Koran Sulindo – Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi UU terus menuai pro dan kontra. Sebagian masyarakat menilai keberadaan UU Ormas yang baru itu mengancam kebebasan berserikat dan melanggar prinsip negara hukum.
Pengamat hukum tata negara Refly Harun, misalnya, mengatakan, UU Ormas yang baru itu berisi tiga hal utama. Pertama, adanya aturan yang menghilangkan proses hukum dalam hal pembubaran ormas. Daam UU yang baru itu, ormas dapat dibubarkan tanpa melalui melalui proses hukum di pengadilan.
Selanjutnya, UU Ormas berpandangan dan menegaskan definisi yang bertentangan dengan Pancasila. Tidak hanya mengenai ideologi marxisme, leninisme dan ateisme melainkan paham-paham yang dianggap mengubah Pancasila dan UUD 1945.
“Dalam sebuah diskusi saya pernah bercanda, DPD kalau bentuknya ormas juga dapat dibubarkan, karena DPD ingin mengubah UUD 1945 melalui amandemen,” kata Refly seperti dikutip antaranews.com pada Senin (6/11).
Terakhir, kata Refly, UU Ormas baru bisa menghukum secara berat dan tidak masuk akal terhadap ormas yang dianggap melanggar aturan. Sanksinya mulai dari lima tahun hingga 20 tahun. Bahkan ada yang sampai seumur hidup. Ini terlalu berat dan tidak masuk akal, kata Refly.
Seperti Refly, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) juga berpendapat sama. Keberadaan UU Ormas yang baru disebut mengancam kebebasan berserikat dan berorganisasi. Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013, kebebasan berserikat adalah salah satu hak yang paling penting dalam negara demokrasi karena kebebasan berserikat merupakan jantung dari sistem demokrasi.
Dengan kebebasan berserikat, warga negara dapat secara bersama-sama memperjuangkan kepentingannya yang tidak mungkin atau sulit dicapai secara individu. Selain itu, dengan kebebasan berserikat di dalamnya juga dijamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk mendirikan atau bergabung dalam organisasi manapun.
Jika merujuk pada putusan MK itu, Elsam berpendapat kebebebasan berserikat/berorganisasi ditempatkan sebagai jantung dari sistem demokrasi. Karena itu, MK memerintahkan kepada pembentuk UU, DPR dan presiden, untuk tidak terlalu masuk atau campur tangan dalam kehidupan suatu organisasi, sebagai wujud implementasi dari kebebasan berserikat/berorganisasi.
Di samping itu, UU Ormas, menurut Elsam, menabrak prinsip-prinsip negara hukum. Dalam pelaksanaannya, perumusan hukum menghendaki ditegakkannya prinsip supremasi hukum dan prinsip proses hukum sebagai inti atau tujuan utama dari perlindungan hak asasi manusia. Sedangkan UU Ormas tidak memuat prinsip-prinsip tersebut. [KRG]