Koran Sulindo – Pertemuan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menghasilkan kesepakatan mengawal pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Mereka tidak ingin penguasa melewati batas kekuasaan.
Kekuasaan, kata SBY, harus tetap dikontrol. Jika tidak akan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Pertemuan tersebut terutama menyoroti pengesahan Undang Undang Pemilu yang memunculkan perdebatan. SBY dan Prabowo berada satu kubu dalam hal itu: menolak ambang batas presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara nasional pada pemilu 2014.
Sesungguhnya pertemuan ini, kata SBY, adalah biasa saja. Akan tetapi, pertemuan itu menjadi luar biasa karena dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat bersama Prabowo memiliki sikap yang sama berkaitan dengan UU Pemilu itu.
Kendati sedang berada di luar negeri ketika pengesahan UU tersebut, SBY menilainya sebagai proses politik yang melukai hati rakyat. Karena itu, selepas pengesahan, ia mengaku mendapat ajakan tokoh-tokoh politik untuk membicarakan situasi politik terbaru khususnya mengenai UU Pemilu.
Ia lantas menyambut baik ajakan itu. Komunikasi politik disebut menjadi penting untuk menghindari lagi proses politik yang merugikan rakyat. Ia berjanji akan menolak segala kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat secara tegas, terang dan gamblang.
“Jika yang dilakukan negara tepat, maka kita tunduk. Kalau tidak tepat, apalagi melukai rakyat, maka akan kita kritik,” kata SBY dalam keterangan resminya seusai bertemu Prabowo seperti dikutip Kompas.com pada Kamis (27/7).
Di tempat yang sama, Prabowo menegaskan sebagai mantan perwira militer, ia dan SBY percaya kepada demokrasi. Karena itu pula militer lantas keluar dari kekuasaan dengan hilangnya dwifungsi ABRI. Berdasarkan itu, ia dan SBY menjadi cemas ketika ada pihak-pihak yang ingin mencederai demokrasi.
Keputusan penetapan ambang batas presiden karena itu disebut sebagai lelucon politik yang menipu. Gerindra, kata Prabowo, menolaknya hal itu karena melawan akal sehat dan logika.
Ketika pengesahan UU Pemilu pada pekan lalu, Partai Demokrat, Partai Gerindra, PAN dan PKS menolaknya karena masalah ambang batas presiden. Partai baru bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden jika mendapatkan perolehan suara 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara nasional, berdasarkan hasil Pilpres 2014.
Aturan ini dianggap bertentangan dengan prinsip keserantakan. Karena itu, empat fraksi termasuk Demokrat dan Gerindra kemudian menginginkan ambang batas pilpres 0 persen. [KRG]