Warisan Paus Telantar di Cikini Raya

JJ Rizal dan Rizal Ramli di PDS HB Jassin, 26 Agustus 2016.

Koran Sulindo – Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api. Begitulah tullisan yang tertera di sampul majalah Tempo edisi Hari Kemerdekaan, yang terbit 15 Agustus 2016 lalu. Pada edisi khusus majalah tersebut disajikan hal-ihwal tentang penyair besar Indonesia: Charil Anwar. Seperti kata penyair yang juga guru besar di Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, dalam sebuah kesempatan, Chairil Anwar adalah penyair yang memberi gaya baru pada bahasa Indonesia.

Sapardi pernah juga mengatakan, kita tidak bisa membayangkan Chairil Anwar tanpa HB Jassin atau sebaliknya. Seandainya HB Jassin tidak ada, lanjut Sapardi, mungkin Chairil Anwar tidak pernah ada; seandainya Chairil Anwar tidak ada, mungkin HB Jassin tidak pernah akan menjadi “Paus” Sastra Indonesia. “Dua orang itulah sebenarnya yang telah menjadikan sastra Indonesia seperti sekarang,” kata Sapardi dalam sebuah tulisannya belasan tahun silam.

Chairil dan Jassin sendiri berkenalan pada masa Indonesia masih di bawah pendudukan penjajah Jepang. Keduanya langsung berteman dan tampaknya Jassin terpukau dengan sajak-sajak karya Chairil Anwar.

Namun, tentara fasis Jepang yang berkuasa sangat ketat dan keras menerapkan aturan sensor, karena takut kekuasaan zalimnya tumbang. Jadi, puisi Chairil Anwar menjadi sangat riskan untuk dipublikasi lewat media massa oleh Jassin, yang kala itu sudah dikenal sebagai kritikus sastra dan menjadi redaktur di majalah Padji Poestaka.

HB Jassin dapat ide cemerlang. Ia membuat suatu tulisan atau kritik sastra tentang puisi, yang kemudian dimuat di majalah Pandji Poestaka. Pokok bahasannya adalah sajak-sajak ekspresionistis. Di tulisannya itulah beberapa sajak Chairil Anwar ditampilkan Jassin, sebagai bagian dari subyek pembahasan.

Karya-karya Chairil kemudian dikenal masyarakat luas, bahkan sampai menembus batas-batas geografis negara, sampai hari ini. Dan, itu tak bisa dilepaskan dari jasa HB Jassin.

Chairil sendiri wafat dalam usia yang masih relatif muda, 27 tahun, pada tahun 1949. Tapi, nama dan karya-karyanya masih bergema sampai kini, terutama di banyak hati dan kepala para pecinta sastra, di seluruh dunia. Ars longa, vita brevis, ‘hidup itu singkat, tapi seni itu panjang’, demikian diucapkan Hippocrates, ahli medis terkemuka yang hidup pada masa Yunani kuno.

HB Jassin bukan sekadar kritikus sastra, tapi kritikus sastra yang tekun dan cermat. Juga seorang pendokumentasi yang rajin untuk berbagai hal yang berkaitan kesenian, terutama tentu saja sastra, dunia yang sangat ia cintai. Koleksi dokumentasinya luar biasa, karena ia kumpulkan sejak masa mudanya sampai akhir hayatnya. Jassin lahir di Gorontalo pada 3 Juli 1917 dan mengembuskan napas terakhirnya di Jakarta pada 11 Maret 2000 lampau.

HB Jassin di pusat dokumentasinya.

Ketika Jakarta dipimpin gubernur yang beradab, Ali Sadikin, Jassin dan koleksinya yang sangat-sangat-sangat berharga itu mendapat perhatian penuh. Sang gubernur memberi tempat di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat, untuk koleksi Jassin tersebut.

Untuk pengelolaannya dibentuklah Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin pada 28 Juni 1976, yang antara lain diprakarasi budayawan Ajip Rosidi. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini dan pada 30 Mei 1977 diresmikanlah berdirinya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Boleh jadi, inilah pusat dokumentasi sastra Indonesia terlengkap di dunia, yang mengoleksi berbagai bentuk dokumentasi, mulai dari tulisan tangan asli para sastrawan, surat, guntingan pers, foto, naskah drama (dalam dan luar negeri), majalah, makalah, skripsi, dan tesis sastra, kaset, CD, mikrofilm, hingga lukisan. Entah berapa banyak orang yang menjadi sarjana atau seniman besar karena adanya dokumentasi itu. Mungkin ribuan, boleh jadi jutaan.

