Koran Sulindo – Bank Indonesia (BI) menyatakan utang luar negeri (ULN) Indonesia 2017 silam mencapai US$352,2 miliar (Rp4.849 triliun, dengan kurs Rp13.769). Nilai ini naik sebanyak 10 persen dibandingkan tahun lalu.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Agusman, mengatakan berdasarkan jangka waktu struktur ULN Indonesia itu masih aman.
Naiknya besaran utang ini terjadi baik di sektor publik maupun swasta, terutama untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
ULN jangka panjang sebesar 86,1% dari total ULN, tumbuh 8,5% dibanding tahun lalu. Sementara ULN jangka pendek tumbuh 20,7% (yoy).
Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di kisaran 34%.Utang tidak boleh melebihi 60% dari PDB negara.
Masih Amankah?
Pemerintah berulangkali menegaskan ULN yang hampir tembus Rp5.000 trilun itu masih aman.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sering menyatakan untuk membangun infrastruktur di tanah air antara 2015-2019, Indonesia membutuhkan anggaran sekitar Rp5.000 triliun. Jumlah yang sama dengan jumlah utang kita kini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan isu utang memang paling sering dipolitisasi.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan peningkatan ULN tak harus dikhawatirkan.
“Utang kita enggak ada masalah itu, bahwa utang kita kenaikannya mungkin lebih cepat dibanding masa lalu, iya. Tetap saja beban utang enggak tinggi di antara negara manapun, itu seluruh dunia tahu,” kata Darmin, 7 Maret 2018 lalu, seperti dikutip Antaranews.com.
Menurut Darmin utang naik dengan cepat karena pembangunan infrastruktur.
“Kalau kenaikan utang lebih cepat karena kita mau bangun infrastruktur banyak. Pilihannya bisa saja enggak usah naik utangnya lebih cepat, infrastruktur jangan banyak bangun, pilih mana? Enggak ada apa-apa kok. Kalian merasa sakit kalau utang naik sedikit lebih cepat?” kata Darmin.
Persentase Naik
Setahun terakhir, ULN Indonesia naik 10 persen dibandingkan 2016. Sementara dari 2015 hingga 2016, ULN hanya naik 3 persen.
Setelah lebih 3,5 tahun memerintah, pemerintah menyatakan telah membangun, antara lain, 2.623 km jalan aspal, sebagian besar di Papua, perbatasan Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur; lebih dari 560 km jalan tol; lebih 25.000 meter jembatan; sejumlah bandar udara; proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek dan Palembang, dan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta.
Besarnya kenaikan ULN 2017 dibandingkan 2016, karena dua tahun jelang akhir pemerintahan Jokowi mempercepat pembangunan.
“Selain itu, yang itu tidak hanya pemerintah, tetapi juga BUMN, misalnya lewat pencatatan obligasi global, Komodo Bond di London oleh Wijaya Karya, yang juga bertujuan mengeluarkan surat utang untuk percepatan pembiayaan infrastruktur,” kata Direktur Institute for Development of Economics and Finance, INDEF, Enny Sri Hartati, seperti dikutip bbc.com.
Menurut Enny, jumlah utang tersebut pasti tidak aman, karena bunga dan cicilannya dibayar dengan gali lubang, tutup lubang. Utang baru dianggap aman kalau pelunasannya tidak mengganggu likuiditas.
Kondisi gali lubang tutup lubang ini muncul akibat rasio penerimaan pajak, yang merupakan salah satu sumber dana untuk membayar ULN, “juga turun”. Realisasi penerimaan pajak Indonesia pada 2017 mencapai Rp1.151 triliun atau ‘hanya’ 89,7% dari target pada APBN-P 2017.
“Kondisi tersebut akan dilihat pasar sebagai risiko fiskal, yang membuat pasar keuangan Indonesia jadi rapuh dan mudah sekali timbul kekhawatiran. Kalau dollar menguat, orang akan cepat khawatir akan terjadi aliran dana keluar,” kata Enny.
Enny juga mengatakan utang itu akan membebani anak-cucu, karena pembayaran utang dengan menggunakan pajak sehingga beban pajak nantinya tentu akan ditanggung oleh anak cucu.
Utang Swasta
Yang lebih mengkhawatirkan adalah, dari total utang itu, separuh dimiliki swasta.
“ULN swasta berpotensi menciptakan krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada 1997,” kata ekonom Bank Permata, Josua Pardede.
Pemerintah tak bisa mengontrol utang swasta ini. Pengelolaan dan pembayaran utang pokok dan bunganya, hanya bergantung pada perusahaan peminjamnya. [DAS]