Visi Besar Memajukan Ekonomi Digital

(foto: istimewa)

Pemerintah Indonesia memiliki sebuah visi besar memajukan sektor ekonomi digital. Begitu memasuki periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo langsung menargetkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Diproyeksikan nilai transaksi dagang-el (e-commerce) mencapai Rp 1,9 triliun.

Tampaknya target itu tercapai. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dalam suatu webinar pada Maret 2021, bahwa ekonomi digital berkembang di atas sepuluh persen. Ekonomi digital di Indonesia disebutnya tumbuh dua digit di atas negara Asia Tenggara yang lain, dan hanya kalah dari Vietnam yang tumbuh 16 persen.

Di Indonesia perkembangan ekonomi digital tak lepas dari investasi di sektor digital. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat selama tahun 2020, investasi asing yang masuk ke sektor digital pada transportasi, pergudangan dan telekomunikasi mencapai 36,5 miliar dolar AS (Rp 532 triliun), dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Rp 93,2 triliun.

Bahkan, pandemi Covid-19 seperti membawa berkah bagi ekonomi digital. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, di masa pandemi sektor dagang-el tetap menunjukkan pertumbuhan signifikan. Dia mencatat, nilai transaksi dagang-el naik 63,36 persen sepanjang semester I/2020 secara tahunan, dengan total nilai transaksi Rp 186,75 triliun.

Lutfi memprediksi, sektor dagang-el tetap tumbuh sepanjang tahun. Total transaksi dagang-el diperkirakannya naik 48,4 persen pada 2021, atau Rp 385 triliun dibanding total nilai tahun 2020. “Ini sesuatu yang robust dan besar,” kata Muhammad Lutfi dalam suatu acara diskusi virtual, awal Agustus 2021.

Ekonom Universitas Indonesia Chatib Basri mengatakan hal sama. Dia mencatat, banyak lini usaha tetap bertahan dengan beradaptasi ke ranah perdagangan digital. Di era pandemi, transaksi sebagai esensi ekonomi dilakukan bukan melalui pertemuan langsung, tapi online. “Ke depan peran e-commerce sangat penting dan luar biasa,” katanya.

Gubernur BI Perry Warjiyo melihat bahwa selama pandemi Covid-19 tiga bidang ekonomi digital, yaitu e-commerce, uang elektronik, dan digital banking (perbankan digital), terus meningkat. Untuk 2021, pihaknya memperkirakan e-commerce tumbuh sebesar 39,1 persen. Lalu, uang elektronik diperkirakan tumbuh sebesar 32,2 persen, dan digital banking sebesar 21,8 persen.

Data-data di atas menunjukkan, visi ekonomi digital pemerintah yang terkesan ambisius nyatanya memiliki dasar kuat. Banyak hal yang tak terbayangkan sebelumnya bisa terjadi. Di masa pandemi Covid-19 yang melanda negeri, ketika semua aktivitas serba dibatasi, orang pun menemukan cara praktis bekerja, berbelanja, belajar, rekreasi, dan berkomunikasi, melalui saluran digital.

Ini diperkuat fakta bahwa perilaku masyarakat Indonesia selama ini sangat berorientasi digital. Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) serta We Are Social menyebutkan, pengguna Internet Indonesia berada di kisaran 52 persen, dan sebagian besar di antaranya mengakses Internet secara mobile selama empat jam per hari.

Lebih jauh, saat ini jumlah pengguna kartu SIM aktif di Indonesia secara nasional mencapai 345,3 juta. Data lain menyebut angkanya 370 juta. Jumlah ini melampaui jumlah penduduk Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2020 jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,20 juta jiwa. Itu berarti, banyak warga memiliki lebih dari satu kartu SIM yang aktif.

Hal di atas didukung oleh perkembangan industri dan konten. Dari sisi industri, terlihat bahwa operator telekomunikasi berlomba-lomba membangun infrastruktur secara masif, mulai dari jaringan 4G hingga 5G. Tak hanya itu, terjadi persaingan antar operator dalam bentuk perang tarif. Ini makin diperkuat oleh menjamurnya smartphone murah yang sesuai daya beli masyarakat menengah ke bawah.

Perang tarif boleh jadi kurang baik bagi kalangan industri telekomunikasi. Tapi dampaknya terhadap masyarakat sangat terasa. Telekomunikasi tak lagi dianggap sebagai barang mahal. Ini berdampak pada sisi konten, dan mendorong penggunaan media sosial secara pesat. Masyarakat giat mengisi konten di Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube. Menurut Internet World Stats, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 175,3 juta pada akhir Maret 2021.

