EMPAT TERDAKWA dari produsen obat sirup penyebab kasus gagal ginjal akut diputus hukuman 2 tahun penjara disertai denda oleh Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, Rabu (01/11). Mereka terbukti menggunakan bahan berbahaya dalam produksi barang farmasi.
Keempat terdakwa adalah Direktur Utama PT Afi Farma, Arief Prasetya Harahap; Manajer Pengawasan Mutu PT Afi Farma, Nony Satya Anugrah; Manajer Quality Insurance PT Afi Farma, Aynarwati Suwito; dan Manajer Produksi PT Afi Farma, Istikhomah.
“Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana memproduksi atau memanfaatkan sebagaimana dalam dakwaan pertama dan menjatuhkan pidana masing-masing dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar dengan ketentuan jika tidak dibayar diganti kurungan tiga bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim Boedi Haryantho dalam pembacaa amar putusan di PN Kota Kediri.
Para terdakwa terbukti melanggar Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Vonis majelis hakim itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Arief Prasetya Harahap dengan pidana penjara sembilan tahun.
Atas putusan hakim, anggota tim penasihat hukum terdakwa Arief Prasetya Harahap, yakni Muh Samsul Hidayat menyataka menghormati putusan pengadilan dan masih pikir-pikir untuk upaya hukum banding.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum Sigit Artantodjati mengatakan pihaknya juga masih pikir-pikir dengan vonis yang diputuskan majelis hakim tersebut.
“Kalau kami kan ada yang memberatkannya, yakni korbannya anak-anak, efeknya sangat besar. Kami masih pikir-pikir,” kata Sigit.
Kasus gagal ginjal akut merebak sejak awal tahun 2022 lalu, hampir 200 orang anak telah meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami kerusakan ginjal. Korban umumnya berusia 1-15 tahun dan pernah mengkonsumsi obat batuk sirup.
Baik BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) ataupun Kemenkes akhirnya mengeluarkan pemberitahuan kepada seluruh apotek untuk menghentikan penjualan obat sirup sampai batas waktu tertentu.
BPOM menduga para produsen farmasi ‘nakal’ mencoba menyiasati bahan baku yang sedang naik atau mahal sehingga ada oknum-oknum yang mencoba melanggar aturan dengan memberikan EG dalam jumlah yang tidak sesuai dengan batas normal yang berakibat fatal bagi kesehatan.
Penggunaan zat beracun
Sebagaimana tertuang dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU), ditemukan bahan baku campuran obat Propelin Glikol tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang terkandung dalam produk farmasi PT Afi Farma.
Penggunaan bahan baku dengan kandungan zat beracun itu hingga 99%, ungkap JPU. Perusahaan itu sebenarnya punya alat gas chromatography untuk mengetes produk farmasi, tetapi tidak dilakukan sebagaimana standar aturan Farmakope VI dari Kementerian Kesehatan.
PT Afi Farma mendapatkan propilen glikol (PG) dari penyuplai yang menurut kepolisian mengoplos bahan tersebut dengan zat beracun etilen glikol (EG).
Atas perbuatannya tersebut perusahaan dituduh lalai karena tidak melakukan pengecekan pada bahan baku.
Sebagai Informasi, Etilen glikol dan propilen glikol sama-sama berfungsi sebagai zat tambahan untuk pelarut. Namun, propilen glikol merupakan zat yang tidak beracun sehingga banyak digunakan dalam obat, kosmetik dan makanan. Sedangkan etilen glikol bersifat beracun yang biasanya digunakan untuk cat, pulpen, dan cairan rem.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas aman untuk EG dan DEG adalah 0,1%. Standar ini diadopsi oleh Farmakope pada tahun 2020.
Berdasarkan hasil penyidikan diketahui bahwa CV Samudera Chemical mengoplos propilen glikol yang dibeli dari Dow Chemical Thailand dengan zat cemaran etilen glikol (EG). Bahan oplosan itu kemudian diperjualbelikan sehingga akhirnya masuk ke pembuatan obat di PT Afi Farma.
Jaksa menyebut alur distribusi zat beracun itu berawal dari CV samudera yang mengoplos kemudian diperjualbelikan ke CV Anugerah Perdana Gemilang kemudian ke PT Fari Jaya Pratama terus ke PT Tirta Buana Kemindo sampai akhirnya masuk ke Afi Farma. [PAR]