Sidang paripurna DPR pengesahan UU PPMI [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Mimik kecewa jelas tampak pada wajah aktivis Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) itu. Ia tak menyangka, DPR akan mengesahkan Rancangan Undang Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) pada Rabu (25/10).

“Iya, sudah disahkan barusan. Kawan-kawan di depan Gedung MPR/DPR sedang aksi menuntut penundaan,” kata Widi, aktivis Kabar Bumi yang ditemui pada Sidang Paripurna DPR.

Berbeda dengan Widi, aktivis Migrant Care, Anis Hidayah di tempat yang sama, justru menyambut baik pengesahan UU itu. Ia berpendapat UU PPMI ini setidaknya lebih “maju” dari UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tahun 2004.

Anis mengatakan, kelebihan UU PPMI dibanding UU sebelumnya antara lain tentang pengakuan terhadap buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga sebagai pekerja formal. Ia merujuk kepada Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi pekerja migran Indonesia meliputi yang bekerja pada pengguna berbadan hukum; bekerja pada pengguna perseorangan atau rumah tangga; pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.

Di samping itu, menurut Anis, UU yang baru ini juga mampu memidanakan korporasi yang selama ini dianggap tak pernah tersentuh hukum. “Selama ini kan hanya sanksi administrasi, sekarang perusahaan bisa dituntut pidana, maksimal 3 tahun. Juga mencegah perdagangan manusi berkedok buruh migran,” tuturnya dengan bersemangat.

UU PPMI sempat digantung selama tujuh tahun tanpa kejelasan. Pembahasannya pun menuai pro dan kontra. Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), misalnya, menilai UU itu menutup akses penuntutan dan ganti rugi atas sebuah pelanggaran terhadap buruh migran. Kendati UU melarang perusahaan mengutip biaya penempatan terhadap buruh migran, praktiknya agen di luar negeri justru memaksa buruh migran untuk membayar biaya penempatan.

Bayaran ini lalu dikirimkan kepada perusahaan penempatan di Indonesia. Umumnya agen memaksa buruh migran meminjam uang di perusahaan pembiayaan sebagai ganti biaya yang telah dikeluarkan agen. Sanksi pidana yang dikenakan terhadap korporasi tidak seperti yang dijelaskan Anis Hidayah dari Migrant Care itu.

Sesuai dengan UU yang baru itu, dalam Bab XI yang mengatur Ketentuan Pidana hanya dikenakan kepada orang per orang. Sementara ketentuan pidana terhadap korporasi diatur dalam Pasal 87 yang berbunyi:

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga) dari masing-masing ancaman pidana denda.
(3) Selain pidana pokok, korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin.

Dari pasal itu, bisa diartikan pidana terhadap korporasi mengikuti Pasal 87 ayat 2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda. Lalu, sesuai dengan Pasal 63 pekerja migran perseorangan dapat bekerja ke luar negeri pada pemberi kerja berbadan hukum. Dengan kata lain, pekerja rumah tangga tetap berada di bawah perusahaan swasta. Itu sebabnya, hakikat UU PPMI disebut tidak berbeda dengan sebelumnya: melanggengkan perbudakan modern. [KRG]