Munculnya aplikasi chat seperti WhatsApp dan Telegram menjadi pendorong utama penetrasi data di Indonesia. Belakangan, di masa pandemi yang mengharuskan pembatasan pergerakan sosial, masyarakat terpaksa menggunakan aplikasi tersebut — di samping aplikasi lain seperti Zoom, Google Meet, Google Classroom, dll — untuk keperluan pembelajaran dan bekerja jarak jauh dari rumah.

Perilaku digital masyarakat Indonesia memang menunjukkan kecenderungan meningkat. Namun demikian, faktanya infrastruktur telekomunikasi di Indonesia belum terbangun secara merata. Pembangunan infrastruktur yang masif hanya terlihat di kawasan Jawa dan Sumatera, sedangkan di kawasan timur Indonesia, infrastruktur telekomunikasi yang ada masih jauh dari memadai.

Akibatnya jelas, kesenjangan digital sangat nyata terjadi di Indonesia. APJII mencatat, 70 juta pengguna Internet Indonesia berpusat di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Sedangkan total semua pengguna internet di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya sebesar 5,9 juta.

Fakta ini pun juga terlihat dari posisi Indonesia di sejumlah indeks yang dikeluarkan berbagai lembaga, seperti Networked Readiness Index (NRI) dan GSMA Mobile Connectivity Index. Posisi Indonesia dalam konektivitas masih kalah jauh dibanding negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand.

Dalam peluncuran World Bank Indonesia Digital Report secara virtual di Jakarta, akhir Juli 2021, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, Satu Kahkonen mengeluhkan besarnya kesenjangan digital itu. Hampir separuh dari masyarakat dewasa di Indonesia masih belum bisa mengakses Internet. “Mereka tak bisa memanfaatkan buah dari teknologi digital ini,” katanya.

Ia mengatakan, Indonesia harus melakukan pembangunan digital yang inklusif untuk mengurangi kesenjangan penggunaan teknologi digital. Di samping itu, pemerintah juga perlu memberikan pelatihan kepada masyarakat agar terampil memanfaatkan perekonomian digital. “Kemudian juga terdapat tantangan terkait peraturan dari pemerintah,” katanya tanpa merinci maksudnya.

Senior Digital ID Specialist Bank Dunia Jonathan Marskell menambahkan, Indonesia perlu mendorong pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengadopsi teknologi digital dengan tetap menjaga kenyamanan dalam bertransaksi online. “Perlu dibangun rasa nyaman untuk bisa percaya bahwa transaksi yang kita lakukan ini aman,” kata Marskell dalam kesempatan yang sama.

Ia mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia masih lebih banyak bergantung pada transaksi tunai. Pada diri mereka belum benar-benar terbangun kepercayaan bertransaksi digital. Kepercayaan dan kenyamanan ini perlu dibangun karena banyak masyarakat yang belum mengetahui perbedaan antara berbicara dengan orang sungguhan, robot, atau pelaku kejahatan, saat bertransaksi digital.

Untuk itu, lanjut dia, selain memberikan berbagai pelatihan untuk bertransaksi secara digital, pemerintah perlu memberikan pendidikan kepada masyarakat agar mampu melindungi diri dari risiko penggunaan transaksi digital. Keamanan siber sedang berkembang dengan pesat. “Kita perlu melengkapi masyarakat dan warga dengan kemampuan untuk waspada dan melindungi diri dari ancaman online,” katanya.

Sementara itu, ekonom senior Bank Dunia Sailesh Tiwari merekomendasikan Indonesia meningkatkan konektivitas digital dan akses universal, terutama kepada separuh populasi yang belum terpapar teknologi digital untuk menekan tingkat ketimpangan. Ketiadaan akses digital yang memadai bisa menciptakan ketimpangan daerah. Apalagi, hanya 30 persen dari warga dewasa di kawasan pedesaan Indonesia yang terkoneksi dengan Internet.

Ia memastikan layanan Internet di rumah sangat penting untuk belajar maupun bekerja. Masalahnya, populasi yang terkoneksi dengan high broadband atau internet dengan kecepatan tinggi masih sangat minim. Selain itu, menurut data Bank Dunia, sebanyak 40 persen rumah tangga mengungkapkan biaya pendaftaran broadband masih sangat mahal.

