Foto:acppost.blogspot.com

Sulindomedia – Untuk membiayai target APBN 2016, pemerintah melakukan lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa ini (2/2/2016). Ada lima jenis SUN yang dilelang, yaitu seri SPN 03160503 yang jatuh tempo 3 Mei 2016; SPN 12170203, jatuh tempo 3 Februari 2016; seri  FR0053, jatuh tempo 15 Juli 2021; FR0056, jatuh tempo 15 September 2026, dan; FR0073 yang akan jatuh tempo pada 15 Juli 2021.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan target indikatif dari penjualan SUN sebesar Rp 12 triliun, sedangkan target maksimalnya Rp 18 triliun.

Namun, sejumlah kalangan menyayangkan langkah yang diambil pemerintah tersebut.  Kusfiardi dari Koalisasi Anti-Utang (KUA), misalnya, berpandangan Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri bila pemerintah masih mengandalkan utang sebagai bagian tak terpisahkan dari APBN. “Kita tidak pernah realistis. Persoalan kita adalah beban utang yang sudah besar. Namun, bukannya dikurangi, pemerintah justru terus mengupayakan segala cara untuk menambah utang baru,” katanya di Jakarta.

Pemerintah, lanjutnya, tidak memiliki perencanaan jelas dalam pembangunan ekonomi. Buktinya, APBN sebagai dasar perencanaan keuangan negara harus ditutup dengan cara berutang. Mestinya pemerintah melakukan pemberdayaan ekonomi pedesaan  dan memberi modal bagi pelaku usaha kecil agar daya beli masyarakat terdongkrak dan pada akhirnya akan menggerakkan roda ekonomi nasional.

“Menciptakan kemandirian bangsa  melalui program yang bisa menstimulus perekonomian dan pemberdayaan usaha rakyat, ini yang mesti dilakukan pemerintah. Sayangnya, pemerintah belum optimal untuk  memberdayakan ekonomi pedesaan, tapi sebaliknya, menempuh cara instan dengan berutang,” tutur Kusfiardi.

Ia mengingatkan pun dampak  langsung dari utang: cicilan bunga yang semakin mencekik. Karena, jumlah utang pemerintah sekarang sangat besar, termasuk utang ke negara lain. Dampak yang paling hakiki dari utang tersebut adalah hilangnya kemandirian akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan negeri oleh si pemberi pinjaman, baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri.

Pada akhirnya, imbuhnya,  arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir, membuat Indonesia semakin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat negara donor. Ini sangat beralasan karena pemberi utang harus menjaga, mengawasi, dan memastikan pengembalian dari pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman mampu dikembalikan Negara pengutang seperti Indonesia.

Alih-alih memfokuskan pada kesejahteraan rakyat, pada akhirnya pemerintah makin membuat rakyat terjepit karena mengembalikan pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya untuk dikembalikan kepada rakyat, yaitu kekayaan negara hasil bumi dan pajak.

Banyak cara bisa ditempuh pemerintah sebagai solusi untuk mengurangi utang, seperti memaksimalkan kekuatan ekonomi nasional di  sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan kelautan; menggalakkan  kebanggaan akan produksi dalam negeri; meningkatkan kemauan dan kemampuan ekspor produk unggulan, dan; membina jiwa kewirausahaan masyarakat. “Negeri Indonesia ini sebenarnya kaya akan sumber daya alam unggulan sehingga bila kita manfaatkan secara maksimal maka akan memberikan devisa negara,” tuturnya. [ARS/PUR]