Koran Sulindo – Rapat Pleno Panitia Khusus DPR malam itu seperti di bawah ancaman entah apa. Serba bergegas seperti terburu-buru. Dan tak sampai tengah malam, seluruh anggota dewan yang terlibat Pansus itu serentak menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu tersebut dibawa ke Rapat Paripurna, tempat seluruh legislasi diketokpalu, esok harinya.
Rapat itu juga dihadiri perwakilan pemerintah yang berhubungan dengan masalah terorisme. Pimpinan tertinggi eksekutif, Presiden Joko Widodo sudah mengancam parlemen segera mengesahan UU itu 10 hari sebelumnya, jika tidak ia akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
Entah ancaman itu memang menggentarkan, atau entah suasana negeri ini sedang dalam haru biru setelah diserang aksi teror brutal di Mako Brimob Depok Jawa Barat dan Surabaya Jawa Timur, proses pengesahan UU Anti-terorisme itu memang layak masuk rekor baru, apalagi jika melihat kinerja parlemen hasil pemilihan umum 2014 tersebut dalam pembuatan UU.
Sama seperti kasus terbaru ini, revisi UU itu dijukan pemerintah setelah aksi teroris di Jalan Thamrin Jakarta, Maret 2016.
“Artinya, sudah dua tahun. Untuk segera diselesaikan secepatnya-cepatnya dalam masa sidang berikut, yaitu pada 18 Mei yang akan datang,” kata Presiden Jokowi, 14 Mei lalu.
Ketua Pansus DPR mengatakan pernyataan Jokowi itu salah alamat.
“Permasalahan ada di pemerintah. Di DPR sudah clear. Tolong selesaikan di internal pemerintah. Pemerintah ini yang tidak tertib,” kata Syafi’i, pada hari yang sama dengan pernyataan presiden.
Pansus memastikan RUU itu tinggal ketok palu. Pembahasan dinyatakan sudah mencapai 99 persen dan terhambat karena semua unsur di pemerintah belum menyepakati definisi terorisme. Mereka masih bertengkar di dalam.
Ketua DPR mendukung bantahan Ketua Pansus.
“DPR sebenarnya 99 persen sudah siap ketuk palu sebelum reses masa sidang yang lalu. Namun pihak pemerintah minta tunda karena belum adanya kesepakatan soal definisi terorisme,” kata Bambang Soesatyo, di hari yang sama.
Pertengkaran di dalam pemerintahan adalah soal definisi. Perwakilan pemerintah berkeras tak mau mencantumkan soal frasa ‘motif dan tujuan politik’ ke dalam definisi aksi terorisme.
Seharmal
Selama pembahasan RUU tersebut, Pansus membangun suasana tanpa faksi, hingga memasukkan norma baru atau mengubah norma dilakukan secara aklamasi, tanpa pemungutan suara. Kereta cepat itu juga berjalan ketika pembahasan memasuki soal definisi, hal yang disebut-sebut menyebabkan proses legislasi ini terkatung-katung 2 tahun. Soal definisi terorisme ini, memang tak pernah ditemukan dalam UU No. 15 Tahun 2003, juga UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dalam RUU yang dirumuskan pemerintah, pengertian terorisme ini juga tidak dicantumkan. Sedari awal pemerintah tampaknya memang sengaja tidak merumuskan definisi mengenai terorisme.
Akhirnya pemerintah bisa mnyelesaikan pertengkaran internal mereka dan menawarkan 2 opsi. Namun opsi itu baru diserahkan pada 23 Mei, hanya sehari semalam (seharmal), sebelum UU itu disahkan di Rapat Paripurna DPR.
Opsi pertama, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Opsi kedua sama seperti di atas, namun ditambahi kalimat “dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan”.
Pada pembahasan 24 Mei malam disepakati penggunaan opsi ke-2 dan selesailah sudah pembahasan berlarat-larat itu. Pemerintah senang, parlemen senang, semuanya senang.
Namun tepat di situlah persoalan akan bermula, dan kelak bisa menjadi masalah besar sehari-hari.
Lembaga sipil Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), penjelmaan kembali Elsam yang berjaya dulu, yang terlibat dalam perumusan UU itu bahkan sejak Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada awal-awal lampau, menganggap rumusan definisi terorisme itu masih menjadi catatan serius.
ICJR bersikeras definisi terorisme adalah pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme. Jika tidak, peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme akan terbuka lebar.
Menurut ICJR, definisi terorisme harus diletakkan pada perbuatan yang benar-benar memenuhi unsur teror dan penghasutan untuk melakukan teror yang digunakan dalam tujuan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme.
“Definisi Terorisme yang disepakati Pemerintah dan DPR justru menimbulkan interpretasi yang kabur dan multitafsir,” tulis pernyataan ICJR, seperti dikutip icjr.or.id.
Kalimat “dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan” dalam definisi UU itu, juga akan menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan seluruh unsur tindak pidana terorisme. Unsur motif tersebut rentan menjadikan delik terorisme menjadi delik politik.
“Dengan definisi yang telah disepakati tersebut, maka penegakan hukum pidana terorisme tidak hanya menjadi sulit sekaligus juga rentan terhadap masuknya kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan penegakan hukum.”
Pelibatan TNI
Yang juga terlupakan dalam pengebutan pengerjaan UU itu adalah pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme. Sejak jauh hari ide ini sudah ditolak banyak kalangan terutama organisasi swadaya masyarakat dan organisasi sipil lainnya.
Lembaga Imparsial, misalnya, menyatakan pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah dalam Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU No 34 Tahun 2004, pasal 7 ayat 2 dan ayat 3).
“Mengacu pada pasal itu sebenarnya presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara,” kata Direktur Imparsial Al Araf, lebih setahun lalu.
Menurut Al Araf, keinginan Presiden untuk melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa harus mengatur pelibatan militer dalam revisi UU Antiterorisme. Pelibatan militer itu cukup mengacu pada UU TNI. Selama ini militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme, seperti sekarang terjadi dalam operasi Tinombala di Poso.
Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tersebut merupakan bentuk tugas perbantuan untuk menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara.
“Di sini pelibatan militer seharusnya menjadi last resort (pilihan terakhir), yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme,” kata Al Araf.
Pelibatan TNI tertuang dalam Pasal 43 I dalam bentuk tiga ayat. Ayat 1 menyatakan “Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.” Ayat 2 menyatakan, “Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI.”
Sedangkan ayat 3 menyatakan ketentuan soal itu diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Pemerintah seperti diberi ruang lega menuliskan aturan pelibatan tentara ini. Sebagai dasar awal, baik diperjelas kalau polisi memberantas terorisme untuk penegakan hukum, tentara sudah sejak awal berbeda 180 derajat doktrinnya. Apalagi, Panglima TNI seusai menyaksikan pembahasan di Rapat Pansus DPR mengatakan Perpres itu akan disusun TNI.
Amnesty International Indonesia juga menggarisbawahi hal itu, tapi lebih pada kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia yang terbuka lebar setelah beleid baru itu berlaku. Terutama karena banyak pasal abu-abu didalamnya.
“Ketidakjelasan beberapa pasal dalam UU itu bisa digunakan otoritas untuk membatasi kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul, atau menerakan label aktivitas politik sebagai terorisme,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, seperti dikutip amnesty.org.
Legislasi baru ini memang seperti memberi kebebasan pemerintah untuk mengisinya dengan apa saja untuk melawan terorisme. Juga terbuka kemungkinan meneror warga negaranya sendiri. [Didit Sidarta]