Koran Sulindo – Memasuki tahun 2018 semakin terang-benderang, jagat politik di Tanah Air semakin menjauh dari rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini. Kegaduhan demi kegaduhan di negeri ini selama berbulan-bulan, bahkan setahun belakangan, didominasi isu politik praktis terkait pemilihan kepala daerah, koalisi partai politik, sampai bakal calon presiden dan wakil presiden untuk pemilihan di tahun 2019.
Soal-soal yang menyangkut sirkulasi kekuasaan di antara elite menjadi perbincangan utama di ruang publik, menjadi trending topic. Masalah harga beras yang melambung yang membuat rakyat kecil menjerit, bencana penyakit dan kelaparan warga Asmat-Papua yang menimbulkan banyak korban jiwa, dan masalah-masalah lain yang membebani rakyat miskin hanya sebentar menghias media massa dan bahkan media sosial di Internet, lalu menghilang dengan cepat.
Rakyat banyak, terutama yang miskin, seolah tak layak diberi tempat, kecuali sekadar sebagai kata atau gabungan kata yang berdesakan di spanduk-spanduk, baliho, atau materi promo narsistis para elite untuk meraih kekuasaan. Boleh jadi benar pernyataan yang menyatakan demokrasi kita telah dibajak. Demokrasi yang pada hakikatnya memberi kekuasaan dan kedaulatan yang besar kepada rakyat pada akhirnya dijadikan kendaraan utama oleh segelintir orang untuk mengangkangi kekuasaan dan mengeduk kekayaan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Ongkos politik yang sangat mahal telah membuka pintu sangat lebar bagi kaum pemilik modal, orang-orang sangat kaya itu, untuk menentukan hitam-putihnya jalannya penyelenggaraan negara, sampai ke daerah-daerah dan pelosok-pelosok. Pemberhalaan terhadap pertumbuhan ekonomi memberi mereka “kartu truf” untuk memainkan peran sebagai shadow state atau shadow government. Mereka memang kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi dan mereka juga mampu mengubah kekuatan ekonomi menjadi kekuatan politik.
Praktik-praktik plutokratisme telah mewabah di negara ini. Tak mengherankan jika begitu banyaknya penyelenggara negara yang akhirnya mendekam di penjara karena kasus korupsi. Pada tahun 2017 lalu saja setidaknya ada delapan kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan oleh aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum lagi yang terkena kasus karena penyelidikan. Pada tahun 2016 lampau, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersandung kasus korupsi. Belum lagi pejabat yang lain dan kasusnya ditangani kepolisian serta kejaksaan.
Tak bolehkah orang kaya terjun ke arena politik kekuasaan? Tak ada larangan untuk itu. Namun, tak bisa dihindari, perlunya ada upaya membenahi sistem demokrasi kita agar praktik-praktik plutokratisme bisa ditutup ruang geraknya atau setidaknya diminimalisasi seminimal-minimalnya. Karena, sejarah mencatat, upaya mempertahankan kekuasaan (dan kenikmatannya) tidak hanya bisa dilakukan lewat todongan moncong pistol, tapi juga lewat gelontoran uang dalam proses pembuatan peraturan dan perundangan. Dan, dalam dunia politik praktis, tak pernah ada makan siang gratis.
Bahkan, kita saksikan bersama pula, praktik-praktik plutokratisme di Indonesia juga melahirkan politisi-politisi yang terjangkiti sindroma hubris, sindroma yang membuat pengidapnya bersikap arogan, merasa di atas hukum, dan tak mau mendengarkan pandangan serta aspirasi pihak lain, terutama dari rakyat kecil. Adalah David Owen dan Jonathan Davidson yang memperkenalkan istilah sindroma hubris (hubris syndrome). Keduanya menulis artikel bertajuk “Hubris Syndrome: An Acquired Personality Disorder?” dan dipublikasikan di jurnal medis Inggris, Brain, edisi Februari 2009. Owen dan Davidson menulis artikel itu setelah mempelajari tingkah laku dan rekam medis puluhan pemimpin politik di Amerika Serikat dan Inggris, mulai dari Perdana Menteri Herbert Asquith yang mulai menjabat pada tahun 1908 sampai Presiden George W. Bush yang meninggalkan jabatan pada tahun 2009.
Dalam wawancara dengan wartawan The New Yorker Evan Osnos, David Owen mengatakan, “Ketika Anda melihat itu, Anda harus sangat menyadari bahwa Anda mungkin melihat seseorang yang telah terpapar racun kekuasaan.”
Peringatan dari Owen tersebut tampaknya perlu mendapat perhatian. Karena, jika ada tokoh atau terutama pejabat mengidap sindroma hubris, itu sungguh berbahaya, apalagi di Indonesia yang warganya sangat beragam. Bukan saja bisa menghancurkan nilai-nilai kebaikan bersama, tapi juga bisa memecah-belah persatuan bangsa. Tak ada salahnya juga ada pemeriksaan kesehatan mental pejabat setiap tahun, yang dilakukan suatu dewan pakar kesehatan jiwa atau sejenisnya, yang keberadaannya tidak berada di dalam struktur kekuasaan pemerintah. [PUR]