Kitab-kitab karya ulama Nusantara banyak yang bernilai tinggi, sehingga menjadi bahan rujukan di berbagai negara. K.H. Said Agil Siradj, sekarang Ketua Umum Nadhlatul Ulama, punya pengalaman soal kitab ulama Indonesia waktu ia berkunjung ke Timbuktu, Mali, beberapa tahun silam.
Ketika sedang berjalan-jalan sendiri di kota pusat studi Islam dan sentra bisnis Afrika Barat tersebut, Said Agil melihat ada aktivitas pengajian di sebuah masjid. Materi pengajiannya: pembahasan kitab Sirajut Thalibin (‘Lentera Kaum Pelajar’). Said mengetahui karena ia sangat mengenal kitab setebal seribuan halaman dan terdiri dari dua jilid itu.
Setelah pengajian usai, doktor tasawuf lulusan Universitas Ummul Qura, Makkah, itu pun bertanya kepada pengajarnya. “Tahukah Anda, siapa penulis kitab ini?” kata Said Agil, sebagaimana dikisahkan kepada sebuah media.
Di sampul kitab tertera nama penulisnya. Sang pengajarnya pun lalu menjawab, “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampasi al-Kadiri. Melihat namanya, beliau mungkin dari Irak, keturunan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, tokoh tarekat Qadiriyah,” ungkap pengajar tersebut.
Said sambil tersenyum lalu mengoreksi keterangan dari imam masjid itu. “Al-Kadiri itu nama kota di Indonesia. Aslinya Kediri, di Jawa Timur,” ujar Said, yang juga pernah mengeyam pendidikan di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Mendengar penjelasan Said Agil, ulama dari Mali itu pun terkejut. Ia takjub ada ulama dari luar Timur Tengah yang menyusun kitab terkemuka.
Kitab Sirajut Thalibin memang tersohor, termasuk di Mesir dan Arab Saudi. Bahkan, saking terkenalnya, kitab itu dibajak di Beirut, Lebanon, diterbitkan oleh Darul Kutub Al-Ilmiyah. Nama penyusunnya diganti menjadi Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan (1816-1886), ulama terkemuka di Makkah pada zamannya, yang merupakan guru dari Syaikh Nawawi Al-Bantani (1813-1897).
Tidak hanya nama penulisnya diganti, kata pengantar yang ditulis K.H. Hasyim Asy’ari (1875-1947), pendiri Nahdatul Ulama, juga dihilangkan. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari dalam kata pengantarnya, kitab Sirajut Thalibin adalah salah satu kitab terbaik di bidang tasawuf.
Pertama kali terbit tahun 1936 oleh Penerbit Nabhan, Surabaya, kitab itu kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit Faishal el-Halaby, Mesir, pada tahun 1955. Kedua penerbit tersebut tentu mendapat izin dari penyusunnya. Yang tak berizin, ya, penerbit di Beirut itu.
Jauh sebelum itu, pada tahun 1909, ulama asal Tremas, Jawa Timur, juga menulis kitab yang kemudian menjadi terkemuka di dunia, kitab Mauhibah Dzî al-Fadhal Hâsyiah ‘alâ Syarh Ibn Hajar ‘alâ Muqaddimah Bâ-Fadhal atau Al-Manhal al-‘Amîm bi Hâsyiah al-Manhaj al-Qawwîm atau lebih dikenal sebagai kitab Hâsyiah al-Tarmasî. Penulisnya Syaikh Muhammad Mahfûzh ibn ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Mannân al-Tarmasî tsumma al-Makkî, yanglebih dikenal dengan nama Syaikh Mahfuzh Tremas dan wafat pada tahun 1920.