Koran Sulindo – Mengacu pada tesis H.J. Graf dalam De Moord op Kapiten Francois Tack, 8 Februari 1686, Kapten Tack dan pasukannya bertolak dari Majasanga menuju Kartasura.
Kepergian Tack ke Kartasura adalah menagih janji Amangkurat II untuk menyerahkan Untung Surapati kepada Kompeni.
Amangkurat II dan Kapten Tack adalah sekutu lama kala mereka menghadapi pemberontakan Trunajaya. Tack juga memiliki peran besar dalam memadamkan perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten.
Dianggap telah ‘berjasa’ memadamkan kerusuhan di Banyumas atas nama kerajaan, Amangkurat II menjawab ultimatum Kompeni itu dengan ogah-ogahan.
Thomas Standford Raffles menulis, “Karena Surapati telah mengikatkan dirinya dalam perlindungan Sunan dan memberikan pengabdian kepada kerajaan, maka Sunan tak bisa menyerahkannya. Akan tetapi jika Belanda menginginkan bahwa dia harus ditahan, pihak kerajaan memberikan kebebasan penuh kepada mereka untuk menangkapnya di semua batas wilayah kekuasaan kerajaan.”
Itu jelas pernyataan ambigu, diam-diam Amangkurat II bahkan sudah menyiapkan perangkap untuk menjebak Kapten Tack. Surapati disuruhnya berpura-pura menyerang keraton.
Sebelum Tack sampai di Kartasura, beberapa hari sebelumnya dua kompi telah bersiaga di sekitar Keraton Kartasura. Ini adalah keraton baru yang dibangun Amangkurat II empat tahun sebelumnya karena keraton lama Mataram di Plered dikuasai Pangeran Puger.
Tak menyadari perangkap itu, penuh semangat dan percaya diri Tack bergerak bersama tiga kompi tentaranya menuju keraton dengan genderang bertalu-talu.
Sementara mereka mendekati alun-alun, di sekitar keraton tiba-tiba terjadi kebakaran dahsyat. Atas persetujuan Sunan, rumah-rumah para tukang dan abdi dalem sengaja dibakar pasukan Untung Surapati. Kesan yang dipahami Tack, Sunan kerepotan menghadapi serbuan itu.
Di tengah kecamuk perang sandiwara itulah kompi VOC dengan gagah berani maju sambil menembak mengusir anak buah Untung Surapati dari keraton. Setelah bertempur hampir selama empat jam, pasukan Untung Surapati berhasil dipukul mundur.
Tack baru terperangah ketika di alun-alun pasukannya tiba-tiba saja justru mendapat serangan gencar. Pasukan Kartasura yang semula diduga membantu melawan Untung justru balik menyerang Kompeni.
Bahkan, dengan dibantu hampir oleh seluruh penduduk kota nyaris seluruh tentara Kapten Tack itu berhasil dimusnahkan.
Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, Tack marah tak terperi melihat keadaan itu. Dengan mata merah menahan marah ia membanting topinya ke tanah sementara mulutnya tak henti-henti mengumpat, “perdam-perdom.”
Sebagai usaha terakhir yang dapat dilakukan, ia memerintahkan 200 tentaranya yang ada di di benteng segera keluar bertempur. Namun, mereka gagal bergabung dengan teman-temannya dan ikut lumat.
Tack mati dengan luka di lehernya akibat tusukan tombak, 20 tusukan lain juga menghiasi sekujur tubuhnya. Dendam Amangkurat II tuntaslah sudah.
Menuju Pasuruan
Buku History of Java menyebut Tack adalah orang yang dicurigai terlibat dalam pencurian permata utama mahkota Majapahit ketika tentara Kompeni menyerbu Kediri tahun 1678. Amangkurat tidak pernah melupakan penghinaan itu dan bersumpah membalas dendam.
Khawatir aksi tipu-tipunya terbongkar Kompeni, Amangkurat II diam-diam merestui Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan dari Bupati Anggajaya.
Wilayah itu segera takluk ketika Anggajaya melarikan diri ke Surabaya. Untung Surapati mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Wiranegara.
Untuk menyenangkan hati Kompeni, pada tahun 1690 Kartasura juga pura-pura mengirim pasukan untuk menumpas Pasuruan. Tentu saja, serangan itu gagal karena pertempurannya tak lebih dari sandiwara untuk mengelabui VOC.
Ketika Amangkurat II mati tahun 1703, tahta Kartasura menjadi rebutan Amangkurat III dan Pangeran Puger. Setahun kemudian, atas dukungan VOC Pangeran Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana I sekaligus merebut tahta Amangkurat III pada tahun 1705.
Ia melarikan diri dari keraton dan berlindung ke Pasuruan.
Pada bulan September 1706, pasukan gabungan VOC, Kartasura, Madura dan dibantu Surabaya akhirnya menyerbu Pasuruan dengan pimpinan Mayor Goovert Knole.
Setelah bertempur sengit di Benteng Bangil 17 Oktober 1706, Untung Surapati mangkat setelah terluka parah kena pecahan peluru meriam.
Kepada anak-anaknya, ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Sementara anak-anaknya terus berjuang sembari mengusung tandu kosong, jenazah Surapati diam-diam dikubur tanpa makam.
Di antara anak-anak Surapati yang terus bertempur melawan Kompeni seperti Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga, Amangkurat III akhirnya tertangkap pada tahun 1708 dan dibuang ke Srilangka.[TGU]
Baca cerita sebelumnya: Surapati, Jejak Seorang Budak Menjadi Bupati