan sendiri) tetap utuh, seolah-olah cepat atau lambat potensi luar biasa mereka akan ditemukan, bahkan jika mereka tidak mencurahkan banyak waktu untuk memanfaatkannya.
Kedua, hyper-connected, tetapi terobsesi pada diri sendiri. Media telah mempercepat waktu interaksi manusia, termasuk interaksi kaum milenial. Misalnya, Facebook. Kaum milenial tidak perlu bersitatap antar sesama teman. Cukup berinteraksi dan berkomunikasi lewat dunia maya.
Thomas Chamorro-Premuzic menyebut kaum milenial terhubung secara hiper, tetapi mereka tidak begitu tertarik pada orang lain kecuali sebagai audiens belaka. Seperti slogan YouTube, ambisi utama mereka adalah untuk menyiarkan diri mereka sendiri kepada khalayak publik. Contoh paling nyata: mendokumentasikan keseharian dalam rekaman video lalu dibagikan ke Youtube. Kaum milenial akan bahagia jika memiliki banyak pengikut. Tergila-gila dengan puja-puji. Bahkan melupakan batas-batas penggunaan teknologi. Mengeksplor diri terlalu jauh. Tidak peduli itu privasi atau tidak. Fenomena ini adalah revolusi media sosial, tetapi mungkin justru sebaliknya: kekuatan media sosial hanya menyoroti betapa kita telah menjadi sia-sia. Tingkat narsisisme terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, membuat generasi millenial lebih terobsesi pada diri sendiri daripada pendahulu mereka.
Maka dari itu penting bagi generasi muda untuk memahami wawasan kebangsaan dan berperan aktif dalam menjaga persatuan dan kesatuan antar warga, agar negeri ini terhindar dari perpecahan. Wawasan kebangsaan ini juga merupakan sumber utama landasan yang kuat untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang rukun dan saling menghargai pluralitas.
Generasi milenial sepatutnya bisa menjadi penggerak masyarakat, dalam hal menaati peraturan, menghargai perbedaan untuk menciptakan kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik dan harmonis.
Semangat mengembangkan wawasan kebangsaan ini harus dimiliki setiap generasi agar dapat mempersiapkan diri membangun bangsa Indonesia lebih maju dan memiliki daya saing dengan bangsa lain. [S21]