Wartawan Alimin, Tokoh Nasional yang Terlupakan

Alimin bin Prawirodirdjo

Suluh Indonesia – “Mungkin belum banyak yang tahu.” Begitu kira-kira komentar kita bila diingatkan dengan nama-nama tokoh nasional yang tenggelam oleh ketenaran tokoh-tokoh lainnya dalam memerdekakan bangsa Indonesia.

Misalnya, Alimin bin Prawirodirdjo, nama yang jarang disebut. Ya nama tokoh nasional ini tenggelam dalam jagat pahlawan nasional yang semarak dan setiap tahun dirayakan negara.

Tentu saja keterlibatannya dalam pergerakan nasional hanya bisa dibantah oleh orang yang buta sejarah. Dari sekian tokoh pergerakan Indonesia terpelajar, Alimin termasuk golongan langka.

Alimin lahir di Solo pada tahun 1889 dan berasal dari keluarga miskin. Karena sikapnya yang suka berbagi, Alimin dijadikan anak angkat oleh GAJ Hazeu, seorang Belanda yang menjabat sebagai Penasehat Urusan Pribumi.

Berkat Hazeu, Alimin bisa mengeyam pendidikan di sekolah Eropa di Betawi. Hazeu punya harapan besar, Alimin kelak bisa bekerja sebagai pegawai pemerintah.

Namun demikian, harapan Hazeu tak sesuai, karena Alimin justru menjadi jurnalis. Sejak usia remaja, Alimin sudah aktif dalam pergerakan nasional.

Awalnya, dia berkiprah menjadi wartawan dengan bergabung di Djawa Moeda, dan ikut aktif dalam pergerakan bersama Budi Utomo.

Dengan ulet, Alimin juga menjadi editor di jurnal Modjopahit di Batavia. Karena kiprahnya semakin moncer, Alimin pun lantas terlibat dengan berbagai organisasi ketika itu. Salah satunya Sarekat Islam yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto.

Setelah berkegiatan bersama Tjokroaminoto, Alimin bersama dokter muda Cipto Mangunkusumo bergabung dengan salah satu organisasi Insulinde, organisasi politik zaman Hindia Belanda.

Setelah bergabung dengan berbagai organisasi, lantas Alimin pun ikut dalam kegiatan organisasi berhaluan komunis pertama di Indonesia bernama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV).

Bahkan, ia sempat menjadi pimpinan ISDV wilayah Jakarta sejak 1918. Sekitar tahun 1920an, Alimin pun dipercaya menjadi pemimpin ISDV di Batavia.

Baca juga: KH. Abdul Halim, Pahlawan Pejuang Pendidikan dari Majalengka

Setelah mengikuti berbagai kegiatan, pada awal 1926 sebagai pimpinan ISDV, Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan Malaka, anggota ISDV yang lain.

Keduanya bertemu dalam rangka menyiapkan gerakan besar. Tapi, sebelum Alimin kembali ke Indonesia, pemberontakan sudah meletus pada 12 November 1926.

Setelah pemberontakan 1926, Alimin berkelana dari satu negara ke negara lain, ikut jejak Tan Malaka. Mereka berhasil lolos dari kejaran pemerintah kolonial. Di Moskow, Alimin pun bergabung dengan Organisasi Komunis Revolusioner Internasional atau Komintern.

Alimin tinggal cukup lama di sana. Ia baru kembali ke Indonesia pada 1946, setahun setelah Republik Indonesia diproklamasikan. Dia pun kembali bergabung dengan organisasi komunis sebagai senior.

Namun, ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal 1950-an, Alimin tidak lagi menjadi tokoh komunis.

Alimin memilih menikah dengan Hajjah Mariah. Mereka pun lantas menjauhi hiruk pikuk dan dikaruniai dua putra, yaitu Tjipto dan Lilo. Alimin tinggal di Jakarta sampai wafatnya pada 1964.

Saat Alimin meninggal tahun 1964, Soekarno yang masih menjabat sebagai Presiden RI pertama menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 163 pada 26 Juni 1964. Alimin disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. [WIS]

Referensi:

Poesponegoro, Marwati Djoened. (2019). Sejarah Nasional Indonesia V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (1900-1942). Jakarta: Balai Pustaka.