Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmatyo

Koran Sulindo – Warga Indonesia kembali menjadi korban penyanderaan, yang diduga kuat dilakukan oleh gerombolan bersenjata Abu Sayyaf. Peristiwanya terjadi di Perairan Felda Sahabat, Lahad Datu, Malaysia, pada Sabtu lalu (9/7) pukul 23.30 waktu setempat.

Pelakunya lima orang. Mereka bersenjata dan menyerbu kapal pukat berbendera Malaysia yang berisi tujuh anak buah kapal. Tiga orang, yang semuanya warga Indonesia, dibawa mereka, sementara empat orang lainnya dibebaskan. Diperkirakan, sandera dibawa ke arah Perairan Tawitawi, Filipina.

Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, kejadian ini tidak dapat ditoleransr. “Harus ada upaya serius, sekali lagi, upaya serius, oleh pemerintah Filipina dan Malaysia dan pemerintah RI siap membantu upaya pembebasan dengan mengutamakan keselamatan sandera,” kata Retno Retno dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (11/7).

Ia juga memastikan pemerintah segera merespons peristiwa ini. “Siang ini, kami melakukan rapat kordinasi, dipimpin Menko Polhukam dalam upaya pembebasan sandera dan tiap perkembangan akan kami sampaikan pada kesempatan pertama,” ujarnya.

Sementara itu, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku geram terhadap gerombolan penculik itu. Ia bahkan berniat ikut menyerbu markas komplotan tersebut di selatan Filipina jika telah mendapatkan izin dari otoritas setempat.

Dirinya semakin geram karena para penculik itu hanya mengincar tiga orang berpaspor Indonesia. “Ada apa sebenarnya Abu Sayyaf dengan Indonesia? Maka, saya sampaikan, apa pun akan saya lakukan untuk pembebasan, dengan cara apa pun. Sampai masuk ke sana pun akan saya lakukan apabila udah ada izin. Karena, ini sudah sangat keterlaluan,”  kata Gatot setelah menghadiri halal bihalal dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Senin ini juga.

Ia pun memastikan penyandera merupakan kelompok Abu Sayyaf. “Penculikan itu di wilayah Malaysia, yang menculik kelompok Abu Sayyaf, dibawa ke Filipina,” ungkap Gatot.

Dijelaskan Gatot, pemerintah terus melakukan lobi agar otoritas Filipina mengizinkan TNI masuk ke wilayahnya dalam upaya pembebasan warga Indonesia tersebut.

Namun, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpandangan tidak perlu melibatkan militer (TNI) untuk membebaskan warga Indonesia yang disandera itu. Operasi militer, katanya, dapat menimbulkan dampak buruk seandainya pada masa depan penyanderaan terhadap warga Indonesia kembali terjadi. “Indonesia bisa dianggap sebagai musuh yang harus diperangi kelompok bersenjata itu. Jika di kemudian hari ada lagi WNI yang disandera, selain jadi umpan untuk mendapatkan uang, mereka bisa langsung dibunuh,” kata Hikmahanto Juwana, sebagaimana dilansir Antara, Senin ini juga.

Sebagaimana diketahui, sejak Maret 2016 sudah empat kali terjadi penculikan dan penyanderaan warga Indonesia di perairan perbatasan Indonesia-Filipina. Penculik selalu menuntut uang tebusan pada tiga penyanderaan pertama. Tapi, pada penyanderaan yang terakhir ini belum ada tuntutan apa pun.  [CHA/PUR]