Koran Sulindo – Penggunaan vaksin termasuk vaksin virus corona atau Covid-19 harus tetap dipantau setelah diberikan ke masyarakat untuk menjamin keamanan vaksin tersebut.
“Kalaupun sudah ada vaksin diimplementasikan, harus dipantau untuk jangka 5-10 tahun untuk melihat keamanannya,” kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Laksana Tri Handoko kepada wartawan, Jumat (4/12).
Pasalnya, banyak vaksin yang akhirnya pada periode tersebut dicabut karena baru ketahuan bermasalah. “Jadi kita semua harus terus bekerja dan mencoba berbagai formula,” kata Handoko.
Kegiatan pemantauan itu disebut surveilans pascapemasaran, yang merupakan praktik pemantauan keamanan vaksin.
Seperti contoh vaksin malaria yang sempat diimplementasikan di Filipina beberapa tahun lalu, akhirnya dicabut karena pada aspek keamanan, ditemukan ada masalah yakni efek sampingan yang cukup signifikan.
Surveilans pascapemasaran adalah kewajiban pengembang vaksin dan industri farmasi yang memproduksi. Namun, semua data harus dilaporkan secara berkala ke Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk dipantau.
Oleh sebab itu, bukan hanya pada saat riset dan pengembangan vaksin hingga melewati uji klinis, vaksin dipastikan manjur, aman dan berkualitas, tetapi juga, setelah vaksin mendapatkan izin edar dari BPOM dan digunakan masyarakat, tetap ada pemantauan untuk menjaga keamanan vaksin.
Terlebih, hingga saat ini belum ada satupun vaksin Covid-19 di dunia yang dinyatakan berhasil dan mendapat otorisasi penggunaan darurat.
Oleh karena itu, pengembangan vaksin Merah Putih secara mandiri juga penting untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan investasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang riset, pengembangan dan produksi vaksin.
Saat ini, ada enam institusi di Indonesia yang mengembangkan vaksin Merah Putih untuk mencegah Covid-19 yakni LIPI, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gadjah Mada dengan masing-masing platform yang berbeda.
Pengembangan dengan berbagai platform tersebut, kata Handoko, penting karena semua belum tahu mana yang akan berhasil, baik dari sisi efikasi.
“Karena sampai saat ini belum ada satupun yang dinyatakan berhasil dan mendapat EUA (emergency use authorization). Pokoknya mana yang siap dulu saja,” ucap Handoko. [WIS]