Koran Sulindo – Anggota DPR dari Fraksi NasDem Akbar Faisal memastikan penerapan Undang-undang Antiterorisme sangat mengutamakan hak asasi manusia (HAM).
Rapat Paripurna DPR Jumat (25/5) kemarin, mengesahkan Revisi Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris.
“Hampir pada seluruh bagian dalam pasal-pasal yang terutama menyangkut dengan pelaksanaan penindakan itu menjunjung tinggi HAM,” kata Akbar di Jakarta, Sabtu (26/5).
Akbar memaparkan, DPR juga telah menghapus pasal Guantanamo yang merupakan julukan untuk Pasal 28 dalam RUU Antiterorisme.
Pada usulan pemerintah yang menyebut penyidik bisa melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindakan terorisme dalam waktu paling lama 30 hari.
“Kami berdebat panjang soal pasal Guantanamo tapi akhirnya klausul itu kami hapus semua, sangat rigid,” kata dia.
Selain itu, dalam RUU Antiterorisme, negara juga akan memberikan jaminan kompensasi dan restitusi kepada korban tindak kejahatan terorisme. Menurut Akbar, kompensasi kepada korban adalah bentuk kepedulian dan tanggung jawab negara.
“Kegiatan terorisme yang melibatkan anak-anak juga akan ada penambahan tuntutan sebanyak 1/3 dari tuntutan yang diterima. Kami ingin negara hadir di sini.”
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) lanjut Akbar tetap akan menjadi lembaga negara yang mempunyai kewenangan utama dan bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan terorisme di Indonesia.
Sejalan dengan UU Antiterorisme, BNPT merupakan pihak utama yang bisa memberikan informasi kepada Presiden tentang keberadaan terorisme.
“TNI juga kita berikan kewenangan yang tetap mengacu pada UU TNI. Penambahan kewenangan TNI ada dalam wilayah Keputusan Presiden,” kata Akbar.
Selain yang disebut Akbar, beberapa poin baru dalam revisi RUU yang juga disahkan menjadi UU antara lain soal penyadapan.
Penyidik kepolisian kini bisa melakukan penyadapan kepada terduga teroris tanpa izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
Pada Pasal 31A UU Antiterorisme mengatur, dalam keadaan mendesak, penyidik bisa melakukan penyadapan terlebih dahulu pada orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan atau melaksanakan Tindak Pidana Terorisme.
Setelah dilakukan penyadapan, dalam waktu paling lama tiga hari baru lah penyidik wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri setempat.
Pasal tersebut menjadi pasal baru yang disisipkan antara pasal 31 dan pasal 32.
Tak hanya soal izin, UU baru itu juga memberikan waktu lebih lama bagi penyidik untuk melakukan penyadapan.
Pasal 31 ayat (3), izin penyadapan dari ketua pengadilan negeri dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
Pada di UU yang lama, izin penyadapan paling lama berlaku 1 tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Sementara dalam pasal 31 ayat (4) juga ditegaskan, hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan tindak pidana terorisme.
Sementara di pasal 31 ayat (5), penyadapan juga wajib dilaporkan kepada atasan penyidik dan dilaporkan ke kementerian komunikasi dan informatika. [CHA/TGU]