Heli untuk membawa orang dan barang keperluan tambang emas di hutan Korowai. Foto: Dokumen Warga di Facebook

Koran Sulindo – “Ada pencuri emas turun dengan heli (Hevilift) di dalam hutan rimba Korowai di kepala Sungai Deiram Hitam. Mereka mencoba mengajak warga bekerja sama, lalu mereka menyerahkan hutan tanah dibongkar untuk penambangan liar,” demikian diinformasikan Pendeta Trevor Christian Johnson dari Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP) lewat akun Facebook-nya, 29 Januari 2018 lalu. Pendeta Trevor memang melakukan pelayaanan di Korowai, Papua.

Di akun Facebook-nya itu, ia juga menampilkan foto-foto yang berkenaan dengan aktivitas pendulang emas tersebut. Terlihat di foto-foto itu ada sejumlah pendulang sedang bekerja, kamp para pekerja, hingga helikopter yang hendak mendarat di landasan kayu di tengan hutan.

Informasi yang hampir sama juga ada di akun Facebook milil Yan Akobiarek, dari Komunitas Peduli Kemanusiaan Daerah Terpencil (Kopkedat). “Mereka datang tidak tau dari mana untuk curi mas Korowai. Hutan rimba tapi kamu memang jago,” demikian ditulis Yan.

Informasi tersebut pun menjadi viral di media sosial Internet. Banyak masyarat Papua yang akhirnya juga mengetahui.

Korowai sendiri selama ini hanya dikenal sebagai pedalaman dengan akses transportasi yang sangat sulit—dan ini artinya juga warganya sangat sulit mendapatkan akses atau fasilitas pendidikan dan kesehatan. Secara administratif pemerintahan daerah, Korowai berada di antara beberapa kabupaten, yakni KabupatenYahukimo, Asmat, Boven Digul, dan Pegunungan Bintang.

Terkait para penambang emas itu, Warga Suku Una, Kopkaka, Arimtab, Mamkor, dan Momuna (Suku Ukam) telah membuat pernyataan sikap pada awal Februari 2018 lalu. Mereka menolak kehadiran para penambang emas di Korowai. Pernyataan sikap ini ditandatangani empat perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Ikatan Suku Ukam, yakni tokoh masyarakat Yeseya Bitibalyo; pemilik ulayat, Yusak Weyo; Sekretaris Jenis Ikatan Suku Ukam, Timeus Aruman, dan; tokoh intelektual, Panuel Maling.

Letak pendulangan emas yang ditolak warga antara lain di Kampung Kawe Distrik Awimbon-Pegunungan Bintang dan Kampung Kotaim Distrik Seradala-Kabupaten Yahukimo. Keduanya ada di tepian Sungai Dairem dan Be.

Warga sebelumnya telah menyita peralatan pendulangan dan bahan makanan, yang hendak diangkut dengan helikopter dari Bandara Nop Goliat Dekai menuju Kampung Kawe, Distrik Awinbon, Pegunungan Bintang. Peristiwa ini terjadi pada 30 Januari 2018.

Diduga, dalang di balik pendulangan emas ini adalah pihak yang mengerjakan jalan trans Papua. “Yang menyebarkan informasi mengenai ada emas di tepi Sungai Dairem dan Be adalah yang mengerjakan jalan Trans Papua Oksibil-Dekai,” kata Panuel Maling, perwakilan warga adat.

Dikatakan pula, majikan para pendulang itu menjanjikan uang Rp 100 juta dan enam rumah. Uang itu sudah diterima oleh beberapa orang yang mengaku pemilik ulayat. “Hal-hal seperti ini menimbulkan konflik horizontal di masyarakat,” kata Panuel.

Warga dalam pernyataan sikapnya itu meminta pula para pendulang meninggalkan lokasi. Juga memenuhi janji membangun rumah karena sebagian emas sudah diambil. Selain itu, pemilik ulayat mendapatkan hak kelola tambang mereka sendiri.

Yang juga diminta warga adalah penghentian layanan transportasi para pendulang oleh Heveilift Aviator Indonesia. Warga meminta Heveilift Aviator Indonesia fokus pelayanan kemanusiaan saja.

Dipastikan  oleh Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Papua, Frets James Boray, penambangan di Korowai itu ilegal. “Namanya hak ulayat pasti ada masyarakatnya. Jika ada yang ingin masuk dan menambang, tetap harus ada izin pemerintah,” ujar Frets, sebagaimana dikutip mongobay.co.id.

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3675 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Wilayah Tambang Pulau Papua telah diterbitkan pada 31 Oktober 2017. Dalam keputusan menteri tersebut  ditetapkan wilayah pertambangan Papua, antara lain wilayah usaha pertambangan, pertambangan rakyat, pencadangan negara, dan wilayah usaha pertambangan khusus. “Katakan itu disebut pertambangan rakyat, mana wilayahnya? Kami sudah tetapkan pertambangan rakyat ada di beberapa lokasi. Kalau di luar penetapan, itu melanggar aturan,” ungkap Frets lagi

Walau ada potensi cadangan emas, tambahnya, jika adanya di luar wilayah yang telah ditetapkan, tak bisa keluar izin. “Pemerintah tak bisa asal-asalan menetapkan wilayah tambang, tetapi harus mempertimbangkan lingkungan dan tata ruang,” ujarnya. Penambangan ilegal seperti di Korowai, lanjutnya, bisa dikenakan sanksi denda Rp 100 miliar dan kurungan penjara 10 tahun.

Pemerintah Daerah Papua—meliputi Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu, dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup—bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Papua menyiapkan tim terpadu menangani pertambangan ilegal di Papua. Namun, diungkapkan Frets, wilayah ini sudah masuk konsesi perusahaan minyak dan gas PT ConocoPhillips.

Seperti pernah diberitakan tempo.co, PT ConocoPhillips menguasai Blok Warim, hutan di Boven Digoel, dan Pegunungan Bintang. Kontrak bagi hasil dengan Conoco Phillips ditandatangani pada tahun 1987, namun sempat tak tergarap sejak 1997 karena sebagian masuk Taman Nasional Lorentz. Pada tahun 2013, pemerintah mengamandemen kontrak tersebut. [RAF]