UU Ormas Mengandung Banyak Problem

Ilustrasi: Massa Hizbut Tahrir Indonesia, ormas yang dibubarkan lewat Perppu Ormas/hizbut-tahrir.or.id

Koran Sulindo – Undang-Undang Organisasi Massa (Ormas) yang baru saja disahkan DPR dinilai mengandung banyak problematika. UU itu adalah pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 itu yang diajukan pemerintah pada Juli lalu.

DPR RI dalam rapat paripurna menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi undang-undang melalui mekanisme voting pada 24 Oktober lalu.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan catatan revisi UU Ormas yang utama terdapat pada Pasal 59 ayat 4 dan ayat 5. Ayat itu menyatakan  ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.

Ormas juga dilarang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

“Kemudian peniadaan dari kewenangan pengadilan untuk menilai apakah betul ormas itu mengembangkan atau mengajarkan menganut paham bertentangan Pancasila atau tidak. Itu yang paling penting,” kata Yusril, seusai menghadiri upacara peringatan Hari Dharma Karya Dhika (HDKD) di gedung Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Senin (30/10), seperti dikutip antaranews.com.

Tiga Poin Harus Direvisi

Sementara itu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan ada tiga poin dalam UU Ormas yang harus direvisi.

“Pertama, terkait bagaimana sanksi yang diberikan negara kepada ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Termasuk siapa yang menafsirkan ormas A dan B bertentangan dengan Pancasila,” kata SBY, dalam konferensi pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (30/10).

Ormas tidak boleh dinilai bertentangan dengan Pancasila tanpa dasar hukum.

Kedua, pasal yang berkenaan dengan tingkat ancaman hukuman dan siapa yang dikenai hukuman juga harus direvisi supaya adil dan tidak melampaui batas penerapannya.

“Jangan sampai karena pengurus Ormas dibubarkan lalu semua anggotanya kena hukum. Kalau hukumannya seumur hidup, ini tentu sangat tidak adil,” katanya.

Ketiga, revisi harus dilakukan pada pasal mengenai pembubaran ormas. Ia mengatakan bahwa dalam keadaan genting dan memaksa negara bisa membekukan ormas, namun pembubaran ormas secara permanen tetap harus melalui proses hukum yang akuntabel.

“Tiga usulan utama itu sudah disiapkan naskah akademiknya untuk diserahkan kepada negara dan DPR RI. Kalau bisa hari ini atau paling lambat besok,” kata SBY.

Terbuka soal revisi UU Ormas

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan pemerintah terbuka soal usulan revisi Undang-Undang Ormas hasil pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 yang baru saja disahkan DPR RI.

“Kami terbuka, tentunya terbuka dengan revisi yang kami sepakati bersama. Poin-poin mana yang diinginkan teman-teman, kami lihat, kita duduk bersama saja. Tidak perlu huru-hura, bangsa ini kan milik kita bersama,” kata Yasonna, usai mengikuti upacara peringatan Hari Dharma Karya Dhika (HDKD) di gedung Kemenkumham di Jakarta, Senin (30/10).

Menurut Yasonna, memang ada kesepatan bersama dengan beberapa fraksi soal adanya catatan-catatan dalam pembahasan Perppu Ormas itu.

“Yang pasti kesepakatan kami sudah “firm” soal ideologi negara,” kata Yasonna.

Sementara pakar hukum tata negara, Prof Dr Mahfud MD, menilai positif inisiatif revisi UU Ormas tersebut.

“Soal ada perubahan, saya kira itu boleh-boleh saja, itu biasa saja. Ada revisi, buat yang baru dan sebagainya. Menurut saya, itu positif, agar negara hukum lebih terjamin prosedur formalnya,” kata Mahfud, di Kantor Wakil Presiden Jakarta Pusat, Senin (30/10).

Menurut Mahfud, perdebatan yang terjadi selama ini adalah terkait dengan apakah ormas yang tidak sesuai dengan ideologi negara dibubarkan terlebih dahulu, kemudian di bawa ke pengadilan. Atau, pemerintah yang membawa ke pengadilan dan pengadilan yang membubarkan.

Pemerintah sebelumnya menggunakan Perppu tersebut untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Sekarang HTI sudah bubar berdasar UU yang berlaku sekarang, besok misalnya Desember 2017 UU ini dikabulkan oleh MK dinyatakan batal, HTI sudah bubar. Karena menurut UU tentang pembentukan peraturan perundangan itu tidak bisa pemberlakuan berlaku surut,” kata Mahfud. [DAS]