“Ini isu paling penting,” katanya. Di tingkat global, Indonesia berada pada posisi 131 terkait biaya langganan Internet. Artinya, biaya masih menjadi masalah besar bagi masyarakat Indonesia dan mempengaruhi struktur broadband di Indonesia.

Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menekankan agar ada upaya untuk membuat teknologi digital yang dapat digunakan oleh semua orang di Indonesia agar pertumbuhannya bersifat inklusif. Untuk meningkatkan konektivitas digital, Tiwari membuat tiga rekomendasi utama.

Pertama, pemerintah perlu mengalokasikan sistem untuk mobile broadband yang lebih baik. Maksudnya, melaksanakan switch offer analog yang memiliki karakteristik penyebarluasan sesuai dengan konektivitas di pedesaan, dan high frequency band untuk menghilangkan hambatan jaringan.

Kedua, pemerintah Indonesia perlu memperkuat jaringan infrastruktur aktif dan pasif, meski akan mempengaruhi biaya investasi bagi para penyedia jasa layanan Internet. Dan ketiga, sarannya, Indonesia harus mempertimbangkan penerapan unified sistem dengan pembuat regulasi yang akan memudahkan penyedia layanan Internet.

Tiwari meyakini, kinerja perekonomian digital masih bisa ditingkatkan, antara lain dengan mendorong masyarakat dan pelaku usaha, termasuk UMKM mengadopsi teknologi digital. Hal ini diperlukan, mengingat sumbangan ekonomi digital di Indonesia kini masih kecil terhadap perekonomian secara keseluruhan. Dia menaksir, sumbangannya sekitar 4,2 hingga 5 persen.

Betapapun kecilnya, Kahkonen mengakui, cepatnya adopsi teknologi digital menjadi secercah harapan di Indonesia. Rumah tangga dan masyarakat sudah semakin bergantung pada teknologi digital untuk kegiatan sehari-hari, baik untuk bekerja dari rumah, berbelanja secara daring, melakukan pendidikan dari jarak jauh, dan kegiatan-kegiatan yang lain dalam lingkup ekonomi digital.

Pada saat yang sama, lembaga pemerintah juga sudah menggunakan teknologi ini untuk mengatasi tantangan kesehatan akibat pandemi. Dengan teknologi, pemerintah juga semakin bisa menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan. Aplikasi dan teknologi digital berpotensi terus dimanfaatkan untuk membantu pemulihan ekonomi dan pembangunan ekonomi digital.

Sementara bagi perusahaan, teknologi digital sudah membantu mereka untuk terus beroperasi. Kondisi ini sekaligus menjadi peringatan dan pengingat bagi mereka untuk siap secara teknologi dan sumber daya manusia memasuki ekonomi digital di masa mendatang. “Inovasi digital menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam bentang lahan bisnis yang akan datang,” ujarnya.

Betapa pun kesiapan belum merata, industri ekonomi digital di Indonesia bisa dibilang terus menggeliat. Hal ini ditandai dengan tumbuh pesatnya berbagai perusahaan rintisan (startup) yang berbasis aplikasi. Situs StartupRanking menyebutkan, setidaknya terdapat 1.463 startup di Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah startup terbesar ketiga di dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat dan India.

Menariknya, trend pertumbuhan startup ini dipelopori oleh para generasi muda yang memiliki semangat sociopreneurship. Mereka berusaha ikut terlibat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat serta memberikan dampak yang signifikan lewat medium teknologi.

Ekonomi digital sudah pasti memiliki dampak signifikan terhadap pembangunan di Indonesia. Laporan Oxford Economics (2016) menyebutkan, keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan jumlah lapangan kerja di Indonesia.

Secara khusus disebutkan, setiap satu persen peningkatan penetrasi mobile diproyeksikan menyumbang tambahan 640 juta dolar AS pada PDB Indonesia serta membuka 10.700 lapangan kerja baru pada tahun 2020. Kontribusi sektor informasi dan komunikasi makin terasa signifikan terhadap PDB Indonesia, mengingat sektor informasi dan komunikasi menyumbang 7,2 persen dari total PDB Indonesia.

Walaupun angka ini masih jauh dibanding sektor lain, namun sektor informasi dan komunikasi mengalami pertumbuhan sekitar 10,5 persen yang merupakan pertumbuhan terbesar dibanding sektor lain. Pertumbuhan ini pun juga jauh lebih besar dibanding pertumbuhan rata-rata PDB nasional yang mengalami kontraksi hanya dua persen. Maka tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia menaruh perhatian besar terhadap sektor ekonomi digital. (AT)