Koran Sulindo – Dari semua perserikatan dagang yang pernah ada, bisa dibilang Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC adalah yang paling sukses sepanjang sejarah.
Hanya dalam beberapa tahun sejak didirikan tahun 1602, perusahaan itu berhasil menyingkirkan pedagang-pedagang Portugis yang seabad sebelumnya bersusah payah membangun imperium dagang di Asia.
Sebagai serikat dagang, VOC hanya bisa disaingi East India Company yang didirikan di London dua tahun sebelumnya. Namun, tanpa dukungan keuangan dan organisasi yang andal perusahaan itu gagal total menandingi gurita bisnis VOC.
Terseok-seok selama hampir seabad barulah di pengujung abad ke-17, EIC sanggup tampil sebagai lawan yang sepadan. Di abad berikutnya, sementara EIC unggul disemua aspek bisnisnya, VOC justru tenggelam dalam salah urus, korupsi dan pengkhianatan.
Meski begitu, hingga akhir sejarah VOC di 1800, perusahaan itu tetaplah merupakan yang terbesar di antara perusahaan-perusahaan dagang yang beroperasi di Asia.
Terpukau dengan ‘keberuntungan’ para saudagar di Lisboa yang cepat kaya dengan menjual rempah, saudagar di Amsterdam gelisah. Tinggal diam berarti tak kebagian. “Jika orang-orang Portugis bisa. Kenapa kita tidak,” begitu pikir mereka.
Ide tentu wajar. Namun, benar-benar menjadi masalah karena tak satupun orang di Amsterdam tahu dan memiliki informasi dari mana datangnya rempah-rempah itu.
Ya, di abad ke-16 desas-desus di kalangan pedagang Eropa hanya menyebut rempah dihasilkan dari pulau rempah yang terletak di suatu negeri entah berantah.
Ketika akhirnya bersepakat harus ada orang yang sanggup mencari tahu keberadaan sumber rempah sekaligus mau berlayar ke sana, sebuah nama mengerucut. Cornelis de Houtman, yang meski usianya baru 27 tahun, dianggap paling pas untuk pekerjaan itu karena selain telengas juga memiliki mental baja.
Houtman dikirim saudagar Asmterdam ke Lisboa tahun 1592 dengan ‘hanya’ satu tugas yakni menemukan sebanyak mungkin informasi mengenai asal rempah-rempah itu.
Dua tahun di Lisboa, Houtman pulang ke Amsterdam sekaligus bertepatan dengan kembalinya Jan Huygen van Linschoten yang baru berkelana dari India. Kepulangan mereka memastikan tempat paling tepat untuk membeli rempah-rempah adalah; Banten.
Pelayaran Maut
Berbekal informasi Houtman dan Linschoten, saudagar Amsterdam setuju patungan untuk membentuk perusahaan dagang yang diberi nama Compagnie van verre te Amsterdam sekaligus mempersiapkan empat kapal untuk pelayaran perdana ke Banten itu.
Houtman termasuk di antara mereka yang setor modal pada persekutuan dengan memberikan 30.000 gulden sebagai persiapan pelayaran sekaligus ditunjuk sebagai pemimpin ekspedisi.
Rencana itu baru terwujud tahun berikutnya ketika Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken meninggalkan pelabuhan Amsterdam tanggal 2 April 1595.
Meski secara bisnis pelayaran itu gagal total dan Houtman bahkan terbunuh di Aceh, pelayaran itu dianggap menandai kesuksesan Belanda. Rute pelayaran ke sumber rempah-rempah yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh saudagar Portugis dan Spanyol kini di tangan mereka.
Ya, setelah perjalanan Houtman yang naas itu, dalam lima tahun berikutnya 65 kapal dari Belanda berlayar ke Banten. Dan mereka pulang dengan untung luar biasa.
Sama seperti ketika orang Amsterdam bersiasat dengan pedagang Lisboa, keberhasilan mereka membuat segera saja membuat iri saudagar lain di Belanda. Tak lama berselang perusahaan-perusahaan serupa sudah dibentuk di Rotterdam dan Zeeland.
Meski umumnya perusahaan-perusahaan hanya menyetor modal untuk sekali ekspedisi, modal tetap berkesinambungan karena susunan direksi umumnya orang itu-itu juga. Mereka juga kemudian mengusahakan pelayaran-pelayaran selanjutnya.
Dengan makin banyak kapal-kapal berlayar ke Asia persaingan sengit tak terelakkan. Tak hanya harus bersaing dengan kapal-kapal sebangsa, kapal-kapal Belanda juga mati-matian berebut rezeki kapal asing.
Ujung-ujungnya laba anjlok, dan dalam banyak peristiwa laba yang tipis itu membuat kapok pemodal. Ini jelas mengancam kelanjutan pelayaran ke Asia yang jelas-jelas menjanjikan segunung laba.
Menyadari pundi-pundnya terancam, akhirnya perusahaan-perusahan Belanda yang berbasis di Amsterdam setuju melebur dalam Geünieerde Amsterdamse Oostindische Compagnie pada tahun 1600. Bahkan, oleh para wali kota di Amsterdam perusahaan itulah yang mendapat hak monopoli pelayaran dari Amsterdam ke Asia.
Berbeda dengan saudagar di Amsterdam yang segera menyatukan kekuatan, saudagar-saudagar di Zeeland justru khawatir merger dengan perusahaan serupa dari Holland bakal melikuidasi kedudukannya.
Sementara di sisi lain perusahaan-perusahaan baru terus muncul sebagai pesaing seperti dari Hoorn, Enkhuizen dan Delft.
Di depan mata tampaknya persaingan sengit masih bakal berjalan berlanjut.[TGU]