Ilustrasi: Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan Gunung Mas Kalimantan Tengah/Sandy Watt untuk The Gecko Project-Mongabay

Koran Sulindo – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)mempertanyakan kemampuan negara mengawasi dan melakukan penegakan hukum dalam proses moratorium sawit. Menurut Walhi, Presiden Joko Widodo harus memastikan ketersediaan kapasitas pada aparat negara untuk mampu mengawasi dan melakukan penegakan hukum sepanjang moratorium sawit diberlakukan.

“Saat ini masih jomplang antara jutaan hektar izin yang diberikan dengan kemampuan pemerintah untuk memberikan pengawasan. Ini yang kemudian menyebabkan banyak pelanggaran di lapangan dan sulit dituntut secara hukum,” kata Direktur Walhi, Yaya Nur Hidayati, di Jakarta, Jumat (21/9/2018), seperti dikutip dw.com.

Sebelumnya, Rabu (20/9/2018) lalu pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan kelapa sawit. Inpres ini menyatakan penghentian seluruh upaya membuka lahan baruuntuk perkebunan kelapa sawit hingga 3 tahun ke depan.

Menurut Walhi, produk hukum tersebut adalah permintaan masyarakat sipil sejak lama, namun pemerintah tidak bisa lagi bersikap seperti dulu, ketika pemberian izin diberikan tanpa ada kapasitas pengawasan dan penindakan.

“Tidak menambah ekspansi adalah langkah yang tepat, karena kita tidak bisa membenahi industri sawit kalau tidak menghentikan dulu yang baru, sementara yang lama masih harus dibenahi dengan mengevaluasi seluruh konsensi dan perizinan yang ada,” katanya.

Inpres moratorium sawit itu memerintahkan instansi negara di pusat dan daerah untuk mengevaluasi kembali izin pelepasan kawasan dan menunda pembukaan lahan baru untuk kebun sawit. Alasan penghentian pembukaan lahan baru tersebut karena banyak kebun sawit di peta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masuk kawasan hutan.

Secara umum Inpres No. 8/2018 berisikan dua belas instruksi kepada lima kementerian dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, termasuk pemerintah daerah hingga ke level bupati dan walikota.

Presiden Joko Widodo, melalui Inpres itu, meminta jajarannya melakukan sinkronisasi data lewat kebijakan satu peta. Keberadaan data yang ekslusif milik masing-masing kementerian memperparah fenomena tumpang tindih perizinan dan peruntukan lahan di daerah.

Inpres tersebut antara lain menentukan kegiatan pengawasan berada di bawah arahan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian yang didukung KLHK, Kementerian Pertanian dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Adapun pengawasan terhadap pemerintah daerah dilakukan Kementerian Dalam Negeri.

“Maka penting prosesnya dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi publik. Karena kalau tidak ini dikhawatirkan bisa menjadi wilayah baru pelanggaran,” kata Yaya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2016 menyatakan luas lahan perkebunan sawit mencapai 11,1 juta hektare. Perusahaan swasta mendominasi dengan penguasaan lahan 5,75 juta ha, perkebunan milik rakyat mencapai 4,65 ha, sementara perusahaan pemerintah menguasai 707.429 ha

Sejak 1999, luas lahan perkebunan sawit terus naik antara 2,8 persen hingga 13,4 persen setiap tahunnya. Kecuali pada 2016 yang mengalami penurunan.

Pemerintah berharap dengan moratorium tersebut, perkebunan sawit bisa lebih fokus pada upaya untuk meningkatkan produktivitas dari lahan yang telah mereka miliki, bukan terus memperluas lahan untuk menambah produksi.

Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) saat ini masih menjadi salah satu produk dengan nilai ekspor tertinggi di Indonesia. Sepanjang 2017 nilai total ekspornya mencapai Rp314 triliun, atau 14 persen dari total ekspor Indonesia. [DAS]