Ilustrasi: Mengangkut kotak suara Pemilu di daerah terpencil/hidayatsahabatkita.com

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo meminta pembentukan undang-undang pemilu yang barutidak terperangkap pada kepentingan politik jangka pendek. Presiden  menegaskan UU Pemilu harus bisa menjamin proses demokrasi berjalan dengan demokratis, jujur, dan adil.

“Sehingga dengan langkah-langkah penyempurnaan ini, praktik demokrasi pada pemilu yang akan datang akan semakin berkualitas dan semakin baik,” kata Presiden Jokowi, dalam rapat terbatas membahas Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (13/9).

RUU Penyelenggaraan Pemilu ini selanjutnya akan diserahkan Pemerintah kepada DPR.

Menurut Presiden, pemilu juga bisa menjadi instrumen menyederhanakan sistem kepartaian, mewujudkan lembaga perwakilan yang lebih akuntabel, serta memperkuat sistem presidensialisme.

Tentang pilihan mengenai sistem pemilu, ambang batas parlemen, sistem pencalonan presiden dan wakil presiden, penataan daerah pemilihan, metode konversi suara ke kursi, Jokowi mengingatkan harus betul-betul dikalkulasi secara matang sehingga bisa menghasilkan pemerintahan yang efektif dan akuntabel.

Hadir dalam rapat terbatas itu Menko Polhukam Wiranto, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko PMK  Puan Maharani, Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan, Mendagri Tjahjo Kumolo, Mensesneg Pratikno, Seskab Pramono Anung, Kepala Staf Presiden Teten Masduki, Menkumham Yasona Laoly, Ketua KPU Juri Ardiantoro, dan Ketua Bawaslu Muhammad.

Tidak Multitafsir

Presiden meminta agar rumusan dalam pasal-pasal RUU Penyelenggaraan Pemilu jauh lebih jelas dan tidak multitafsir, sehingga menyulitkan penyelenggara pemilu dalam menjalankannya.

Sejak masa reformasi, undang-undang tentang pemilu baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden (Pilpres) sudah dirombak beberapa kali. Bahkan setiap menjelang pemilu pasti ada perubahan undang-undang pemilu.

Ke depan, kata Presiden, Indonesia juga harus menyiapkan kerangka regulasi baru tentang pemilu untuk menyesuaikan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 yang memutuskan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta pemilihan presiden- wakil presiden tahun 2019, akan dilaksanakan secara bersamaan.

Presiden meminta agar Rancangan Undang-Undang Pemilu yang diusulkan pemerintah, substansinya harus betul-betul menyederhanakan dan menyelaraskan.

“Menyederhanakan dan menyelaraskan tiga undang-undang yang sebelumnya terpisah, yaitu undang-undang pemilu legislatif, undang-undang pemilu presiden dan wakil presiden, serta undang-undang penyelenggaraan pemilu,” katanya.

Pembentukan RUU Penyelenggaraan Pemilu tersebut haruslah dilandasi pada semangat penyempurnaan yang sifatnya substansial berdasarkan pengalaman dan praktik Pemilu yang sudah beberapa kali diselenggarakan. Penyempurnaan tersebut mencakup pada teknis penyelenggaraan, tahapan Pemilu, tata kelola penyelenggaraan Pemilu, hingga pencegahan praktik politik uang.

500 Pasal

Draft Rancangan Undang-Undang UU Pemilu ini memiliki 500 pasal. Dari ratusan pasal itu terdapat beberapa aturan krusial yang mendapat sorotan khusus.

Misalnya, soal tahapan Pemilu, apakah waktunya akan ditambah dari 22 bulan menjadi 25 bulan.

Selanjutnya soal persyaratan peserta Pemilu, apakah konsisten dengan undang-undang lama dengan presentasi yang sama atau menggunakan cara baru dengan verifikasi sensus dan bukan sampling.

Isu lain terkait syarat pemilihan presiden dan wakil, waktu kampanye pileg dan pilpres, jumlah pemilih maksimal pada TPS, dan mengenai pilihan sistem pemilu (proporsional terbuka murni, proporsional tertutup, proporsional terbuka terbatas ala 2009, atau campuran paralel seperti di Jepang.

Peran penting lembaga penyelenggara pemilu juga ada dalam RUU itu.

Soal yang sangat penting adalah sistem pemilu. Apakah akan akan kembali ke tertutup atau tetap dengan proporsional daftar terbuka dengan perbaikan, alokasi kursi di daerah pemilihan, parliamentary threshold (ambang batas parlemen), serta metode konversi suara jadi kursi.

Dalam sistem tertutup, maka pemilih hanya disodorkan untuk mencoblos logo partai, tanpa daftar nama caleg, seperti pemilu di zaman Orde Baru. Sedangkan dalam sistem terbuka, nama-nama caleg juga terpampang.

Pengaturan kepesertaan partai politik dalam pemilu juga diprediksi krusial terutama bagi partai-partai baru. Yang juga menjadi perhatian adalah soal ambang batas pencalonan presiden.

Setelah diajukan ke DPR, fraksi-fraksi tentunya akan butuh waktu lama untuk menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). [setkab/setneg/DAS]