Indonesia mendapat sorotan di PBB. Ini gegara Vanuatu dan lima negara kecil lain di tengah Samudera Pasifik–Nauru, Kepulauan Solomon, Marshall Island, Palau, dan Tuvalu—mempersoalkan hak asasi manusia (HAM) rakyat Papua di sidang tahunan ke-76 Majlis Umum PBB di New York, Sabtu (25/9/021) lalu.
Perdana menteri (PM) Vanuatu, Bob Loughman, menyatakan di PBB bahwa masih ada pelanggaran HAM di Papua. Loughman mendesak Kantor Komisaris HAM PBB berkunjung ke Papua untuk melihat pelanggaran HAM di sana.
“Di wilayah saya, masyarakat adat Papua Barat terus menderita pelanggaran hak asasi manusia. Forum Pasifik telah meminta pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Kantor Komisaris Hak Asasi Manusia PBB mengunjungi Provinsi Papua Barat dan memberikan penilaian independen terhadap situasi hak asasi manusia,” kata Loughman. Namun, tambahnya, sampai saat ini hanya ada sedikit perkembangan terkait masalah HAM di sana.
“Saya berharap masyarakat internasional melalui proses yang dipimpin oleh PBB dengan serius memperhatikan masalah ini dan menanganinya secara adil,” ucap PM Vanuatu. Celakanya, statement Loughman tersebut, diamplifikasi oleh lima negara kecil lain di tengah Samudera Pasifik di atas.
Ini bukan kali pertama Vanuatu menyerang Indonesia dalam soal HAM Papua. Pada 2016, misalnya, Vanuatu bersama dengan negara kepulauan Pasifik lainnya mengkritik catatan HAM Indonesia di Papua dan Papua Barat. Dalam sidang majelis PBB pihak Vanuatu mendesak RI supaya memberikan kebebasan Papua untuk menentikan nasib mereka. Kemudian pada 2017, Vanuatu kembali membawa isu yang sama pada Sidang Umum PBB ke-72. Juga pada sidang umum PBB tahun 2018, 2019, dan 2020.
Apa yang dilakukan Vanuatu—menurut Wapres Jusuf Kalla yang pernah menghadiri sidang tahunan Majlis Umum PBB 2018—merupakan konspirasi aksi separatisme yang jelas-jelas melanggar kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. PM Vanuatu tampaknya sengaja membutakan diri bahwa masuknya Papua dalam NKRI adalah hasil resolusi PBB 19 November 1969—berdasarkan hasil jajak pendapat atau Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera) yang berlangsung 14 Juli -14 Agustus 1969.
Sidang umum PBB pada 19 November 1969 telah mengesahkan Papua (Irian) sebagai bagian NKRI. Banyak tokoh Papua dari berbagai suku dan agama berjuang untuk penyatuan Papua ke dalam NKRI. Seperti Raja Sekar Machmud Singgirei Rumagesan di Fakfak, Raja Rumbati Ibrahim Bauw, Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan lain-lain. Marthen Indey, misalnya, adalah wakil rakyat Papua yang hadir dalam sidang umum PBB 1969 tersebut. Indey adalah saksi atas nama rakyat Papua sekaligus “diplomat” yang meyakinkan Amerika dan PBB untuk memasukkan tanah Irian ke dalam NKRI.
Dari gambaran tersebut, jelas apa yang dilakukan PM Vanuatu—yang mempersoalkan HAM rakyat Papua dan menggugat resolusi PBB tahun 1969—hanya omong kosong. Bahkan, hanya lansiran hoax murahan di majlis PBB.
Jadi betul ungkapan diplomat perwakilan Indonesia Silvany Austin Pasaribu di New York, bahwa Vanuatu dan kawan-kawannya terlalu ikut campur dengan urusan Indonesia. Silvany juga mengingatkan bahwa Vanuatu bukan representasi rakyat Papua.
“Bagaimana bisa sebuah negara berusaha mengajarkan negara lain, tapi tidak mengindahkan dan memahami keseluruhan prinsip fundamental Piagam PBB,” kata Silvany dalam pidatonya di sidang umum PBB tersebut.
“Ini memalukan, di mana satu negara terus terobsesi berlebihan tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak.” Tegasnya.
Diplomat Indonesia lainnya, Sindy Nur Fitry mempertanyakan pemahaman Vanuatu tentang hak asasi manusia (HAM), hingga bisa memberikan tudingan itu. Vanuatu, kata Sindy, jelas-jelas melakukan pemelintiran fakta.
Vanuatu mencoba membuat dunia terkesan dengan apa yang di sebut kepedulian terhadap HAM. Tapi kenyataanya mereka memelintir HAM. Pemerintah tidak mau menyebutkan “minoritas kecil pemberontak” tersebut adalah teroris atau pemberontak negara. Jakarta menjuluki mereka kelompok kriminal bersenjata (KBB). jelas Sindy.
Vanuatu, tambah Sindy, sengaja membantu advokasi gerakan separatisme dengan kedok keprihatinan terhadap hak asasi manusia. Kedok itu sengaja dipakainya untuk menutupi perbuatan jahat dan kriminalnya.
Papua dan Papua Barat dalam NKRI, secara hukum ketatanegaraan dan ketetapan PBB—sebetulnya tidak ada masalah. Dunia internasional sudah mengakui Papua dan Papua Barat sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Tapi memang, masih ada sebagian kecil rakyat Papua yang ingin mendirikan negara sendiri. Terpisah dari induk NKRI. Sebagian kecil itu, lucunya, sering mengatasnamakan rakyat Papua. Mereka meneror warga di pedalaman agar mengikuti kehendaknya.
Menghadapi kondisi ini, pemerintah Indonesia bersikap persuasif. Tidak konfrontatif. Jika mereka mengganggu keamanan dan meneror warga tak berdosa, barulah Jakarta bertindak. Demi keselamatan sebagian besar warga Papua yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Sekarang pemerintah Joko Widodo tengah membangun infrastruktur di Papua secara besar-besaran. Mulai pelabuhan laut, bandar udara, jalan tol, sampai pasar dan sekolah. Perkebunan dan pertanian, misalnya, kini tengah dibangun di Papua. Hasilnya sangat menjanjikan karena tanah Papua sangat subur dan banyak air.
Ke depan, jika Papua menjadi daerah yang makmur dan rakyatnya sejahtera, niscaya pemberontakan dan gugatan HAM akan lenyap dengan sendirinya. Yang penting saat ini, Jakarta jangan sampai terprovokasi advokasi kaum pembangkang. Sebab jumlah pembangkang di Papua, amat sedikit. Di bawah 3 persen dari keseluruhan rakyat Papua. Ini saja sudah cukup untuk membuktikan, bawa para pembangkang dan pemberontak tidak punya masa dan legitimasi untuk membentuk sebuah negara merdeka di Papua.
Meski demikian, Jakarta harus hati-hati menghadapi kasus di atas. Kegiatan mereka perlu dipantau dan diantisipasi secara proporsional sambil memperkuat pendekatan kesejahteraan. Tepat sekali pemerintah memberi cap kepada para pembangkang itu sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Bukan pejuang, bukan pula teroris. Ini real. Karena faktanya di lapangan—mereka merampok, membunuh, dan menembaki orang tidak bersalah.***
Baca juga: