Utang Meninggi, Garuda di Ambang Jatuh?

Ilustrasi Garuda Indonesia mau "jatuh" karena utang/detik.com

Koran Sulindo – Garuda Indonesia diterpa “guncangan keras” yang membuatnya nyaris jatuh dalam 1,5 tahun terakhir. Karena turbulensi itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra pada Mei lalu menyampaikan kepada karyawan kondisi sesungguhnya maskapai kebanggan nasional itu.

Rekaman pembicaraan Irfan dengan para karyawannya itu beredar luas di berbagai aplikasi perpesanan WhatsApp. Ia mengungkapkan bahwa saat ini Garuda Indonesia memiliki utang senilai Rp 70 triliun. Dan setiap bulan, utang tersebut akan bertambah terus, lebih dari Rp 1 triliun.

“Bulan Mei ini merupakan bulan yang nampaknya menjadi salah satu bulan terburuk di tahun ini karena pendapatan kita, kita prediksi hanya US$ 56 juta. Sementara bayar sewa pesawat US$ 56 juta, maintenance US$ 20 juta, avtur US$ 20 juta, pegawai US$ 20 juta. Jadi secara kas kita sudah negatif, secara modal kita sudah minus Rp 41 triliun,” ungkap Irfan.

Sektor transportasi, terutama transportasi udara merupakan salah satu sektor yang paling terpukul karena pandemi Covid-19. Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2020 jumlah penumpang angkutan udara domestik hanya 32,39 juta, turun 57,76% dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 76,68 juta penumpang. Kondisi ini belum juga membaik pada 2021 ini. Pandemi yang masih terus merebak, sehingga pembatasan sosial pun masih berlangsung, membuat jumlah penumpang pesawat masih belum normal. Sepanjang Januari-Maret 2021, jumlah penumpang angkutan udara hanya 6,88 juta, turun 58,68% dibanding periode yang sama tahun 2020 yang sebanyak 16,65 juta penumpang.

Pada Triwulan IV/2020, sebenarnya tanda-tanda pemulihan bisnis penerbangan sudah mulai terlihat. Pada Oktober 2020, misalnya, Garuda Inodonesia mengangkut 739 ribu penumpang. Capaian jumlah penumpang tersebut meningkat signifikan dibandingkan periode awal pandemi di mana Garuda Indonesia Group, di dalamnya termasuk Citilink, hanya mengangkut sekitar 30 ribuan penumpang per bulannya. Tak hanya jumlah penumpang, jumlah kargo dan penerbangan charter pun makin membaik sampai akhir Desember 2020.

Tetapi, awal 2021, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia naik tajam sebagai imbas dari liburan akhir tahun. Tak mau terulang lagi, pada Idul Fitri lalu pemerintah melarang masyarakat mudik ke kampung halaman. Bahkan pada 6-17 Mei, layanan transportasi umum ditutup untuk mencegah masyarakat mudik. Kondisi ini tentu berimbas kepada pendapatan Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan.

Garuda Indonesia pun terpaksa harus ‘mengandangkan’ sebagian besar pesawat mereka. Dari 141 pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia, saat ini yang beroperasi hanya 41 pesawat. “Sisa pesawat itu bukan kita tidak mau terbangkan, (tetapi) kita tidak boleh terbangkan. Karena sudah berapa bulan, berapa lama kita tidak membayar sewa pesawat,” ujar Irfan.

Akan tetapi, benarkah Garuda Indonesia nyaris jatuh hanya karena Covid-19. Sebelum pengumuman Irfan itu, turbulensi keuangan juga sudah menerpa Garuda pada 2017. Kala itu, Garuda Indonesia “dipiloti” Pahala N Mansury yang kini menjadi Wakil Menteri BUMN. Pahala waktu itu panik dan tegang ketika ditanya soal isu Garuda di ambang kebangkrutan alias gulung tikar.

“Itu kekhawatiran yang berlebihan,” kata Pahala seperti dikutip kompas.com pada pekan kedua Juni 2017.

Mantan pejabat di Bank Mandiri itu menduga, isu tersebut muncul karena jebloknya kinerja keuangan Garuda pada Kuartal I/ 2017. Kinerja keuangan perusahaan penerbangan milik negara yang berdiri sejak 1949 ini mulai membaik sejak Kuartal II/ 2017.

Laporan Reuters menyebutkan, Garuda pada Kuartal I/ 2017 mengalami kerugian bersih sekitar US$ 98,5 juta atau setara sekitar Rp 1,31 triliun. Padahal Kuartal I/2016, maskapai bintang lima versi Skytrax itu membukukan laba bersih US$ 1,02 juta. Kerugian itu lantaran kenaikan biaya bahan bakar dan persaingan.

Soal ini, Pahala mengakuinya. Persaingan di industri penerbangan disebut sungguh ketat. Untuk mengatasinya, Garuda akan mengoptimalkan rute penerbangan dalam negeri yang bersaing dengan maskapai yang menawarkan tiket murah (LCC). Pun demikian dengan rute internasional.

Pesaing Garuda soal tiket murah antara lain Air Asia, Singapore Airlines dan maskapai swasta Lion Air. Kendati demikian, Pahala memastikan likuiditas dan ekuitas Garuda masih sangat bagus. Jadi dari beberapa aspek, Garuda justru masih bagus.

Kerugian yang dialami Garuda pada Kuartal I/2017 antara lain karena biaya bahan bakar avtur perseroan mencapai US$ 292,3 juta, naik 54 persen dibanding Kuartal I/ 2016 yang hanya US$ 189,8 juta.  Pada kuartal kedua tahun 2017 diperkirakan biaya bahan bakar avtur relatif stabil.

Kenaikan harga bahan bakar itu berpengaruh kepada total biaya operasional dan meningkat tajam menjadi US$ 1,01 miliar pada Kuartal I/ 2017. Padahal pada Kuartal I/2016, biaya operasional hanya US$ 840,1 juta. – naik sekitar 21,3 persen.

Kendati pendapatan pada Kuartal I/ 2017 meningkat menjadi US$ 909,5 juta dibanding Kuartal I/ 2016 yang hanya US$ 856 juta, juga tidak mampu menutupi tingginya biaya avtur. Kerugian perseroan juga diakibatkan rendahnya jumlah penumpang yang diangkut Garuda. Sepanjang 2016, Garuda mengangkut 35 juta penumpang.

Sedangkan, jumlah armada Garuda per Maret 2017 mencapai 199 pesawat. Dan yang disewakan sebanyak 177 pesawat. Selain mengendalikan pengeluaran, Garuda juga akan meninjau rute penerbangan, mengoptimalkan armada dan meningkatkan pendapatan dari unit katering makanan dan unit ground handling. Pahala menyebutkan, pihaknya menargetkan kenaikan penumpang enam persen hingga tujuh persen pada tahun ini.

“Dalam hal operasi dan pengalaman mengangkut penumpang, Garuda sudah baik. Kita hanya perlu memperbaiki kinerja keuangan,” kata Pahala.

Selain kerugian itu, utang Garuda terus meningkat sejak tiga tahun terakhir dari 2017. Pada  2015, Garuda memiliki utang sekitar Rp 32,5 triliun. Pada tahun berikutnya utang Garuda melonjak menjadi Rp 36,6 triliun. Sedangkan tahun 2017 utangnya meningkat menjadi Rp 39,6 triliun. Jejak utang Garuda sudah terekam sejak dua dekade sebelum 2005.

Jejak Utang Garuda
Berawal dari 1990-an ketika Indonesia disebut sebagai salah satu idola perekonomian Asia. Seperti perusahaan lain, Garuda menikmati kemudahan mendapatkan pinjaman tanpa jaminan dan bunga dengan pembayaran jangka panjang dari berbagai lembaga kreditor.

