Herman Nicolas ‘Ventje’ Sumual (Sumber: Koleksi Perpusnas RI)

Koran Sulindo – Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, ketika berbagai tantangan politik dan ekonomi membayangi bangsa yang baru lahir ini, muncul sosok-sosok perwira militer yang tidak hanya berperan dalam menjaga keamanan tetapi juga memperjuangkan aspirasi daerahnya.

Salah satu tokoh tersebut adalah Herman Nicolas ‘Ventje’ Sumual, seorang putra asli Sulawesi Utara yang sejak muda sudah merasakan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan pembangunan di Indonesia Timur.

Kegigihannya untuk memperjuangkan kesejahteraan dan otonomi bagi daerahnya, terutama di masa ketika sistem pemerintahan masih terpusat, membawanya pada pilihan yang kontroversial, yaitu perlawanan melalui gerakan Permesta.

Berawal sebagai seorang prajurit yang setia, Ventje bertransformasi menjadi pemimpin yang memperjuangkan otonomi, sebelum akhirnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan berkarya sebagai pengusaha hingga akhir hayatnya.

Melansir laman kemdikbud, Herman Nicolas ‘Ventje’ Sumual lahir pada 11 Juni 1923 di Remboken, sebuah desa kecil di tepi Danau Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Terlahir dari keluarga militer, ayahnya adalah seorang sersan KNIL yang disiplin, sehingga Ventje tumbuh dengan kedisiplinan yang kuat.

Kehidupan militernya dimulai sejak muda; selain menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, ia juga terlibat dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan menjabat sebagai Kepala Staf Brigade XVI pada masa Revolusi. Setelah kemerdekaan, Ventje kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 1950.

Dalam tugasnya di Komisi Militer untuk Indonesia Timur, ia menyaksikan kondisi prajurit dan keluarga mereka yang serba kekurangan. Pengalaman ini membuatnya dan beberapa perwira dari daerah mempertanyakan pengelolaan hasil bumi Sulawesi yang dianggap tidak sebanding dengan kontribusi ekonominya.

Para pimpinan militer daerah mulai mengusahakan barter kopra untuk membiayai pembangunan daerah, yang kemudian ditentang oleh Pemerintah Pusat di Jakarta.

Ketidakpuasan terhadap kebijakan sentralisasi semakin memuncak pada reuni Korps Perwira Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung pada 1956.

Di sana, ketidakpuasan pada kepemimpinan Jenderal Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat semakin mencuat. Dalam suasana ini, Ventje Sumual diangkat menjadi Komandan Tentara Teritorium VII Indonesia Timur dengan pangkat kolonel, di mana ia menggalang dukungan untuk perlawanan terhadap kebijakan pusat yang dinilai tidak berpihak pada daerah.

Pada 1 Maret 1957, Ventje Sumual memimpin sebuah deklarasi yang dikenal sebagai “Deklarasi Permesta” (Perdjuangan Semesta) di Makassar. Deklarasi ini berisi tuntutan penting bagi Pemerintah Pusat, antara lain otonomi daerah seluas-luasnya serta penghapusan sistem pemerintahan yang sentralistis.

Deklarasi ini menandai awal dari gerakan Permesta, yang mendapat dukungan luas di Kawasan Indonesia Timur. Masyarakat setempat menggelar Kongres Bhinneka Tunggal Ika di Makassar, menyatakan dukungan kepada Permesta. Namun, upaya negosiasi Ventje Sumual dengan Pemerintah Pusat tidak membuahkan hasil, terutama setelah musyawarah nasional pada September 1957.

Ketegangan mencapai puncaknya setelah peristiwa Cikini pada 30 November 1957, yaitu percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno, di mana kelompok Ventje Sumual dicurigai terlibat. Tuduhan ini menambah ketegangan antara pihak Permesta dan pemerintah.

Kemudian, Ventje beraliansi dengan tokoh pemberontak lainnya, seperti Sjafruddin Prawiranegara, membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 10 Februari 1958, yang kemudian disusul dengan pengumuman kabinet PRRI di Bukittinggi.

Pada 1961, setelah beberapa tahun konflik bersenjata dengan pemerintah, Ventje Sumual akhirnya menyerah. Setelah Sjafruddin Prawiranegara mengakhiri permusuhan dengan Pemerintah Pusat pada Agustus 1961, Ventje Sumual yang masih bertahan di Sulawesi Utara akhirnya ikut menyerah pada 20 Oktober 1961.

Dengan diberikannya amnesti dan abolisi kepada anggota PRRI dan Permesta, Ventje Sumual dapat kembali ke masyarakat. Setelah menyerah, Ventje Sumual beralih ke dunia usaha dengan mendirikan PT Konsultasi Pembangunan Semesta pada tahun 1967 bersama rekan-rekan eks-PRRI/Permesta.

Perusahaan ini bergerak di bidang perkayuan, dengan konsesi pengelolaan hutan di Maluku, serta mempekerjakan banyak mantan anggota PRRI/Permesta.

Dengan pengalaman panjangnya, ia berhasil menyesuaikan diri di dunia bisnis hingga akhir hayatnya. Ventje Sumual wafat pada 28 Maret 2010 di Jakarta, meninggalkan jejak sejarah sebagai tokoh yang turut berjuang untuk daerahnya di Sulawesi Utara. [UN]