Upaya Labberton dalam Membangun Identitas Nasional dalam Bayang-Bayang Kolonialisme

Labberton (memejamkan mata) bersama Tjipto Mangoenkoesoemo (kanan gambar), dan Satrowijono (bawah) saat pertemuan Comité voor Javaanse Cultuurontwikkeling di Surakarta tahun 1918. (KITLV)

Dahulu di Indonesia, ada sosok unik dalam sejarah Hindia Belanda yang memainkan peran penting di berbagai bidang, dari ilmu pengetahuan hingga politik dan budaya. Seorang ilmuwan, aktivis teosofi, dan pejuang nasionalisme.

Dirk van Hinloopen Labberton atau Labberton namanya, tidak hanya berdedikasi pada keahliannya di bidang kimia, tetapi juga menunjukkan dukungan kuat terhadap kemajuan masyarakat lokal.

Kiprahnya mempertemukan semangat Barat dengan aspirasi lokal, menjadikannya jembatan antara kebudayaan Belanda dan budaya Nusantara dalam ikhtiar untuk mencapai kemerdekaan dan kemandirian masyarakat Hindia Belanda. Artikel ini akan membahas kiprah Dirk van Hinloopen Labberton di Hindia Belanda dalam berbagai bidang.

Dirk van Hinloopen Labberton Sang Intelektual

Hindia Belanda di awal abad ke-20 menyaksikan kebangkitan pemikiran-pemikiran progresif yang melibatkan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang. Salah satu di antaranya adalah Dirk van Hinloopen Labberton, seorang intelektual yang menggabungkan pemahaman ilmiah, pemikiran teosofi, dan semangat nasionalisme dalam kiprahnya.

Melansir laman kemdikbud, Labberton tidak hanya berperan sebagai ahli kimia dalam bidang gula, tetapi juga sebagai penggiat teosofi terkemuka yang menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional.

Sebagai Sekretaris Jenderal Perkumpulan Teosofi di Hindia Belanda, Labberton bekerja sama dengan sejumlah pejuang nasionalis, termasuk Tjiptomangunkoesoemo dan Satrowijono.

Tokoh-tokoh nasionalis seperti H. Agoes Salim, Ahmad Soebardjo, Soetomo, dan Abdul Moeis turut mendukung gerakan teosofi yang memperjuangkan isu pendidikan dan budaya lokal, serta memadukan pandangan Barat dan lokal demi kemajuan Hindia Belanda.

Ketertarikan Labberton pada Kebudayaan Jawa

Selain dalam bidang teosofi, Labberton memiliki ketertarikan mendalam pada budaya Jawa, khususnya wayang kulit, yang membuatnya dikenal sebagai “Kiai Santri.” Baginya, wayang adalah sarana masyarakat Jawa berkomunikasi dengan pengetahuan yang lebih luas dan menjadi lambang aspirasi kebangsaan.

Selain wayang, ia tertarik pada bahasa dan etnologi Jawa, Melayu, dan serapan Sansekerta. Pada 1904, Labberton bahkan diangkat sebagai pengajar bahasa Jawa dan Melayu di Gymnasium William III di Weltevreden, Batavia.

Peran dalam Gerakan Indie Weerbaar

Dalam politik, Labberton menjadi tokoh sentral yang menyuarakan gerakan Indie Weerbaar atau Pertahanan Hindia, yang menyerukan penguatan militer, ekonomi, dan intelektual di Hindia Belanda sebagai bentuk kemandirian.

Meski menghadapi oposisi dari tokoh-tokoh konservatif, ia tetap memperjuangkan ide tersebut bersama aktivis lain seperti Abdul Moeis dan Dwidjosewojo. Di tahun 1915, Labberton terlibat dalam komite manufaktur yang bertujuan mendorong kemandirian ekonomi, meskipun komite tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena kurangnya kompetensi.

Labberton juga mengkritik kebijakan kolonial yang eksploitatif, terutama dalam industri gula. Ia mengusulkan reformasi di bidang pertanian dan modernisasi ekonomi melalui pendidikan, meskipun gagasannya ini menuai perdebatan dengan golongan reformis liberal yang pro-kolonialisme.

Upaya Mendorong Pendidikan Modern di Hindia Belanda

Sebagai pendukung Politik Etis, Labberton aktif di berbagai organisasi yang mendukung pendidikan dan kebudayaan lokal. Ia berpartisipasi dalam pendirian Associatie van Oost en West pada 1912, yang mendukung pendirian lembaga pendidikan modern.

Pada 1918, Labberton juga duduk di Dewan Rakyat Hindia Belanda (Volksraad), mewakili aspirasi masyarakat pribumi. Ia menjadi anggota Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur untuk membantu menyediakan bahan bacaan bagi sekolah rakyat.

Memperkenalkan Nama “Indonesia”

Salah satu kontribusi penting Labberton adalah upayanya dalam memperkenalkan istilah “Indonesia” sebagai identitas bagi penduduk pribumi. Pada 1921, ia mengajukan amandemen konstitusi untuk menggantikan istilah Hindia Belanda dengan Indonesia, menggambarkan penduduknya sebagai bangsa yang memiliki leluhur yang sama dan berhak otonom. Meskipun hanya mendapat dukungan terbatas, ide ini mempertegas kesadaran nasional dan pentingnya persatuan.

Akhir Hidup dan Warisan Labberton

Ketika situasi politik di Hindia Belanda semakin ketat, Labberton meninggalkan wilayah tersebut pada 1923 dan menetap di Jepang, sebelum akhirnya kembali ke Belanda dan memperdalam studi di Universitas Amsterdam.

Pada tahun 1936, ia pindah ke Ojai, Los Angeles, di mana ia menghabiskan masa tuanya hingga wafat pada 1961. Warisan Labberton dalam teosofi, budaya Jawa, dan nasionalisme Hindia Belanda tetap diingat sebagai bagian dari sejarah awal pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia.

Peninggalan Dirk van Hinloopen Labberton masih tercermin dalam nilai-nilai kesetaraan, persatuan, dan pentingnya pendidikan yang mendasari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.

Melalui kontribusinya dalam bidang teosofi, budaya Jawa, dan politik nasional, ia meninggalkan jejak yang abadi sebagai tokoh yang tidak hanya melayani kepentingan kolonial, tetapi juga memperjuangkan kemajuan dan hak-hak masyarakat pribumi.

Semangat Labberton dalam mendorong persatuan bangsa dan pengembangan budaya lokal menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk menghargai dan memperjuangkan identitas serta kebanggaan akan kekayaan budaya sendiri. [UN]