KAI atau Kereta Api Indonesia sebagai salah satu transportasi massal yang paling banyak digunakan kini memiliki wajah baru.
Wajah lama kereta api yang kita kenal memiliki banyak calo tiket, ramai dengan pedagang, gerbong kereta yang penuh bahkan meluber sampai di atas atap gerbong, kini sudah tidak ada lagi.
Kunci perubahan dari kereta api di Indonesia tidak bisa lepas dari sosok seseorang bernama Ignasius Jonan, yang menjabat sebagai Direktur Utama KAI sepanjang 2009 hingga 2014.
Pada 2009, KAI berhasil mencatatkan keuntungan sebesar Rp 154,8 miliar, setelah tahun sebelumnya rugi sebesar Rp 83,5 miliar. Pada 2014 tercatat pendapatannya mencapai Rp 10 triliun, 2015 Rp 13 triliun, dan di 2016 mencapai Rp 14 triliun dengan keuntungan mencapai Rp 1 triliun.
Hingga kini, PT KAI memiliki beberapa anak perusahaan, seperti PT Kereta Api Logistik (Kalog), PT Reska Multi Usaha, PT Kereta Api Properti Manajemen, PT Kereta Api Pariwisata (Indorailtour), PT Railink, dan PT Kereta Commuter Indonesia.
Perkembangan Kereta Api
Sejarah kereta api di Indonesia berawal di Semarang. Pada 17 Juni 1864, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet memimpin pencangkulan pertama jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen.
Proyek jalur kereta api itu dilaksanakan oleh perusahaan swasta Naamlooze Vennootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) menggunakan lebar sepoer (kereta) 1.435 millimeter.
Jalur-jalur kereta tersebut kemudian dipakai oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai jalur angkutan barang dan penumpang dari kota maupun desa. Kereta bahkan menjadi transportasi pilihan utama di zamannya.
Dalam perkembangan kereta di Indonesia, terdapat kereta lori yang menarik perhatian. Jika dilihat-lihat, desain kereta lori pada zaman dahulu ini lebih menyerupai delman. Ukurannya pun tak jauh berbeda. Namun, yang membedakan ada pada supirnya. Jika delman dikendarai oleh kuda, maka kereta lori di masa itu dikendarai oleh manusia.
Kereta lori ini tak memiliki gerbong. Hanya besi dan papan kayu yang dilengkapi dengan kursi penumpang yang saling berhadap-hadapan. Kurang lebih muat untuk empat orang. Selain mengangkut penumpang, kereta lori pun dimanfaatkan sebagai kereta barang.
Sejumlah kereta zaman dahulu kala bahkan dialihfungsikan sebagai ambulans. Fungsinya untuk mengangkut pasien dari pedesaan ke kota atau menjemput anak sekolah.
Sejarah Kereta Api di Indonesia
Pada tahun 1769, seorang insinyur asal Skotlandia bernama James Watt membuat sebuah inovasi mesin uap. Teknologinya ini kemudian diterapkan untuk mesin penggerak lokomotif uap.
Penggerak berasal dari ketel uap yang dipanaskan dengan kayu bakar, batu bara, atau minyak. Inilah awal mula penyebutan istilah kereta api. Di Indonesia, lokomotif uap telah digunakan sejak tahun 1867. Kereta api saat itu mulai beroperasi di daerah Semarang. Lokomotif yang umum digunakan merupakan buatan Jerman.
Tahun 1925, Kereta Listrik Pertama Kali Beroperasi
Teknologi kereta api listrik masuk di Indonesia pertama kalinya pada tahun 1925. Kereta api tersebut menggunakan lokomotif listrik seperti ESS 3201 dan beroperasi pertama kali di kawasan Jabodetabek.
Elektrifikasi jaringan rel keretanya sendiri telah dibangun pada tahun 1923 oleh perusahaan Electrische Staats Spoorwegen (ESS) yang merupakan bagian perusahaan kereta api Batavia khusus mengelola sarana, prasarana, dan operasional kereta listrik.
Awal mulanya, kereta listrik pertama memiliki julukan “si Bon-Bon” atau “Djokotop”. Sepanjang tahun 1926 hingga tahun 1970-an, si Bon-Bon melayani relasi Tanjung Priok – Jatinegara (dulunya bernama Meester Cornelis) dan berlanjut melayani relasi Depok – Bogor (dulunya bernama Buitenzorg).
Tahun 1953, Teknologi Kereta Diesel Masuk
Di tahun 1953, perkembangan teknologi kereta api di Tanah Air makin berkembang. Terjadi dimana lokomotif uap beralih menjadi lokomotif diesel.
Peralihan tersebut ditandai dengan datangnya lokomotif CC200 ke Indonesia dari Amerika Serikat. Lokomotif produksi General Electric tahun 1953 ini menjadi kereta diesel elektrik dengan kabin ganda pertama di Tanah Air. Kereta ini juga berjasa mengangkut rombongan peserta Konferensi Asia Afrika tahun 1955 yang terlaksana di Kota Bandung.
Tahun 2008, KRL Jabodetabek Dimulai
Pada tahun 2008 dibentuk anak perusahaan PT KA, yakni PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), yang fokus pada pengoperasian jalur kereta listrik. PT KCJ memulai proyek modernisasi angkutan KRL pada tahun 2011, dengan menyederhanakan rute yang ada menjadi 5 rute utama.
Proyek ini dilanjutkan dengan renovasi, penataan ulang, dan sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta dan stasiun kereta
Tahun 2013, Kereta Api Bandara Diluncurkan
Layanan transportasi publik berbasis “railway” bernama Kereta Api Bandara. PT Railink berhasil mengoperasikan KA Bandara Kualanamu sebagai KA Bandara pertama di Indonesia pada 25 Juli 2013.
Setelah 3 tahun KA Bandara Kualanamu bertumbuh, PT Railink menghadirkan KA Bandara baru di Ibu Kota Negara yaitu KA Bandara Soekarno-Hatta (BSH). KA Bandara Soekarno-Hatta melayani rute Manggarai sampai dengan Bandara Soekarno-Hatta sepanjang 36,3 km
Tahun 2017, MRT dan LRT Mulai Dikembangkan
Setelah adanya kereta bandara, Indonesia mengukir sejarah baru dengan membangun moda transportasi modern bernama Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT) sebagai sebuah sistem transportasi transit cepat dengan menggunakan kereta rel listrik yang dimulai pada tahun 2017.
Pada 1 Agustus 2018, LRT pertama di Indonesia mulai beroperasi di Palembang dengan panjang jalur 23 km. Setelah itu dilanjutkan dengan LRT di Jakarta Utara – Kelapa Gading, sepanjang 5,8 km.
Kemudian, pada Maret 2019 pengoperasian Mass Rapid Transit (MRT) menjadi awal sejarah pengembangan jaringan terpadu yang merupakan bagian dari sistem transportasi massal DKI Jakarta. [S21]