Yang pasti, seperti juga nasib banyak situs bersejarah di negeri, nasib PDS HB Jassin sejak beberapa tahun lalu memprihatinkan. Persoalan utamanya: kekurangan dana. Seiring dengan munculnya aturan baru, tempat yang mengoleksi hampr 20 ribu buku fiksi dan ratusan ribu koleksi berharga ini memang tak bisa bisa mendapat dana hibah secara rutin dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Menteri Dalam Negeri melarang itu. Karena, PDS HB Jassin bukanlah lembaga milik negara.

Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat menawarkan agar PDS HB Jassin dijadikan unit pelaksana teknis di bawah Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah. “Alasannya agar PDS HB Jassin bisa mendapat dana tetap melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,” ungkap Kepala Pelaksana Harian PDS H.B Jassin, Ariany Isnamurti, sebagaimana diberitakan kompas.com pada 5 Mei 2011 silam.

Diungkapkan juga dalam berita itu, Ketua Dewan Pembina Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, Ajip Rosidi, menolak keinginan pemerintah agar pusat dokumentasi sastra itu murni menjadi milik pemerintah. Ajip meragukan komitmen dan keprofesionalan pemerintah dalam mengurusnya. ”Selama ini penempatan pejabat sering tidak berdasarkan kemampuan dan keahlian seseorang,” tutur Ajip.

Sampai kini, persoalan tersebut belum mendapatkan solusinya. Bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang masih ada, walau tidak lagi rutin karena terbentur aturan. Sekalipun ada, besaran bantuan itu pun tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan utama PDS HB Jassin, yang sebagian besar koleksinya belum didigitalisasi dan selalu bertambah setiap tahunnya. Padahal, menurut Ariany Isnamurti pada 26 Agustus 2016 lalu, biaya yang diperlukan  untuk mendokumentasi dan membayar karyawan saja minimal Rp 1,2 miliar dalam satu tahun. “Perawatan itu bukan sekadar fisik, tapi pelestarian naskah,” kata Ariany.

Tahun 2015 lalu, PDS HB Jassin memperoleh dana dari pemerintah sebesar Rp 280 juta. “Pak Jokowi sempat berkunjung ke sini pada tahun 2012. Pak Jokowi memberi pesan untuk digitalisasi, tapi tetap mempertahankan manual,” ujat Ariany lagi.

Namun, pada tahun 2016, mereka tidak menerima dana hibah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Kemarin sempat pegawai tidak digaji dari Desember sampai Juni. AC juga rusak, padahal sangat dibutuhkan di ruang koleksi, agar koleksi tak mudah rusak,” tutur Ariany.

Pada hari itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan sejarawan JJ Rizal bersamaan datang ke sana. Awalnya, mereka ingin berdiskusi soal politik menjelang pemilihan kepala daerah di Jakarta. “Dia hubungi saya. Awalnya ngajak di rumah, tapi saya maunya makan siang, saya yang tentukan tempatnya. Saya ajaklah ke PDS HB Jassin supaya beliau tahu,” tutur JJ Rizal.

Ia pun memandu Rizal Ramli untuk melihat koleksi yang ada di sana. Rizal Ramli juga ikut merasa prihatin melihat kondisi tempat tersebut. Ia kemudian membaca beberapa puisi karya Chairil Anwar, Ajip Rosidi, dan Rendra. “Dahsyat sekali kata-katanya, ya. Seribu tahun sekali ini belum tentu ada orang yang bisa menggubah seperti ini,” kata Rizal Ramli.

Yang pasti, seperti kata sastrawan Remy Sylado pada sebuah acara, tampaknya hanya buku yang paling pantas diceritakan dengan bangga oleh manusia beradab, bukan benda-benda mewah, semacam mobil mewah. “Apabila ada manusia di zaman sekarang yang menyebut dirinya modern tetapi tidak mengindahkan buku, memilikinya, dan membacanya, dengan demikian manusia tersebut telah mengambil inisiatif menjadikan dirinya sebagai hewan,” ujarnya. [PUR]