Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara – Anggota DPR RI Fraksi PPP
Salahkah negara berutang besar di tengah pandemi? Lihat bagaimana reaksi orang-orang yang oposan dan propemerintah.
Kaum penyinyir rejim Jokowi, ramai-ramai menyorot utang negara saat ini–yang katanya, sangat besar dan memberatkan perekonomian nasional.
Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Rizal Ramli, misalnya, menyoroti utang dari Jerman dan Australia belum lama ini, yang nilainya masing-masing 550 juta euro (Rp9,1 triliun) dan 1,5 milyar dolar Australia (Rp15,4 trilyun). Rizal mengejek, rejim Jokowi memalukan karena mengemis uang recehan dari Jerman dan Australia. Padahal pinjaman itu, dalam skema mengatasi Pandemi yang disebut “Covid-19 Active Response and Expenditure Support” atau CARES. Hal itu tak hanya dilakukan Indonesia. Tapi, juga negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan lain-lain yang terdampak covid parah.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo merespon Rizal Ramli yang nyinyir terhadap utang tersebut. Melalui akun Twitter resminya, @prastow, Yustinus menyatakan, pinjaman dari Australia dan Jerman tidak diperoleh RI dari mengemis, melainkan sebagai wujud persahabatan antarnegara, terutama di tengah pandemi Covid-19. Makanya, pinjaman itu bertenor panjang dan bunga rendah.
Apakah negara bangkrut lantaran utang itu? No, jelas Yustinus. Itu terlihat pada posisi utang negara yang saat ini justru turun dari 7,03 persen di awal 2020, menjadi 6,15 persen pada November 2020. Karena itu, kata Yustinus, tidak benar utang tersebut memberatkan perekonomian Indonesia.
Kritik serupa muncul dari Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Katanya, utang negara terus membengkak hingga lebih dari 6.500 triliun rupiah. Angka tersebut sudah melampaui 40 persen utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Lalu, apakah prosentasi tersebut membuat Indonesia terjungkal dan mati kutu? No. Malah perekonomian Indonesia di saat pandemi cukup tangguh. Bahkan, cepat bangkit dan menuai pujian internasional. Ini karena pertumbuhan ekonomi Indonesia di kwartal kedua 2021 mencapai 7,07 persen. Padahal, di kurun yang sama, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan hanya 5,69 persen dan India 1,6 persen. Dua negara ini termasuk tinggi pertumbuhan ekonominya dari tahun ke tahun.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menjawab kritik nyinyir tersebut dengan santai. Ini karena utang tersebut, termasuk pinjaman luar negeri, sudah sesuai aturan yang jelas; bukan ngoyoworo. Maksudnya, sudah direncanakan jauh hari oleh pemerintah untuk menyeimbangkan postur APBN—jelas Sri Mulyani. Tentu sudah dibahas DPR.
Semuanya sudah tertuang dalam Perpres 72/2020. Di Perpres 72/2020 tertera dari mana sumber uang untuk APBN “penyesuaian” di era pandemi yang “defisit” itu. Dari SBN (Surat Berharga Negara), pinjaman bilateral, dan multilateral. Kondisi tersebut—di mana utang negara mengalami kenaikan—tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi, juga nyaris di seluruh dunia. Karena pengaruh pandemi corona.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB. Komposisi utang terdiri dari pinjaman, baik dalam maupun luar negeri, sebesar Rp842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp5.711,79 triliun (87,14 persen).
Secara nominal, posisi utang Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Meski demikian, rasio utang 41,35 persen dari PDB tersebut masih berada dalam koridor konstitusi. Karena UU Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan, rasio utang tertinggi adalah 60 persen dari PDB.***
(Bersambung ke bagian 2, 23 September 2021, pukul 18.00 di sini)
Baca juga: