Wahyu Sulaeman Rendra si Burung Merak Yang Menantang Tirani

Budayawan Rendra (1935-2009).

Terlahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra di Solo 7 November 1935. Rendra lahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah yang merupakan keluarga Katolik dan besar dalam lingkungan budaya Jawa.

Sugeng Brotoatmodjo adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di salah satu sekolah Katolik di Solo. Selain itu, ayah Rendra ini juga dikenal sebagai pelaku seni drama tradisional. Sementara sang ibu, Raden Ayu Catharina, seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Ketika masuk Islam pada tahun 1970 nama depan Rendra yaitu Willibrordus Surendra  berubah menjadi Wahyu Sulaeman. Dengan demikian singkatan didepan namanya akan tetap W.S.

Konon julukannya sebagai Si Burung Merak berasal dari ketika suatu hari, Rendra dan sahabatnya yang berasal dari Australia mengunjungi Kebun Binatang Gembira Loka di Yogyakarta untuk sekedar rekreasi. Saat mereka tiba di kandang burung merak, terlihat seekor merak jantan yang tengah dikerubungi merak-merak betina. Secara spontan, Rendra berkata, “Seperti itulah saya.” Sejak itulah julukan itu melekat pada Rendra.

Ia pernah mengenyam pendidikan di Sastra Inggris Universitas Gajah Mada dan pada 2008, Rendra memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari UGM. Karya-karya Rendra dianggap berpengaruh dalam khazanah sastra di Indonesia. Rendra juga dikenal konsisten dalam berkarya dan karena proses itu karya-karya sastra besar muncul.

Bengkel Teater

Tahun 1961, sepulangnya dari sekolah di Amerika Serikat, Rendra membentuk kelompok teater di Yogyakarta. Ia mendirikan markas kegiatan berkesenian yang ia namakan Bengkel Teater. Di sinilah kemudian segala macam proses penciptaan karya-karyanya.

Setelah 1971, Rendra mengaku mulai bisa menyimak persoalan sosial-politik dan ekonomi secara struktural. Bersama Bengkel Teater, dia mulai menggembleng diri dengan menggelar diskusi-diskusi bersama para pakar dan mahasiswa, mendokumentasikan guntingan-guntingan koran, dan melakukan perjalanan ke desa-desa.

Ketegangan kreatifnya meningkat. Dari 1971 sampai 1978, dia menulis sejumlah sajak, yakni sajak-sajak yang dikumpulkan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), kumpulan puisi yang mengkritik keras Orde Baru dan proyek pembangunannya.

Sajak yang Rendra bacakan di Institut Teknologi Bandung pada 1977, berjudul “Sajak Sebatang Lisong” kemudian menjadi salah satu adegan dalam film Yang Muda Yang Bercinta karya sutradara Sjumandjaja yang dilarang tayang pemerintah karena didalamnya terdapat beberapa puisi Rendra yang liriknya mengkritik penguasa, seperti “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” dan “Sajak Pertemuan Mahasiswa”.

Dengan puisi, Rendra ikut aktif menyokong gerakan mahasiswa pada masa Pemilu 1977. Saat itu mahasiswa mulai mengusung isu-isu politik, seperti ketidakpercayaan kepada pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden karena tidak bisa memulihkan kondisi perekonomian bangsa yang terpuruk. Pada 1 Desember 1977, dalam rapat mahasiswa di Salemba Jakarta, Rendra membacakan puisi ‘Pertemuan Mahasiswa’ yang mengobarkan semangat mahasiswa menentang penguasa.

Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003) mencatat bahwa sensor yang dilakukan Orde Baru terhadap berbagai ekspresi kesenian semakin kencang pada akhir 1970-an. Film Indonesia disensor ketat dan dilarang. Sebagian direvisi, disesuaikan dengan kehendak rezim. Di masa itu, Rendra memang tampil membara.

Setahun pasca pelarangan film yang memuat adegan Rendra membacakan sajak, ia tak kapok dan tampil lagi di Jakarta meski teror terus mengintai keselamatannya. Beberapa hari sebelum membacakan sajak-sajak bertema pembangunan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 28 April 1978, sepucuk surat anonim diterima Rendra, isinya mengancam ia dan keluarganya. Pada saat pementasan, bom amoniak dilemparkan, mengakibatkan tiga orang penonton pingsan. Tiga hari setelah penyerangan, Rendra ditahan aparat keamanan.

Ketika pada tahun 1985 kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater ke Depok. Memang melalui Bengkel Teater itu lah Rendra telah melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain.

Proses politik juga menjadi perhatian Rendra saat sejumlah pementasan kesenian yang dianggap menyerang pemerintah dilarang pada 1991. Rendra dan sejumlah seniman mendatangi Gedung DPR untuk memprotesnya. Di kantor wakil rakyat itu, Rendra bahkan sempat membaca puisi dengan gayanya yang memukau.

Menurut Ignas Kleden dalam “Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat” yang dihimpun dalam buku Rendra, Ia Tak Pernah Mati (2009), Rendra itu menatap dirinya dalam beberapa dimensi: saat berhadapan dengan alam, masyarakat, dan dirinya sendiri. “Ia melihat dirinya berhadapan dengan masyarakatnya dengan segala ketegangan dalam hubungan itu: kemerdekaan dan penindasan, keadilan dan eksploitasi, kejujuran dan pengkhianatan, kebaikan dan kejahatan,” tulisnya.

Bagi Rendra, lanjut Kleden, keindahan yang dibangun oleh penyair bukan sesuatu yang bisa membenarkan ia lari dari politik. Kritik lewat lirik sajak bukan barang haram bagi penyair. Menghadapi masyarakat yang keadaannya jauh dari ideal, penyair dapat dan terkadang wajib melibatkan dirinya dalam perjuangan untuk memperbaiki keadaan tersebut.

Setelah sempat sakit-sakitan, setahun setelah menerima gelar Doktor HC dari UGM, tepatnya tanggal 6 Agustus 2009 di Depok, W.S. Rendra menutup mata untuk selama-lamanya. Si Burung Merak wafat dalam usia 73 tahun. [S21]