Masalah mulai muncul ketika kekuasaan Orde Baru di ujung tanduk. Krisis ekonomi melanda. Nila tukar rupiah terjun bebas. Banyak kreditor mulai kehilangan kepercayaan. Garuda pada masa itu menanggung beban utang mencapai US$ 1,8 miliar. Selain karena pemborosan, sebagian pinjaman itu dikorupsi. Garuda juga dipaksa melayani rute internasional pada 1990-an semisal ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang membuatnya merugi hingga US$ 621 juta. Pun semasa musim haji, Garuda diminta menyisihkan sedikitnya dua ribu kursi untuk instansi pemerintah yang menyebabkan maskapai ini kehilangan pendapatan sebesar US$ 11,3 juta.

Karena berbagai macam kekeliruan, Garuda menanggung kerugian mencapai Rp 4,74 triliun. Bahkan hingga 1999, utang Garuda mencapai Rp 25,9 triliun. Utang itu berasal dari pinjaman dari 90 kreditor dalam dan luar negeri, seperti ECA. Kinerja perusahaan mulai membaik pada periode 1998 hingga 2001. Rute internasional seperti ke AS dan Eropa yang merugikan perusahaan dihentikan. Pendapatan Garuda pada waktu itu mencapai Rp 7,5 triliun dan naik 23 persen atau menjadi Rp 9,2 triliun pada tahun selanjutnya. Alhasil para kreditor setuju Garuda menjadwalkan ulang utang-utangnya yang mencapai US$ 1,4 miliar.

Karena kemampuan perusahaan menurunkan utang dari sebelumnya US$ 1,8 miliar menjadi US$ 1,1 miliar, Garuda diganjar penghargaan “The Best Corporate Finance of the Year” untuk kategori “The Best Restructuring Deal of The Year”. Ketika itu, Emirsyah Satar menjadi orang yang mewakili Garuda menerima penghargaan itu. Upaya menjadwalkan ulang utang terus berlanjut. Pada 2003, utang Garuda tinggal US$ 880 juta.

Bahkan sejak itu, Garuda diberi kesempatan untuk melunasi sebagian utangnya hingga 2007. Syaratnya Garuda harus bisa mencicil US$ 120 juta per tahun yang dimulai 2003. Hingga 2007, utang Garuda tersisa US$ 748 juta. Sejak tahun itu pula, keuangan Garuda mulai positif dengan meraup keuntungan Rp 221,2 miliar pada 2007. Keuntungan ini berlanjut menjadi Rp 1,187 triliun pada 2008, Rp 1,2 triliun pada 2009.

Bursa Efek Indonesia juga mencatat total aset Garuda terus meningkat di bawah kepemimpinan Emir pada periode 2012 hingga 2014. Total aset Garuda pada 2012 mencapai Rp 24,34 triliun. Naik menjadi Rp 36,24 triliun pada 2013 dan menjadi Rp 38,56 triliun pada 2014. Utang Garuda mencapai Rp 13,56 triliun pada 2012. Terdiri atas utang jangka pendek Rp 7,29 triliun dan jangka panjang Rp 6,27 triliun. Selanjutnya menjadi Rp 22,53 triliun pada 2013 yang terdiri atas utang jangka pendeknya Rp 12,07 triliun dan jangka panjang Rp 10,46 triliun.

Pada 2014, utang Garuda meningkat menjadi Rp 27,16 triliun yang terdiri atas utang jangka pendek Rp 15,16 triliun dan utang jangka panjang mencapi Rp 11,99 triliun. Pada tahun ini pula Emir memutuskan untuk mundur dari tampuk kepemimpinan Garuda. Ia meninggalkan Garuda dengan membukukan kerugian yang mencapai US$ 373 juta atau setara sekitar Rp 4,8 triliun.

Kerugian dan jejak utang Garuda yang terus menumpuk itu adalah fakta yang sulit dipungkiri. Dan itu pula yang membuat sebagian pihak ragu atas kinerja Garuda. Pahala yang menjadi Dirut Garuda pada 2017 optimistis kinerja keuangan akan mengalami perbaikan. Seperti halnya Pahala, Dirut Garuda saat ini Irfan Setiaputra juga optimistis Garuda tetap bisa terbang tinggi.

Namun, jika itu tidak terjadi, percayalah, kali ini pendaratan Garuda tidak hanya tergelincir, tapi bahkan jatuh sehingga sulit untuk terbang kembali. [Kristian Ginting]